Selasa, 22 Maret 2016

Suara Burung Berkoak

Cerpen Otang K.Baddy (Harian Rakyat Sultra 5 Maret 2016)




Keadaan bisa jadi berubah tanpa kita duga sebelumnya. Tak terkecuali soal Kang Marna, kakakku satu-satunya. Banyak yang menyayangkan atas sikapnya yang melenceng dari harapan ayah dan juga masyarakat dusun Barkah sebelumnya.
       “Dengan ketekunan Sumarna nimba ilmu di pesantren, diharap kelak dapat mewariskan ilmunya pada anak-anak kita,” begitu diantaranya harapan
orang dusun Barkah yang didengar ayah. Sebagai adik kandungnya, selain ayah dan ibu tentu saja aku pun merasa bangga. Menurut para sepuh yang udzur, setidaknya anak-anak dusun Barkah bisa mengenal sedikitnya ilmu agama yang belakangan pamornya makin menurun. “Yang paling dicemaskan lagi, selain tak punya imam masjid yang layak juga dalam hal mimpin doa tahlil pun kini semakin jarang.”
      Tapi kepulangan Kang Marna dari pesantren tak sepenuhnya jadi andalan. Tak sampai setahun ia mengurus anak-anak di lingkungan masjid dusun Barkah, ia tiba-tiba mengundurkan diri. Alasannya cukup halus, katanya ilmu yang ia miliki masih terbatas. Tapi dugaanku lain, mungkin karena Rukmini  --istrinya Kang Marna, seolah tak sabaran. Masa depannya konon tak terjamin dengan hanya mengandalkan sumbangan kebijakan dewan keluarga masjid yang tak sebanding.
      Kang Marna seperti kalap, tiba-tiba ia nekat membabat rerumpun bambu, pohon-pohon kopo dan rerindang lainnya di tepian sungai. Sebidang tanah memanjang antara tepian sungai dan tepi jalan raya. Tanah lembab tak produktif itu milik Pak Sarkon, yang kini telah diberikan pada Rukmini , istrinya Kang Marna. Orang menduga Kang Marna punya ilmu kelas tinggi dalam mengusir lelembut. Betapa tidak, areal tepian sungai itu terkesan angker. Ini menurut cerita, tak sedikit yang pernah melihat penampakan melintas jalan dan lenyap di rerumpun bambu itu. Terlebih jika waktu malam saat pejalan kaki atau berkendara pas lewat ke situ. Begitu pun cerita para pemancing dari arah sebrang, kadang terdengar suara tawa meringkik kuntilanak.
        “Jiah, itu mah cuma dongeng, pujian pada iblis!” kilah Kang Marna, sebelum kemudian membangun rumah berlantai dua di sana. Dengan kepercayaan Pak Sarkon -mertuanya, ia diberikan modal untuk membuka bengkel dan jual onderdil.
         “Otakmu begitu cerdas, Marna. Usaha ini lebih menjanjikan daripada ngurus anak-anak mengaji yang upahnya tak seberapa,” demikian kata mertuanya yang pernah gagal jadi caleg itu. Dengan adanya rumah Kang Marna, sementara aroma horor pun lenyap. Orang-orang pemilik tanah tepian -di antara harim sungai dan jalan, ikut-ikutan menata lahan. Dari yang sekedar kedai kopi, warteg, rumah permanen dan semi permanen mendadak bermunculan. Sungguh tak terduga sebelumnya. Bahkan ketika tiba-tiba sungai itu menjadi daerah tujuan wisata bernama Sampan Ria.
       ***
       Malam demikian ringkih dan lembab. Bulan sabit yang pucat di awal penanggalan baru saja angslup ke bumi. Sisa gerimis masih menempel di daun-daun nipah dan bakung. Suara burung seperti gagak nyaris tak hentinya berkoak.
       'Kok koaaaak…! Kok..koaaak….!' demikianlah berkali-kali.
        Suara burung tanpa wujud itu -mungkin karena gelap, tampak bolak-balik dari pohon bungur yang pas di atas kepalaku. Terbang ke sebrang sungai lalu berputar di atas rumah berlantai dua tepi jalan raya itu. Pertanda apa itu, semoga bukan hal yang buruk, demikian batinku berharap seraya nunggu pancing. Sementara Sunar -temanku, seolah tak dengar apa-apa. Ia tertidur sejak tadi di perahu. Ia terdengar ngorok.
       Sungai yang melintas timur-barat dan kini telah menjadi area bersampan ria itu merupakan batas Hampoang -desaku, dan desa Markutang --desa dimana Kang Marna tinggal. Adalah telah menjadi hari-hari penawar keluhku dengan cara mancing. Keluh dan jenuh terhadap berita di televisi, dimana didomansi berita-berita kriminal dan terror bom. Berita yang kadang melumat soal koruptor dan kebusukan para elit. Ya, seperti mancingku kini bersama Sunar. Namun jangan salah duga, soal mancingku yang bersebrangan dengan rumah Kang Marna, tak ada motif lain. Selain  hanya faktor kebetulan semata.
