Cerpen Otang K.Baddy (Harian Rakyat Sultra 5 Maret 2016)
Keadaan bisa jadi berubah tanpa kita duga sebelumnya.
Tak terkecuali soal Kang Marna, kakakku satu-satunya. Banyak yang menyayangkan
atas sikapnya yang melenceng dari harapan ayah dan juga masyarakat dusun Barkah
sebelumnya.
“Dengan ketekunan
Sumarna nimba ilmu di pesantren, diharap kelak dapat mewariskan ilmunya pada
anak-anak kita,” begitu diantaranya harapan
orang dusun Barkah yang didengar ayah.
Sebagai adik kandungnya, selain ayah dan ibu tentu saja aku pun merasa bangga.
Menurut para sepuh yang udzur, setidaknya anak-anak dusun Barkah bisa mengenal
sedikitnya ilmu agama yang belakangan pamornya makin menurun. “Yang paling
dicemaskan lagi, selain tak punya imam masjid yang layak juga dalam hal mimpin
doa tahlil pun kini semakin jarang.”
Tapi
kepulangan Kang Marna dari pesantren tak sepenuhnya jadi andalan. Tak sampai
setahun ia mengurus anak-anak di lingkungan masjid dusun Barkah, ia tiba-tiba
mengundurkan diri. Alasannya cukup halus, katanya ilmu yang ia miliki masih
terbatas. Tapi dugaanku lain, mungkin karena Rukmini --istrinya Kang
Marna, seolah tak sabaran. Masa depannya konon tak terjamin dengan hanya
mengandalkan sumbangan kebijakan dewan keluarga masjid yang tak sebanding.
Kang Marna seperti kalap,
tiba-tiba ia nekat membabat rerumpun bambu, pohon-pohon kopo dan rerindang
lainnya di tepian sungai. Sebidang tanah memanjang antara tepian sungai dan
tepi jalan raya. Tanah lembab tak produktif itu milik Pak Sarkon, yang kini
telah diberikan pada Rukmini , istrinya Kang Marna. Orang menduga Kang Marna
punya ilmu kelas tinggi dalam mengusir lelembut. Betapa tidak, areal tepian
sungai itu terkesan angker. Ini menurut cerita, tak sedikit yang pernah melihat
penampakan melintas jalan dan lenyap di rerumpun bambu itu. Terlebih jika waktu
malam saat pejalan kaki atau berkendara pas lewat ke situ. Begitu pun cerita
para pemancing dari arah sebrang, kadang terdengar suara tawa meringkik
kuntilanak.
“Jiah, itu
mah cuma dongeng, pujian pada iblis!” kilah Kang Marna, sebelum kemudian
membangun rumah berlantai dua di sana. Dengan kepercayaan Pak Sarkon
-mertuanya, ia diberikan modal untuk membuka bengkel dan jual onderdil.
“Otakmu
begitu cerdas, Marna. Usaha ini lebih menjanjikan daripada ngurus anak-anak
mengaji yang upahnya tak seberapa,” demikian kata mertuanya yang pernah gagal
jadi caleg itu. Dengan adanya rumah Kang Marna, sementara aroma horor pun
lenyap. Orang-orang pemilik tanah tepian -di antara harim sungai dan jalan,
ikut-ikutan menata lahan. Dari yang sekedar kedai kopi, warteg, rumah permanen
dan semi permanen mendadak bermunculan. Sungguh tak terduga sebelumnya. Bahkan
ketika tiba-tiba sungai itu menjadi daerah tujuan wisata bernama Sampan Ria.
***
Malam demikian
ringkih dan lembab. Bulan sabit yang pucat di awal penanggalan baru saja
angslup ke bumi. Sisa gerimis masih menempel di daun-daun nipah dan bakung.
Suara burung seperti gagak nyaris tak hentinya berkoak.
'Kok koaaaak…!
Kok..koaaak….!' demikianlah berkali-kali.
Suara burung
tanpa wujud itu -mungkin karena gelap, tampak bolak-balik dari pohon bungur
yang pas di atas kepalaku. Terbang ke sebrang sungai lalu berputar di atas
rumah berlantai dua tepi jalan raya itu. Pertanda apa itu, semoga bukan hal
yang buruk, demikian batinku berharap seraya nunggu pancing. Sementara Sunar
-temanku, seolah tak dengar apa-apa. Ia tertidur sejak tadi di perahu. Ia
terdengar ngorok.
Sungai yang
melintas timur-barat dan kini telah menjadi area bersampan ria itu merupakan
batas Hampoang -desaku, dan desa Markutang --desa dimana Kang Marna tinggal.
Adalah telah menjadi hari-hari penawar keluhku dengan cara mancing. Keluh dan
jenuh terhadap berita di televisi, dimana didomansi berita-berita kriminal dan
terror bom. Berita yang kadang melumat soal koruptor dan kebusukan para elit.
Ya, seperti mancingku kini bersama Sunar. Namun jangan salah duga, soal
mancingku yang bersebrangan dengan rumah Kang Marna, tak ada motif lain.
Selain hanya faktor kebetulan semata.
Memang sempat juga
kabar kurang enak pernah sampai ke telingaku. Konon sering ada lelaki tak
dikenal menyambangi rumah Kang Marna. Alasannya hanya sekedar mau ditemani
mancing belakang rumah. Tapi usut punya usut ternyata lelaki yang diketahui
sebagai anggota polisi itu punya hubungan gelap dengan kakak iparku itu. Karena
itulah Kang Marna tiba-tiba pergi dan tak pulang-pulang belakangan ini. Bengkel
dan toko onderdilnya mendadak tutup seperti bangkrut. Mungkinkah hatinya remuk?
**
Kupilih mancingku di
dermaga, di bawah pohon bungur. Upaya ini sengaja dipilih, karena selain
posisinya enak juga untuk menghindari kusutnya senar sebagai tali pancing.
Dermaga ini dibuat sebagai sarana yang tepat untuk meladeni pengguna di waktu
siang. Di kiri kanan dermaga itu sampan-sampan tertambat berjejer. Posisinya
terapung di permukaan air. Sunar memilih mancing di perahu kanan dermaga. Ya
seperti telah diceritakan tadi: ia tertidur sampai ngorok.
'Kok… koaaak..!
Kok…koaak…!' kembali berkoak burung seperti suara gagak itu. Berkoak
berulang-ulang seraya terbang dari pohon bungur dekatku ke sebrang sungai.
Lantas berputar-putar di atas rumah Kang Marna.
Mancingku tak bergairah.
Selain karena mata kail tak ada yang nyambar juga karena burung berkoak itu.
Begitu pun mata kail Sunar yang luput sejak awal, telah membuat dirinya lebih
dulu kalah dan langsung nyerah. Masalah Sunar bukan pada resah atau banyak
keluhan hidup sepertiku.. Tapi karena ia kecapaian sehabis kerja seharian sebagai
tukang di proyek bangunan.
. Aku pikir di tempat sepi malam
dingin seperti itu yang namanya mahluk halus pasti ada. Bisa saja ia pindahan
dari sebrang dimana tempatnya terjegal bangunan. Terutama dari lokasi yang
telah dibangun Kang Marna. Burung koak bak suara gagak itu pun bisa saja macam
siluman yang murka. Ia merasa tak nyaman atas perilaku manusia. Mungkin setelah
terusir dari sebrang kemudian berpindah ke pangkal dan akar-akar pohon bungur
ini. Lagi-lagi terganggu dengan dibuatnya dermaga. Selebihnya bisa juga
ketenangannya terusik dengan kehadiranku dan Sunar saat mancing malam-malam.
Sehingga menunjukkan dirinya yang kalut sebagai burung koak, burung bak suara
gagak.
'Kok..kok..koaaaaakk….!'
Kok..kok..koaaaakkk….! Kaaaakkk…!' lagi-lagi. Namun suara dan irama yang ini
agak beda, berakhir sangat keras bak mendobrak gendang telingaku. Pantas
karena ia berada di atas depan mataku. Di atas dahan bungur yang melengkung ke
bawah. Ujung reranting dahan itu digoyang-goyang olehnya sampai lengkungnya
nyentuh dermaga.
“Ya, akhirnya kamu
menampakan diri juga. Memangnya gerangan ada apa?” ucapku seperti seorang guru
spiritual pada muridnya. Benar, ternyata wujudnya hitam seperti gagak. Sorot
matanya yang menyala di kegelapan, tak bisa dipungkiri bahwa ia tengah murka.
Kadang aku menduga dari suaranya yang serak seakan ada kecemasan pada dirinya.
Sampai wujud dan suaranya raib entah kemana, sampai aku bak tersadar dari satu
pergulatan. Tak terasa tubuhku basah mandi keringat.
“Ah Sunar, katanya
mau mancing tapi malah ngorok,” gerutuku agak kesal.
Penasaran
kail pun saya angkat. Umpan serangga di mata kail sudah habis. Mungkin oleh
ikan-ikan kecil atau bisa saja terlepas karena pengaruh membusuk. Maka segera
kuganti dengan cacing, dan suuuttt....., clupps! Kail pun kulempar dengan
serampangan . Terdengar Sunar berbatuk-batuk.
“Tadi ngomong sama
siapa, Jum?” Sunar tiba-tiba nyeletuk dalam rebahannya di ceruk perahu.
Sepertinya ia telah melupakan pancingnya yang tiba-tiba hilang. Aku tak melihat
joran Sunar yang tadi numpang di bibir perahu.
“Nar,
pancingmu disambar ikan..!” teriaku bohong.
Sunar
menggeragap, terbangun. Ia celingukan seraya menggapai-gapaikan tangannya dalam
kantuk. Tapi sebelum jorannya ketemu, ia kembali melanjutkan tidurnya. Tentu
saja aku makin sebal dibuatnya. Tapi lain lagi ketika aku dihadapkan pada
peristiwa yang lebih menyentak dan ngeri.
'Byyaaarrrr…!' tiba-tiba seseorang dari atas rumah bengkel itu menceburkan diri
ke sungai. Disusul suara rentetan tembakan 'dar-der-dor' seperti perang. Lantas
bagaimana aku harus bilang 'tidak takut' jika peluru-peluru itu telah nyasar.
Menembus dada, sampai aku tak berdaya berteriak. “Kok..kok…koaaaaaak….!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar