Kamis, 19 November 2015

Ketika Pertama Ingin Punya Mesin Tik

     
 Ketika pertamakali ingin memiliki mesin tik, di kampung sempat geger. Mesin tik buat apa, memangnya orang kantor pake mau mesin tik segala. Mau ngetik apa, demikianlah orang-orang. Dan itu wajar, mereka tak salah. Betapa tidak, saya yang bukan orang sekolahan, bukan jebolan akademisi tertentu yang terkait dengan aktifitas mengetik , bukan orang kuliahan, bukan mahasiswa --SD pun nyaris tak tamat. Wajar orang-orang menyepelakannya atau setidaknya bertanya-tanya dan itu manusiawi.

Minggu, 08 November 2015

Ayahku Terjatuh

 Cerpen Otang K.Baddy (Tribun Jabar, 8 November 2015)
   
      Sedih jika teringat nasib ayah, yang tersiksa akibat terjatuh.       
      Ayah terjatuh dari pohon, kepalanya membentur batu. Ayah terjatuh dari pohon waru setinggi hampir 6 meter. Ia menaiki pohon itu karena memerlukan kulit dahan muda sebagai tali pengikat batangan padi jika panen di ladang tiba. Petaka terjadi sore hari ketika ayah kala itu tengah menuju pulang dari ladang bersama ibu. Di Ciwaru, nama blok dari tempat itu yang memang banyak pohon warunya, di tepi jalan setapak itulah
ayah bersusah-payah menahan sesak dada, sakit di kepala serta tubuh bermandikan darah. Demikianlah kronologi singkatnya sebelum kemudian mengurainya dalam kisah.

Rabu, 04 November 2015

Menulis di Zaman Mesin Tik

   
  Masih seputar kebodohan dan pengalaman saya dalam dunia tulis-menulis, Kendati tak ada bedanya dulu kini,  yang tetap saja bodoh, saya akan cerita masa lalu. Mungkin karena kebodohan saya atau apalah, saya ingin menulis bebas dan dapat ide yang bebas pula, saat itu saya sering bawa-bawa mesin tik di karung plastik wadah rumput. Biasanya pergi ke hutan, atau mencari saung-saung huma milik orang. Lagi pula kan saya sambil pulangnya harus membawa pakan kambing kala itu. Mesin tik beserta beberapa lembar kertas HVS + tip eks dalam karung plastik (pusri) kerap menyatu dengan dedaduan/rumput pakan kambing.

Senin, 02 November 2015

Menyaksikan Jejak Kematian

Tubuh tak berdaya, di bawah rumput rebah pun tak mampu bergoyah
Lekat menyerupai asal mulamu, tanah. Hanya angin berdesir yang setia
Menjenguk ruang pertapa di sekitar pemakaman yang lembab
Dan terus meruyak bersama ruang dan waktu, sementara setiap malam tetap di sini
Sebagai burung hantu. Menyaksikan lukisan tanah yang semakin buram dipermainkan musim. Hujan dan kemarau tak mampu mengusikmu untuk berkaca

Kaca Rumahku Bolong

Aku yakin, kaca rumah bagian depan, samping kiri itu bolongnya bukan ditabrak burung hantu atau kuntilanak yang nyasar. Namun aku tak habis pikir kenapa satu dari bangsamu dari balik kaca bolong itu seakan mengintai aku?

Popular Posts

Blogroll