       Memang sempat juga kabar kurang enak pernah sampai ke telingaku. Konon sering ada lelaki tak dikenal menyambangi rumah Kang Marna. Alasannya hanya sekedar mau ditemani mancing belakang rumah. Tapi usut punya usut ternyata lelaki yang diketahui sebagai anggota polisi itu punya hubungan gelap dengan kakak iparku itu. Karena itulah Kang Marna tiba-tiba pergi dan tak pulang-pulang belakangan ini. Bengkel dan toko onderdilnya mendadak tutup seperti bangkrut. Mungkinkah hatinya remuk?
      **
      Kupilih mancingku di dermaga, di bawah pohon bungur. Upaya ini sengaja dipilih, karena selain posisinya enak juga untuk menghindari kusutnya senar sebagai tali pancing. Dermaga ini dibuat sebagai sarana yang tepat untuk meladeni pengguna di waktu siang. Di kiri kanan dermaga itu sampan-sampan tertambat berjejer. Posisinya terapung di permukaan air. Sunar memilih mancing di perahu kanan dermaga. Ya seperti telah diceritakan tadi: ia tertidur sampai ngorok.
      'Kok… koaaak..! Kok…koaak…!' kembali berkoak burung seperti suara gagak itu. Berkoak berulang-ulang seraya terbang dari pohon bungur dekatku ke sebrang sungai. Lantas berputar-putar di atas rumah Kang Marna.
      Mancingku tak bergairah. Selain karena mata kail tak ada yang nyambar juga karena burung berkoak itu. Begitu pun mata kail Sunar yang luput sejak awal, telah membuat dirinya lebih dulu kalah dan langsung nyerah. Masalah Sunar bukan pada resah atau banyak keluhan hidup sepertiku.. Tapi karena ia kecapaian sehabis kerja seharian sebagai tukang di proyek bangunan.
.     Aku pikir di tempat sepi malam dingin seperti itu yang namanya mahluk halus pasti ada. Bisa saja ia pindahan dari sebrang dimana tempatnya terjegal bangunan. Terutama dari lokasi yang telah dibangun Kang Marna. Burung koak bak suara gagak itu pun bisa saja macam siluman yang murka. Ia merasa tak nyaman atas perilaku manusia. Mungkin setelah terusir dari sebrang kemudian berpindah ke pangkal dan akar-akar pohon bungur ini. Lagi-lagi terganggu dengan dibuatnya dermaga. Selebihnya bisa juga ketenangannya terusik dengan kehadiranku dan Sunar saat mancing malam-malam. Sehingga menunjukkan dirinya yang kalut sebagai burung koak, burung bak suara gagak.
      'Kok..kok..koaaaaakk….!' Kok..kok..koaaaakkk….! Kaaaakkk…!' lagi-lagi. Namun suara dan irama yang ini agak  beda, berakhir sangat keras bak mendobrak gendang telingaku. Pantas karena ia berada di atas depan mataku. Di atas dahan bungur yang melengkung ke bawah. Ujung reranting dahan itu digoyang-goyang olehnya sampai lengkungnya nyentuh dermaga.
       “Ya, akhirnya kamu menampakan diri juga. Memangnya gerangan ada apa?” ucapku seperti seorang guru spiritual pada muridnya. Benar, ternyata wujudnya hitam seperti gagak. Sorot matanya yang menyala di kegelapan, tak bisa dipungkiri bahwa ia tengah murka. Kadang aku menduga dari suaranya yang serak seakan ada kecemasan pada dirinya. Sampai wujud dan suaranya raib entah kemana, sampai aku bak tersadar dari satu pergulatan. Tak terasa tubuhku basah mandi keringat.
       “Ah Sunar, katanya mau mancing tapi malah ngorok,” gerutuku agak kesal.
        Penasaran kail pun saya angkat. Umpan serangga di mata kail sudah habis. Mungkin oleh ikan-ikan kecil atau bisa saja terlepas karena pengaruh membusuk. Maka segera kuganti dengan cacing, dan suuuttt....., clupps! Kail pun kulempar dengan serampangan . Terdengar Sunar berbatuk-batuk.
       “Tadi ngomong sama siapa, Jum?” Sunar tiba-tiba nyeletuk dalam rebahannya di ceruk perahu. Sepertinya ia telah melupakan pancingnya yang tiba-tiba hilang. Aku tak melihat joran Sunar yang tadi numpang di bibir perahu.
        “Nar, pancingmu disambar ikan..!” teriaku bohong.
         Sunar menggeragap, terbangun. Ia celingukan seraya menggapai-gapaikan tangannya dalam kantuk. Tapi sebelum jorannya ketemu, ia kembali melanjutkan tidurnya. Tentu saja aku makin sebal dibuatnya. Tapi lain lagi ketika aku dihadapkan pada peristiwa yang lebih menyentak dan ngeri.
         'Byyaaarrrr…!' tiba-tiba seseorang dari atas rumah bengkel itu menceburkan diri ke sungai. Disusul suara rentetan tembakan 'dar-der-dor' seperti perang. Lantas bagaimana aku harus bilang 'tidak takut' jika peluru-peluru itu telah nyasar. Menembus dada, sampai aku tak berdaya berteriak. “Kok..kok…koaaaaaak….!”

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll