Rabu, 22 Februari 2017

Pisau

Cerpen Otang K.Baddy (Pikitan Rakyat 15 Desenber 2013)



     Sebagai pengemban amarah, yang kerap tertawa dan bersorak jika dalam kemenangan. Menjerit bak tersengat bara api sebelum kemudian menguap jika dalam kekalahan, selayaknya kau tetap aku perangi. sebab kamu ini telah jadi musuh nyataku!

      Saya akan terus mengutukmu tanpa batas waktu. Betapa tidak, sebab bujuk rayumu yang selalu menyesatkan bukanlah suatu fitnah, melainkan nyata-nyata sebuah pendosa.

     “Pisau itu sudah tak aku pakai lagi, selain ujungnya sudah patah juga ia sudah berkarat. Jadi kini benda itu sudah tak berfungsi lagi. Sudah tercampak menjadi sampah,” katamu ketika meminjam bibir lelaki tua itu.
Ujungnya patah, berkarat? Tak berfungsi dan tercampak menjadi sampah?
      “Haha…!”
      Hust, jangan bangga. Tawaku ini bukan tawa sebangsamu yang intinya mematikan nurani. Tawa ini adalah sinisme atas kegoblokkan aktingmu yang jelas kentara di depan mataku. Bahkan, jikapun kamu jauh dariku, tetap saja tak akan mampu mengelabuiku dengan berjuta akting. Perlu dicatat dan diingat, mata dan telingaku tak tuli tak buta. Kenapa, ya.. karena yang saya bicarakan di sini adalah fakta. Sekali lagi, fakta!
Makanya saya akan terus mengutukmu. Jauh atau pun dekat bagi kau dan aku bukanlah suatu ukuran. Berperang atau berdebat di area terbuka, di alam nyata maupun maya, dalam artikel opini atau pun fiksi, bagi kau dan aku bukan persoalan. Makanya, setelah perseteruan-perseteruan di berbagai macam ruang dan waktu tanpa usai, dalam sebuah cerpen ini pun saya kamu undang. Dan saya tak khawatir –apalagi cemas, seandaianya cerpen ini tak dimuat PR pun bukankah kita berdua tetap selalu bersitegang?
      Oya, apa yang persoalan kita tadi?
      “Soal pisau yang patah, berkarat, tercampak dan menyampah.”
Iya itu! Kalau dengan orang-orang bloon –yang kebloonannya tentu karenamu, bisa saja omonganmu dipercaya. Tapi jika dengan saya, wualah nol besar. Omonganmu lebih dari ngabla, goblok. Sebaliknya sama saja dengan melegalkan kenyataan bahwa kamu itu seorang penipu yang terkutuk.
     Hei, dengarkan!
     Seandainya benar ujung pisau itu telah patah dan berkarat, tercampak menjadi sampah, itu hanya cangkangnya. Aslinya tidak. Aslinya kan kamu. Yang saat itu berpura-pura jadi dewa penolong ketika seorang lelaki sakit hati dan bertapa di mulut goa. Menjelmalah kau dalam sebuah pisau bersinar dan siap mengabdi.
     “Alhamdulillah, akhirnya dapat juga pusaka ini,” kata lelaki tua saat itu. Kamu pun tersenyum tatkala lelaki itu sembah sungkem. Lantas kerjasama pun dibuat, dalam arti kinerja saling membutuhkan.
     “Benar, kan?”
     Tuh, kamu tertawa karena apa yang kukatakan adalah benar alias fakta.
Maka jangan kira aku tak tahu tentang pisau itu. Bukan patah atau hilang menjadi sampah, melainkan pisau itu telah dimakan oleh lelaki itu. Memang maunya kamu punya wadah atau tubuh yang lebih elegan. Sebab jika terus di pisau itu tentu kurang leluasa alias agak kaku untuk memperdaya umat. Kamu bisa juga disebut siluman sih, siluman yang perlu cangkang. Ya, cangkangnya tubuh lelaki itu.
     Satu hal yang paling memuakkan, tubuh yang kau rasuki itu adalah tubuh mertua saya. Sekali lagi, mertua saya!
     “Duh Gusti, Ya Allah, dia itu mertua saya. Mertua Saya!”
      “Aauww…!”
Tahan goblog! Sesekali tahan dong, dengan hanya sekali menyebut nama Allah saja kamu sudah panik dan kesakitan. Padahal itu pun cuma bisik di hati. Tapi kenapa tatkala seorang koruptor bersumpah di pengadilan dengan mulutnya berteriak “Allahu Akbar” kamu malah tenang-tenang saja. Malah saya lihat kamu makin setia dengannya. Dasar penjilat kau, ah!
     Maka selanjutnya kau harus diam, tak perlu komentar apalagi mendebati saya. Sebab apa pun reka kata yang kau ucapkan, tak bakal membuatmu menjadi mahluk yang sempurna. Jika sudah terkutuk, ya tetap terkutuk!
***
      Memang sesama manusia harus saling menghormati. Terlebih pada orang tua, dalam hal ini termasuk mertua. Tapi untuk mertuaku, tidak! Tapi awas jangan salah tafsir, jika selama ini saya ingin membunuh mertua itu. Mertua yang lelaki itu, yang telah membuat istrinya manut. Dan kemanutannya itu otomatis jadi sesamanya. Menjadi kembarannya. Malah, karena telah menelan pisau itu maka menjadi wadah setanlah mereka. Itulah sebabnya saya ingin membunuh mereka, membunuh lakunya. Sebab kalau tak dibunuh kelakuannya, celakalah keduanya.
     Memang mertuaku bukan pemangku negeri berdasi. Hidupnya tak bermobil, tak bermotor, bahkan sepeda pun tak pernah punya. Rumahnya bukan gedung bertingkat, bukan pula gedung biasa yang normal pada umumnya. Rumah mertua hanya tembok usang berdinding tebal tanpa semen. Namun yang bertingkat dan menjulang adalah kerajaan angkaranya. Setidaknya itu menurut saya sebagai menantunya.
Jujur saja, secara umum memang tak mencolok apa-apa yang saya tudingkan. Saat Jum’at kliwon atau Rebo Wage, tak tercium bakar kemenyan. Pun di dalam ruangan atau sudut kamar sempit, tak tampak bubur hitam-putih dan kembang setaji.
      “Itu bukan zamannya,” begitu secara tak sengaja suatu saat mereka berujar. Memang saya angguki, tapi bukan berarti percaya tanpa kelainan dalam hidupnya. Toh pelit dan kejam pada anak-cucu, bukankah itu pun suatu kelainan?
.     Mohon dicatat, yang bicara di sini adalah aku. Seorang menantu dari mertuaku. Yang entah stress atau apa di otakku, tiba-tiba tanpa sengaja mampu merekam keganjilan-keganjilan itu. Anehnya keganjilan-keganjilan itu telah membuat sepasang suami-istri gaek itu awet jaya. Kukatakan jaya, selain gampang beli tanah-kebun, herannya tak pernah mengalami sakit. Yang ada paling cuma pura-pura sakit.
Kendati tak memuja Buta Ijo, setan ipri atau Nyai Blorong, saya berani menuduh bahwa kehidupan mertuaku memakan tumbal. Gelagat itu terbaca setelah fakta demi fakta terus bicara, termasuk dengan setan/iblis yang saat ini dekat kita dan kusuruh diam dulu.
     Sebenarnya aku tak mengalami ketika Kang Karsum –kakak iparku, saat meninggal dulu. Sebab saat itu aku masih kecil dan belum jadi menantunya mereka. Yang saya alami saat-saat menjelang kematian Ceu Warsoh, kakak iparku yang kedua. Dia sakit keras setelah sebelumnya dicaci-maki oleh ibu-bapaknya alasan minta pinjam beras. Padahal lebih dari wajar jika Ceu Warsoh –yang lama menjadi janda, minta pinjam atau diberi barang dua liter beras atau lebih pun, sebab setiap panen tak kurang bepuluh ton gabah kering didapat mertua.
     “Ita..pulanglah kamu, karena nenek dan kakek lagi tak punya uang, relakan gajimu untuk membayar biaya perawatan rumah sakit,” kata mertua istri via telepon yang diangguki mertua lelaki kala itu. Heran,padahal tabungan mereka di BRI hasil penjualan gabah puluhan juta.
Dan meninggalah Ceu Warsoh, anak kedua dari mertuaku.
      Bagaimana Ceu Imas, kakak iparku yang ketiga? Apakah akan menjadi korbannya? Memang nyawanya tidak, tapi rumahtangganya yang sudah berjalan hampir 20 tahun dengan kang Hadi dan telah dikarunia satu anak perawan, tiba-tiba berantakkan. Ceu Imas berbuat serong hingga berujung perceraian.
***
      Ita, anaknya Ceu Warsoh berhenti jadi pembantu rumahtangga karena dilarang nenek-kakeknya. “Percuma jadi babu gajinya tak mampu untuk membeli sawah-kebun,” katanya. Seperti dalam dongeng, ada-ada saja alasan untuk membuat cucunya itu tersiksa. Tak sekedar disebut pemalas, hal sepele model boros sabun mandi pun kerap jadi masalah. Ita sering disiksa, digebuk kayu bakar. Yang fatal dan gila, tega-teganya seorang kakek meludahi kemaluan cucunya setelah sebelumnya menjambret handuk gadis itu usai mandi. Mending kalau di kamar mandi, ini di halaman rumah dan dilihat para tetangga. Bah!
      Setelah kabur ke Jakarta, Ita pun menikah dengan orang Cilegon. Bibi-Mamang, adiknya bapak kerap mewanti agar hasil tanah warisan yang 20 juta itu segera diberikan pada Ita. “Ini sekedar mengingatkan janji Akang, uang itu akan diberikan jika Ita menikah,” begitu kata Bi Jumsih, adiknya bapak. Bukan tanpa alasan, sebab Ita sudah bulat ingin menetap dan bikin rumah di Citangkil, Cilegon daerah suaminya. Namun lelaki itu tak juga menunaikan janjinya, sekalipun Ita kerap bolak-balik memintanya tak secara langsung.
     Saat Ceu Imas hajatan menikahkan gadis semata wayangnya, tiba-tiba terjadi kisruh. Biangkeroknya siapa lagi kalau bukan lelaki gaek itu. Ita yang datang jauh-jauh dari Cilegon bersama suami dan satu anaknya yang masih bayi disambut caci-maki di depan para tamu undangan. Karuan saja irama pongdut yang sengaja menghibur di panggung pun sempat berhenti beberapa saat.
      Saya terus merekam keganjilan demi keganjilan itu. Watak mertuaku yang pelit dan galak pada Ita, anehnya tak berkutik tatkala diketahui Ceu Imas nyeleweng dengan menantunya. “Biarlah, soal itu semua tiada yang anti,” katanya tanpa malu. Padahal jinah, apalagi antara mertua dan menantu seperti yang dialami Ceu Imas, bukankah itu seperti binatang?
      “Sudahlah, itu lupakan saja!” tegas kedua mertuaku, “Yang kita pikir mengenai Si Ita. Tak cuma 20 juta, sebagai rasa bersalah saya selama ini akan tambahkan 10 juta, jadi dengan 30 juta semoga bisa buat nambah modal hidup di Citangkil sana.”
       Tangis bahagia begitu kentara di wajah Ita. Begitu pun di wajah kedua mertuaku. Bahkan lelaki itu sampai tertawa terbahak ketika sore hari didengar bus Patas jurusan Pangandaran-Merak terguling di tanjakan Nagreg.
      Dan aku yakin, lelaki yang tertawa itu bukan mertuaku yang sejujurnya. Melainkan kamu, ruh jahat yang mendiami pisau itu!(*)
       (Pangandaran, 17 September 2013)

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll