Senin, 30 Januari 2017

Tumbal Bukit Kiara Payung

Cerpen Otang K.Baddy (Mimbar Umum, 23 Maret 2013)

Malam-malam tanpa bulan, tanpa bintang. Dusun sunyi-senyap, zaman yang kelam di masa lalu. Dimana anak-anak perawan dan bujang belum mengenal lipstick dan gincu. Kendatipun begitu
mereka tetap berlagu, kidung kasmaran parahyangan yang merdu. Di rumah bilik yang diterangi pelita atau lentera. Jelita dan rupawan di masanya, suka-cita dan ceria warga di zamannya.
      Namun suasana yang kerap membuai di bulu rindu itu tiba-tiba lenyap tatkala langit padam rembulan dan hilang bintang.  Begitu pun lentera dan lampu kelapa, tak lagi dinyalakan warga. Karena malam telah berubah mencekam, aroma mistis atau horor kian berkembang dan kental di benak-benak mereka.  
     Tiba-tiba  warga di Dusun Ogo menggeragap terbangun dari tidur lelapnya tatkala mendengar suara gemuruh dari bukit itu. Bukit Kiarapayung. Sebuah bukit tertinggi di dekat dusun itu, dimana di ponclotnya bercokol pohon kiara yang tinggi kekar. Disebutlah kiara payung  karena dahan dan rantingnya yang rindang  memang memayungi pohon-pohon lain di bawah dan sekitarnya. Koloni rotan alas dan rumpunan macam bambu, menunjukkan belantara yang masih alot. Gemuruh itu suara batu terguling-guling. Mungkin sebesar kerbau atau lebih. Membetur sesama batu yang terlindas dan melabrak rerumpunan bambu.   Guluduug…guludug…bletok..karabyaak…! Begitulah. Bukan satu batu, tapi banyak batu. Setelah batu itu sampai di lembah dan hampir menghantam rumah warga, kejadian serupa kembali menyusul. Bahkan saat berikutnya petaka itu datang lagi.
       “Ah,dia lagi,” ujar seorang warga yang tak pernah tidur lelap, seolah mengeluh. Begitupun orang lainnya, berpikiran nyaris sama yang ujungnya menyudutkan seseorang. Siapa lagi kalau bukan Bah Ado. Lelaki bertubuh tambun itu selalu iseng mengganggu orang. Jika malam ada pejalan kaki  yang lewat jalan berbatu di lembah sana, kalau tak melempar pasti menggulingkan batu-batu itu. Ulah itu sering dilakukannya, terutama saat-saat mondok di saung huma dekat kiara payung itu. Barangkali keisengannya menakuti orang, agar dia dianggap demit bukit itu. Demit yang sebelumnya kerap menangis. Tangis lelaki terbunuh korban konflik di masa lalu, arwah penasaran itu berujud amarah dengan mengguling-gulingkan batu dari sebuah bukit. Mungkin terinspirasi dari itu Bah Ado senang bertingkah,  dan baginya seakan menjadi hiburan tersendiri.
       Beriseng boleh saja, begitu menurut warga. Tapi dengan batu besar terguling-guling tengah malam dan menimbulkan gemuruh keras itu bukan lagi di horor, melainkan sebuah teror bencana yang dahsyat.
      “Ini  sangat terlalu!”  desis warga lain di sekitar lembah itu. Dan bukan satu dua orang yang mengutuk ulah Bah Ado saat itu. Namun mereka tak ada yang berani mengambil tindakkan, karena kejadiannya selalu  tengah malam. Rasa malas mereka semakin menjadi, tatkala kantuk menyerang. Juga karena sebagian berpendapat itu bukan wujud nyata suatu bencana. Kendati diacuhkan pun tak akan menjadi masalah. Bahkan bagi sebagian orang mengatasi petaka itu cukup dengan do’a atau keyakinan yang mantap. Sebab, manuver itu hanyalah ilusi belaka. Suatu ulah yang tercipta untuk menggoyah hati yang mendengarnya. Buktinya, di waktu siang jejak-jejak itu tak ada. Tak sedikit pun ada bongkahan batu, tak juga tampak bekas benturan atau rerumpunan bambu yang rebah. Tak ada sama sekali. Tak ada.
       Yang ada cuma kisah masa lalu. Di jalan desa penghubung dusun Ogo dan dusun lainnya. Para anak bujang tiap menjelang larut malam selalu lewat baladan, sekitar lima atau kadang sepuluh orang. Bernyanyi riang penuh guyonan, baik hendak atau pulang dari dusun tetangga tatkala menoongi bilik-bilik di pondok perawan. Mereka bukan sekali dua kali mendapat perlakuan iseng Bah Ado, yang tengah tunggu kebun di bagian atas bukit itu. Sering ada lemparan,yang lemparan itu  tak dikenakan tentunya. Namanya juga iseng. Benda yang dilempar itu tak cuma batu, kadang ubi, jagung bakar, kedodong atau degan. Memang saat pertama rasa takut, tapi kejadian berikutnya kalau tak digubris kadang pula senang jika lemparan itu berupa makanan.
       “Hahah…! Hahaha…hahahah..!” BahAdo kerap tertawa manakala usai melakukan isengnya. Suaranya begitu besar dan agak menggeram. Mungkin dibuat sengaja agar disangka demit Kiarapayung, yang menurut dongeng sepuh terkesan angker, terutama setelah dulu terjadi baku tembak antara penguasa dan pemberontak. Banyak nyawa melayang yang tak diurus sebagaimana mestinya.  Namun ternyata itu cuma resep meredam anak agar tak cengeng. Juga upaya melestarikan alam agar sumber mata air tak kering, dan tak dijamah oleh tangan-tangan jahil yang kerap berdalih  untuk kepentingan umum. Namun tak menutup kemungkinan, yang namanya makluk halus itu ada. Begitulah, barangkali Bah Ado merasa terinspirasi sebagai demit bukit Kiarapayung.
       Bah Ado suka iseng, telah dilihat sendiri oleh Ajid. Seorang cucu Bah Ado yang pernah ikut mondok di kebun Bah Ado pada musim panen jagung. Benar, ladang jagung itu tak jauh dari rimba kiara itu. Di tempat itu banyak lutung, monyet, dan juga babi hutan. Pada musim itu pasti Bah Ado kewalahan.  Selain bantu menjaga serangan binatang itu, juga hitung-hitung menikmati bakar jagung dadakan Ajid diajaknya. Malam itu cahya bulan benderang, anak-anak bujang terdengar riang di jalan desa di lembah sana.
       “Nanti saat pulangnya..” Bah Ado terkekeh menahan kegelian niatnya. Ia menunjuk sebuah batu besar, diperlihatkan pada cucunya yang berusia tujuh tahun itu. Anak itu pun ikut-ikutan menahan geli, dan tak sabar ingin menyaksikan bagaimana kisah seru yang dilakukan kakeknya. Dan tak begitu lama, saat yang dinanti itu datang lebih awal dari biasanya. Heran juga di benaknya,
Anak-anak bujang kok sudah pulang. Tapi mungkin saja ada gangguan, misalnya para perawan itu tak berangkat ke pondok karena sorenya terjadi hujan.
      “Mari..De, bantu,” lelaki itu menyeret cucunya. Mengambil linggis, mendongkelnya. Begitu berat, namun berusaha sekuat tenaga hingga otot-otot tampak mengencang. Dan batu besar itu mulai terguling…gorobass…gorobass…dak..duk..brak..brek…prak…! Menggelinding ke lembah, ke jalan itu,, ke para bujang itu.
       Namun aneh, ada keganjilan di sana. Biasanya jika aksi itu rampung bakal terdengar suara langkah atau sorak-serai para bujang. Entah suara takut atau suara pura-pura takut, yang biasanya saling mempercepat langkahnya. Sebab, mereka sudah tahu yang menggulingkan batu itu bukan dedemit bukit Kiarapayung, tapi Bah Ado. Tapi saat ini si pelaku merasa aneh, ia tak mendengar suara lompatan atau sorak-serai di jalanan. Kenapa ya? Apakah yang baladan tadi itu bukan aslinya para bujang? Lantas siapa ya?, begitulah keduanya sempat heran.
        Bah Ado, demit kiarapayung, atau ilusi yang tak bertanggung-jawab, entah siapa sebenarnya yang menggulingkan batu malam-malam saat orang lelap.  Malam-malam berikutnya menjadi tak jelas, simpang-siur. Mungkin karena kesiur angin, atau karena warga Ogo terlalu segan dengan pohon kiara payung yang kerap menunjukkan keperkasaan di benaknya. Bahkan, mungkin penguasa  saat itu pun terinspirasi untuk menjadikan kiarapayung sebagai lambang partainya. Dengan koloni rotan alas dan bambu, bermacam kedaka, binatang buas seperti ular cobra dan macan belang atau tutul. Keluarga monyet atau lutung , para bajing, juga bermacam burung  seperti elang, gagak, kangkareng, ciung, ketilang, jalak, dsb, termasuk pipit pun lengkap di situ. Kiara payung laksana sebuah kerajaan rimba yang perkasa. Sosoknya  yang menjulang menggapai langit itu kerap dijadikan barometer para nelayan pencari ikan, apakah pelayarannya tak  terlalu jauh menyasar atau tidak. Jika pohon itu masih terlihat, berarti perambahan laut masih dalam status wajar. Barangkali dari kepercayaan yang diakui warga itulah, kiarapayung tetap menebar manuvernya. Yang jadi korban, tentu dusun terdekatlah, yakni Dusun Ogo. Dengan menuduh Bah Ado sebagai kambing hitamnya?
      Bagaimana tidak. Batu-batu terguling, kadang disusul tawa terbahak. Kadang terdengar alunan seruling kidung kasmaran. Juga suara-suara wanita cekikikan, yang sebelumnya lolongan anjing sebagai penghantar suasana seram mencekam. Namun berita itu kadang tak jelas, kadang simpang siur.  Sebab, saat terjadi batu terguling  --atau lemparan-lemparan iseng  -- seperti batu-kerikil, ubi jalar, singkong, pisang, papaya, jagung, kedongdong atau daugan, kadangkala di ladang itu Bah Ado tak mondok.
                                                                 **
     Selama hamir  40 hari setelah kematian tragis itu, warga dusun Ogo tak ada yang berani keluar rumah. Terutama jika hari berganti malam, begitu magrib datang, tua-muda semua masuk ke biliknya. Karena rasa takut yang menyungkup di benak-benak mereka, untuk sekedar buang hajat atau kencing pun tak merasa sungkan walau cuma ditadah di ember. Biarlah, besok saja air dan hajat itu dibuang, begitu pikir mereka. Begitu pun langgar-langgar mendadak sepi, tak ada shalat berjamaah, tak ada bacaan shalawat nabi dan pepujian anak-anak mengaji. Aktivitas itu seakan berhenti tiba-tiba. Anehnya tak ada wejangan atau penyuluhan dari tokoh agama atau umaroh, semua seolah ikut terhipnotis dengan keadaan.  Lampu lentera atau cempor tak ada satu pun yang dinyalakan. Dusun Ogo sepi mencekam. Malam mati bagai kuburan.
       Bayangan horor itu memang terus menyergap pikiran mereka. Terutama setelah melihat kematian Bah Ado yang mengenaskan. Lelaki itu memang telah mati terbunuh. Namun entah siapa pembunuh itu, sungguh sangat misterius. Sepertinya pembunuh itu bukan manusia, sebab luka di bagian belakang kepala itu bukan bekas senjata tajam seperti golok atau sejenisnya. Luka itu bekas tancapan kuku tajam yang meruncing. Orang menduga, karena lukanya bekas kuku harimau, yang membunuhnya itu pasti harimau atau siluman harimau. Namun entahlah.
       Yang jelas di pagi buta geger. Istri mendiang tak tahan dengan keadaan, tangisnya meledak meraung-raung seraya mendekap suaminya yang tak berdaya. Darah segar tercecer di dekat pintu masuk dan sampai ke tengah rumah. Bahkan tak sedikit yang muncrat ke dinding. Entah kenapa polisi pun saat itu tak serius, percaya begitu saja atas keterangan keluarga yang mengatakan luka lelaki itu bukan pembunuhan mutlak, tetapi karena terkena paku di pintu  masuk. Alasan itu sengaja dibuat untuk sekedar meredam isyu yang tak jelas. Polisi pun segera berlalu begitu saja, seolah tak berdaya untuk mengusut lebih lanjut.
      Tersiar kabar yang membunuh lelaki itu adalah seorang wanita. Tanda-tanda yang mengarah ke situ memang ada. Beberapa saat sebelum kejadian satu-dua orang warga yang terlintasi jalan setapak di depan rumahnya mendengar suara wanita seperti tengah cekcok dengan Bah Ado. Bahkan seseorang bercerita, ketika malamnya lelaki itu nganjang ke rumahnya. Entah kenapa sang korban seperti gelisah. Apalagi setelah di luar ada suara seorang wanita seakan memanggil-manggil dirinya.
     “Tunggu sebentar,” kata Bah Ado. Walau tampak sungkan lelaki itu segera permisi ke pribumi hendak memenuhi panggilan itu, yang diduga tuan rumah adalah istrinya Bah Ado.
      Sejenak di luar terdengar percakapan oleh tuan rumah. Selanjutnya tak tahu karena keduanya semakin menjauh. Ya, mungkin itu tadi, para tetangga yang jalannya terlewati. Bah Ado seperti cekcok dengan seorang wanita. Namun percekcokkan itu berubah menjadi teriak kesakitan seorang lelaki yang disusul suara tawa meringkik seorang perempuan. Warga menduga Bah Ado jadi tumbal keisengannya dari bukit itu.*** 
Otang K.Baddy, penulis cerpen kambuhan, tinggal di Ciamis

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll