Cerpen Otang K.Baddy (Majalah Kandaga - Kantor Bahasa Provisni Banten 1 Mei 2016)
Tiba-tiba di rumah korban itu banyak darah, tapi di tubuh
korban tak ada bekas luka, baik luka bekas senjata tajam atau gigitan taring
macan. Sama sekali tak ada, sekalipun bekas tusukan jarum, Dan memang korban
meninggal yang ini bukan karena dibunuh senjata tajam atau digigit taring
macan, melainkan kehabisan darah setelah sebelumnya muntah-muntah. Muntah
darah.
“Sepertinya ada yang tak beres,” bisik Jumadi, kepada sebagian orang
saat pulang dari pemakaman. Dan orang-orang pun kemudian terpengaruh dengan
apa-apa yang diceritakan Jumadi. Kematian yang tak wajar, demikianlah topik
yang dibicarakan mereka.
Makanya, usai acara tahlil malam pertama di rumah duka, warga Dukuh
langsung melucuti peci dan sarungnya. Mereka bergegas mendatangi rumah Rukmini,
seorang janda muda tak beranak itu. Tanpa basa-basi mereka langsung menyeret
perempuan itu ke Balai Pertemuan Kampung Dukuh. Ia hendak diminta pengakuannya
terkait kematian gadis yang baru kelas satu SMP itu. Mereka mengancam, jika perempuan
itu tak mau mengakui perbuatannya jangan tanya jika tiba-tiba mukanya bonyok
seperti barang rongsok.
“Kenapa kamu tega berbuat sekeji itu, Rukmini?” tanya Jumadi, seorang pasepuh atau kampung sekaligus pencetus
gagasan itu, mengawali pemeriksaan.Yang ditanya hanya diam, kemudian menunduk.
“Ngaku saja kamu, Rukmini....!” teriak seorang warga dari luar. Melihat
itu salah satu anggota hansip mencoba
menenangkan situasi seraya berujar lembut, “Tenang dulu..tenang dulu...sabar.”
“Apa masalahnya sampai kamu tega membunuh orang yang tak berdosa, kenapa
tidak membunuh saya saja?” tiba-tiba Ujang, kakak mendiang nyerobot ke depan
hendak meninju sang pesakitan.
“ Sabar dulu Jang..sabar,” yang lain membujuk seraya menahan lengan
pemuda itu yang tiba-tiba mengencang bagai robot.
“Tukang santet pantang mengaku jika tak disiksa..!” Ujang giginya
gemeretak diantara cengkraman tangan hansip. Jumadi memberi isyarat bahwa
dimohon kesabarannya, sebelum ditemui titik terang.
Diduga Rukmin merasa benci pada Ujang yang belakangan pernah memacarinya.
Sebagai seorang janda muda ia tak sudi ketika mendengar pemuda itu menjalin
hubungan dengan wanita lain. Hampir setiap sore Rukmini ke rumah Mak Icih
–ibunya Ujang sekaligus juga ibunya alm si gadis, sekedar alasan kerukunan
sebagai tetangga terdekat. Tak tahunya mungkin ada motif lain yang diduga
belakangan menaruh sesuatu. Tapi jika benar demikian, kenapa jadi adiknya Ujang
yang kena?
Kendati dicecar beberapa pertanyaan, dalam kerumunan kampung itu Rukmini
tak mengakui apa yang telah dituduhkan. Ia tak merasa melakukan perbuatan keji
apalagi sampai bisa mematikan itu. Jangankan melakukan pembuhunan secara gaib itu,
sekedar jampi pelet pun ia tak bisa, katanya.
Mendengar apa yang diucapkan si janda itu tak sedikitpun warga percaya.
Alasannya, Jumsih – ibunya Rukmini-- semasa hidupnya dikenal punya tenung. Pada
siapa lagi ilmu itu diturunkan jika tidak pada anaknya. Sedang anak Jumsih
hanyalah ia satu-satunya.
“Saya tak merasa melakukanya, saya tak merasa punya ilmu macam itu!”
dalam nada yang memelas Rukmini mengelak. Menurutnya apa yang telah dituduhkan
merupakan fitnah belaka.
“Kalau tak mau ngaku jotos saja kepalanya....!” masih teriak dari luar,
“Kalau perlu telanjangi dan diarak di jalan aspal..!”
“Percuma hanya bisa membunuh orang kecil, kenapa tidak sekalian para
koruptor saja yang dibunuh!?”
“Ya, kalau saja yang disantet itu para koruptor pasti negara ini aman
sejahtera!”
“Betul, terlebih bagi koruptor di atas ratus juta. Ini malah bisanya
anak yang tak berdosa.”
“Sst..!”
yang dekat orang tadi menyikut. Terjadi saling sikut. Terkekeh, kadang
tertawa kegelian. Mereka seakan berada di arena hiburan yang lucu.
“Apa memang kamu perlu bukti, Rukmini?” Jumadi memandang tajam janda
itu. Dari sorot mata lelaki yang dipercaya sebagai tetua kampung dan merangkap
paranormal itu seakan menaruh dendam. Mungkin atas niatnya menjadikan istri kedua
terhadap wanita itu ditolak dengan halus. Alasannya mungkin saat itu Rukmini
telah memiliki Ujang.
Dan,
semua tiba-tiba terkesiap manakala Jumadi mengeluarkan sesuatu. Sebuah
bungkusan kain kapan berisikan beberapa batang jarum, diletakan di meja.
“ Coba mau lari kemana kamu, toh pembuktian
sudah jelas begitu?” tandas Jumadi, dimana bungkusan itu katanya ia temukan
tertanam di tanah depan pintu rumah alm.
Rukmini tetap saja mengelak. Ia geleng
kepala. Warga menduga mungkin sudah sumpahnya tukang santet pantang mengakui
perbuatannya di muka umum. Warga sudah sangat beringas dan gemas. Namun
beberapa orang yang berpengaruh berhasil melerai emosi mereka. Tapi tetap saja
kecolongan. Sebab, di antara sedikit kelengahan Ujang mampu melayangkan bogem
mentahnya di kepala mantan kekasihnya itu.
Dalam keadaan nyaris kisruh malam itu, tiba-tiba Pak Kades muncul. Lalu
ia mendekati Kadus serta RT dan juga Jumadi. Terjadi pembicaraan yang berat dan
kontra. Demi alasan keamanan untuk sementara Rukmini hendak dibawa ke rumahnya
Pak Kades. Katanya, tentu tentu saja
untuk proses lebih lanjut. Semua warga tak suka, selain persoalannya belum
tuntas, mereka beralasan belum puas jika tukang santet itu belum bonyok atau
berlumur darah.
“Boleh saja perempuan itu dibawa, tapi ijinkan dulu kami untuk memberi
salam perpisahan dengan satu tinju di kepalanya…!” teriak seseorang seakan
mewakili kegemasan sesamanya. Namun petugas tak gubris, dalam waktu sekejap
perempuan itu telah hilang dari kerumunan.
**
Ujang, tiba-tiba bak sakit parah. Walau sudah berobat ke sana-sini, baik
secara medis maupun spiritual tak juga sembuh. Entah penyakit apa yang dideritanya,
yang jelas tubuh Ujang makin kurus dan
panas.
Suatu pagi warga dikejutkan dengan ulah Ujang. Dalam sakitnya tiba-tiba
ia melompat keluar rumah seraya berteriak-teriak dengan mata melotot. “Ki Jasmiiinn..!
Kenapa kamu tega mau membunuh saya? Ki Jasmin, awas kalau kamu tak bisa
menyembuhkan saya..!” katanya pada
seorang lelaki tua yang memang bernama Jasmin, yang saat itu kebetulan lewat di
depan rumahnya. Namun orang tua yang diteriaki itu seakan tak perduli, ia terus
berjalan dengan pekakas taninya seperti parang, golok dan congkrang yang
terselip di pinggangnya.
Jasmin masih satu kampung dengan Ujang, juga dengan Rukmini dan Jumadi.
Jasmin yang diteriaki tadi memang sudah biasa lewat di depan rumah Ma
Icih–ibunya Ujang, hendak pergi ke
ladangnya yang berjarak sekira empat kilometer, menerobos hutan, meniti bukit
dan kadang menapaki lembah kecil bersawah.
Entah kenapa, Jasim di kampung Dukuh
itu namanya agak tercoreng. Mungkin karena terlalu suntuk pada duniawi.
Penggila tanah (sawah, kebun, lahan tidur) dan dengan saudara tak akur.
Karenanya sebagian warga menduga bahwa ia punya teluh. Tuduhan itu lebih
melekat tatkala ia kurang gaul secara umum. Ia lebih suka tinggal di ladang,
kalau tak mondok pulangnya magrib atau menjelang waktu Isa. Dan ulah Ujang yang
baru saja terjadi seperti itu, seakan memperkuat fakta bahwa Ki Jasmin
benar-benar punya ilmu hitam. Begitulah beberapa pandangan warga Kampung Dukuh.
Warga pun tiba-tiba berkerumun di depan rumah Ma Icih. Sebagian
merumbung Ujang yang sakitnya makin parah dan aneh. Ia seperti kesurupan dan
terus memanggil nama Ki Jasmin yang sudah pergi jauh ke ladangnya.
Susana pun menjadi riuh ketika keluar umpatan-umpatan yang ditujukan
kepada Ki Jasmin.
“Dasar penganut ilmu hitam!”
“Sesat akibat silau duniawi!”
“Si tua pengabdi setan!”
“Si wajah kotor yang jauh dari agama!”
Demikianlah mereka dengan wajah melengos-lengos. Lantas, Jumadi-- tetua kampung yang merangkap
paranormal itu, dipanggil untuk menangani situasi. Setelah memantra si sakit,
Jumadi meminta Ki Jasmin harus segera didatangkan. Sebab, katanya, apa yang
telah diigaukan oleh Ujang bisa saja mutlak kebenarannya, termasuk untuk
memulihkan penyakitnya. Demikian pendapat Jumadi. Tapi tak seorang pun yang mau
menunaikan perintah lelaki itu. Alasannya terlalu jauh dan banyak menyita
waktu. Akhirnya dengan kesepakatan bersama, lelaki bulu tanah itu dipanggil
setelah nanti sore pulang dari ladangnya.
Soal Ujang yang terus mengingau, sementara diatasi dengan yang ada saja
dulu.
Menjelang tengah hari Ujang, kembali kambuh dengan igauannya. Tapi
anehnya kali ini ia jadi marah-marah pada Jumadi. Lelaki yang pernah jadi
paraji sunat itu dianggapnya tak becus mengurusi keadaan. Karenanya orang tua ini pun membuat merah
muka. Terlebih ketika dalam igauannya Ujang mengajak warga agar tidak lagi
mempercayai Jumadi sebagai tokoh atau tetua kampung. Menurut Ujang, pasepuh yang
merangkap dukun itulah sebenarnya yang punya ilmu hitam.
“Itu sudah pastii..!” teriak Ujang seraya menunjuk-nunjuk wajah lelaki
beruban itu.
Entah merasa tersinggung atau
apa, tiba-tiba Jumadi bangkit dan berjanji hendak menyeret Ki Jasmin yang jauh
di ladangnya. Namun langkahnya kandas tatkala seorang perempuan menghadang
dengan kepastianya.
“Mau lari kemana kamu bandot tua, toh topeng penditamu kini sudah terkelupas!” kata perempuan itu tiba-tiba bak
seorang sastria. Tatapnya yang tajam dan kukuh, bukan semata melampiaskan
dendam atas tuduhan lelaki itu pada dirinya. Melainkan bak suatu keberhasilan
menyingkap kabut misteri yang kerap membodohi warga Kampung Dukuh selama ini.
Melihat apa yang telah terjadi, warga yang hadir pun seketika berubah
haluan. Mereka yang sebelumnya antipati pada Rukmini, kini menjadi simpati
sepenuhnya. Semua itu tertunaikan dengan darah yang kembali berceceran di dalam
rumah Ma Icih.(*).
(pesisir-selatan jabar, maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar