Cerpen: Otang K.Baddy (Suara Karya 20 Februari 2016)
(pesisir selatan, 12.2015)
Perempuan itu kini sudah tak melihat lagi tupai berloncatan di kebun kelapa miliknya. Semua itu bukan karena rabun di matanya, melainkan hewan serupa tikus yang kerap bersuara 'cidotdot. cisotdot' di pelapah kelapa itu memang kini telah musnah. Habis kikis diburu orang bak serangan perang. Sebab di jaman serba rakus ini sudah tak lagi hewan ditabukan, semua bak santapan gurih yang bikin ketagihan. Ya, ya, persoalannya bukan itu.. Sebenarnya kebun kelapa yang kerap
diandalkan demi menghidupinya itu pun kini sudah tak punya. Ia telah berpindah tangan kepada orang lain. Sebagai gantinya perempuan lansia itu kini hanya mengandalkan hidup dari mencari lidi. Lidi kelapa yang sebelumnya telaten diraut, entah untuk dibuat sapu atau apa. Pokoknya pada saat produksi dari kaum marginal itu terkumpul sampai diangkut truk-truk besar ke kota.
Perempuan itu kerap megurut dada, terlebuh jika waktu siang ia mencari lidi di bekas kebun kelapa milknya. “Ah Sarwan, sungguh perbuatanmu sangat merugikan,” gumam perempuan itu seolah menyesali keadaan. Sebenarnya ingin sekali ia mengubur jauh-jauh tentang ulah anak lelakinya itu. Tapi karena ia sering menyambangi tanah kebun itu, pandanganya yang kurang cekas itu pun tak bisa ditutupi. Tanpa sepengetahuan sebelumnya kebun kelapa itu telah dijual Sarwan.
**
Tiba-tiba perempuan itu terhenyak ketika malam didengarnya suara orang-orang bersorak, berteriak-teriak bak tengah berburu. Suara gaduh itumeski agak jauh, lebih kurangnya 300 meter dari gubuknya, dalam cuaca malam yang dingin terdengar jelas juga di telinganya. Ya, tepatnya sebelah barat, menyusur jalan desa sekitar tanjakan Cibuluh. Bisa saja mereka tengah berburu. Ia pun segera melepaskan pisau rautnya, membereskan lidi-lidi itu di lincakbambu gubuknya. Tertatih beberapa langkah keluar. Tertegun. Pandangannya mencoba menerobos gelap malam demi mencapai kepastian atas suara-suara lelaki di sana. "Tapi berburu apa, mungkinkah ada babi hutan nyasar?" gumamnya menerka-nerka.
“Apakah Sarwan juga ikut bergabung di sana.?"
Sarwan adalah satu-satunya anak lelaki, bungsu dari empat bersudara. Tiga perempuan, satunya lelaki, ya Sarwan itu. Sudah nyaris setahun Sarwanhidupnya menduda, setelah menceraikan istrinya yang kedua. Meninggalkan dua orang anak, satu perempuan kelas empat SD, satunya lagi masih balita.Kedua anak itu saat ini diurus neneknya --ibunya Lasti sekaligus bekas mertua Sarwan, dimana Lasti setelah menjada kini jadi TKW di Saudi.
Hari-hari sang duda berusia 38 tahun itu tak jelas. Kerjanya kadang luntang-lantung. Tapi ia tak sudi untuk mulung kuntung. Maunya yang utuhberbungkus. Pun kopinya bukan kopi hitam, setidaknya yang bening kendati oplosan. Mungkin telah menjadi candu, sehingga dirasa sulit untuk meninggalkannya. Apa pun caranya, kesenangan itu harus tetap ditunaikan Sarwan. Sedang ibunya yang sudah tua tak kuasa menghadapi masalahitu.Bahkan perempuan yang sudah 10 tahun ditinggal suaminya itu tak berdaya ketika kebun kelapa satu-satunya itu tiba-tiba dijual Sarwan. Selain untuk hura-hura, alasannya untuk membayar utang-piutangnya ke banyak orang dan juga warung-warung di seputar kampung.
Sarwan adalah satu-satunya anak lelaki, bungsu dari empat bersudara. Tiga perempuan, satunya lelaki, ya Sarwan itu. Sudah nyaris setahun Sarwanhidupnya menduda, setelah menceraikan istrinya yang kedua. Meninggalkan dua orang anak, satu perempuan kelas empat SD, satunya lagi masih balita.Kedua anak itu saat ini diurus neneknya --ibunya Lasti sekaligus bekas mertua Sarwan, dimana Lasti setelah menjada kini jadi TKW di Saudi.
Hari-hari sang duda berusia 38 tahun itu tak jelas. Kerjanya kadang luntang-lantung. Tapi ia tak sudi untuk mulung kuntung. Maunya yang utuhberbungkus. Pun kopinya bukan kopi hitam, setidaknya yang bening kendati oplosan. Mungkin telah menjadi candu, sehingga dirasa sulit untuk meninggalkannya. Apa pun caranya, kesenangan itu harus tetap ditunaikan Sarwan. Sedang ibunya yang sudah tua tak kuasa menghadapi masalahitu.Bahkan perempuan yang sudah 10 tahun ditinggal suaminya itu tak berdaya ketika kebun kelapa satu-satunya itu tiba-tiba dijual Sarwan. Selain untuk hura-hura, alasannya untuk membayar utang-piutangnya ke banyak orang dan juga warung-warung di seputar kampung.
"Semoga bukan babi hutan yang tengah mereka buru. Setidaknya memburu trenggiling, biar sisiknya bisa dijual mahal untuk obat eksim," demikianlah ia bergumam penuh harap. Jika anak bungsunya ikut berburu dan yang dihasilkannya trenggiling pasti punya bagian. Setidaknya untuk kebutuhannya sendiri. Jangan sampai seribu-duaribu perak hasil meraut lidi terkuras lagi. Memang Sarwah pernah tega mengancam ibunya dan merampas uang tak seberapa itu.
Perempuan lansia itu sesaat menahan napas ketika di tanjakan itu terdengar suara mesin gergaji. Ah, ternyata bukan tengah berburu. Berarti Sarwantak punya masukan, perempuan itu berkeluh. Suara mesin senso menderu memecah malam. Bersamaan dengan teriak dan sorak tak berkesudahan.Apakah pohon kelapa yang tengah ditebang mereka itu berada dekat rumah Kartobi dekat langgar itu? Sehingga perlu ditarik-tarik ramai-ramai pakai tambang agar tak menghantam rumah dan masjid?. ia mencoba menerawang. Dan tak lama kemudian terdengar suara ' 'Seook..Bruuakk...!'. Yakin, tak bakal gagal. Suara itu pasti suara pohon kelapa yang ditebang. Jaman memang telah berubah kini, tebang pohon pun sampai malam hari. Biarlah. seandainya Sarwan memang tak punya masukan, perempuan itu agak tenang. Sebab, setidaknya esok siang ia punya peluang untuk mengambil lidi-lidikelapa yang ditebang itu.
Memang kemana Sarwan malam itu, apa masih nongkrong di warungnya Gozali? Kalau ditanya langsung ke Gozali, pemilik warung itu pasti akan menjawabnya bahwa malam ini tak kedatangan Sarwan. Bahkan sejak sebelum magrib.
Dan sendainya saja perempuan itu mau bertanya keberadaan anaknya malam itu, misal kepada Pak RT atau peronda di gardu, mereka tak akan luput pasti akan memberi jawaban. Meski dengan berat hati, mereka pasti mengabarkan bahwa anaknya itu tengah diburu malam itu. Sarwan memang sejak magrib sampai saat ini tengah dikejar massa. Alasannya ketika waktu magrib ia telah nekad mencuri motor tanpa terkunci yang terparkir di luar masjid. Namun ketika motor distarter segera diteriaki maling. Seketika, selain berbagi kabar lewat pesan singkat, para warga pun mengejarnya pakai motor. Dan adegan saling kejar tak berimbang pun terjadi, hingga motor yang dipakai Sarwan mesinnya mati kehabisan bensin. Pas terjadi di jalan tanjakan, sekitar 300 meter dari gubuk ibunya.
Sarwan yang telah kepepet pun segera membanting motor curiannya. Ia berlari ke semak blukar. Menerabas duri dan hutan ilalang. Karena takut dikepung ia pun naik ke pohon durian. Namun tetap saja mata para pemburu itu tak buta. Dibalik cahaya lampu senter yang berlesatan, lemparan batu-batu dan suara bedil mimis terus menghajar tubuhnya agak kurus. Sarwan pun merayap cepat di dahan, bak seekor tupai kemudian meloncat ke pohon kelapa. Hingga melapah dan sebunyi dibalik pucuknya.
Perempuan lansia itu sesaat menahan napas ketika di tanjakan itu terdengar suara mesin gergaji. Ah, ternyata bukan tengah berburu. Berarti Sarwantak punya masukan, perempuan itu berkeluh. Suara mesin senso menderu memecah malam. Bersamaan dengan teriak dan sorak tak berkesudahan.Apakah pohon kelapa yang tengah ditebang mereka itu berada dekat rumah Kartobi dekat langgar itu? Sehingga perlu ditarik-tarik ramai-ramai pakai tambang agar tak menghantam rumah dan masjid?. ia mencoba menerawang. Dan tak lama kemudian terdengar suara ' 'Seook..Bruuakk...!'. Yakin, tak bakal gagal. Suara itu pasti suara pohon kelapa yang ditebang. Jaman memang telah berubah kini, tebang pohon pun sampai malam hari. Biarlah. seandainya Sarwan memang tak punya masukan, perempuan itu agak tenang. Sebab, setidaknya esok siang ia punya peluang untuk mengambil lidi-lidikelapa yang ditebang itu.
Memang kemana Sarwan malam itu, apa masih nongkrong di warungnya Gozali? Kalau ditanya langsung ke Gozali, pemilik warung itu pasti akan menjawabnya bahwa malam ini tak kedatangan Sarwan. Bahkan sejak sebelum magrib.
Dan sendainya saja perempuan itu mau bertanya keberadaan anaknya malam itu, misal kepada Pak RT atau peronda di gardu, mereka tak akan luput pasti akan memberi jawaban. Meski dengan berat hati, mereka pasti mengabarkan bahwa anaknya itu tengah diburu malam itu. Sarwan memang sejak magrib sampai saat ini tengah dikejar massa. Alasannya ketika waktu magrib ia telah nekad mencuri motor tanpa terkunci yang terparkir di luar masjid. Namun ketika motor distarter segera diteriaki maling. Seketika, selain berbagi kabar lewat pesan singkat, para warga pun mengejarnya pakai motor. Dan adegan saling kejar tak berimbang pun terjadi, hingga motor yang dipakai Sarwan mesinnya mati kehabisan bensin. Pas terjadi di jalan tanjakan, sekitar 300 meter dari gubuk ibunya.
Sarwan yang telah kepepet pun segera membanting motor curiannya. Ia berlari ke semak blukar. Menerabas duri dan hutan ilalang. Karena takut dikepung ia pun naik ke pohon durian. Namun tetap saja mata para pemburu itu tak buta. Dibalik cahaya lampu senter yang berlesatan, lemparan batu-batu dan suara bedil mimis terus menghajar tubuhnya agak kurus. Sarwan pun merayap cepat di dahan, bak seekor tupai kemudian meloncat ke pohon kelapa. Hingga melapah dan sebunyi dibalik pucuknya.
“Hajar teruuuss…!”
“Bunuuuuh……..!”
Namun ketika maling bak tupai itu tak mau menampakan diri, warga yang kesal pun nekad ambil gergaji, hingga pohon kelapa itu pun tumbang. Bruugk…!
Semoga esok pagi perempuan itu membatalkan niatnya untuk mencari lidi.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar