Minggu, 24 Juli 2016

Sebuah Nama


Cerpen Otang K.Baddy (Tribun Jabar 24 Juli 2016)

     
       Lelaki itu seperti kerja berat, semisal tengah memecah batu kali. Keringatnya bercucuran. Padahal apa yang tengah dilakukanya itu disebut pekerjaan biasa pun kurang pas. Apalagi jika harus memerlukan tenaga ekstra kuat.Tak perlu sampai harus bercucur keringat. Secara umum kesannya santai, cuma nulis nama. Nama sendiri. Tapi setelah lebih dua jam ia tak juga mampu menuliskan namanya itu. "Aneh," desisnya. Rasanya ia belum pikun. Uban saja belum terlalu nyembul. Gigi masih utuh kendati bentuknya agak memanjang, ujung-ujungnya  meruncing seperti gigi tikus. Begitu pun soal usia, baru jelang kepala enam. Jadi tak sepatutnya pikun. Tapi kenapa hanya untuk sekedar menulis namanya sendiri ia tak becus?
      "Bagaimana sudah, Pak?" tanya lelaki yang terduduk di balik meja depan lelaki itu.
      "Maaf, sedikit ada yang keliru,'' lelaki itu segera mengambil karet penghapus. Kemudian ia tulis kembali namanya. Malah untuk yang ini sengaja ditulisnya dengan pelan dan teliti. Seraya mata mengeja, rangkaian huruf demi huruf ditulisnya dengan apik. Tapi ketika selesai ditulis yang muncul di blanko itu bukan namanya. Melainkan yang muncul malah kata 'Penjilat'.
      Bah, sepertinya ada yang tak beres, keluh batinnya payah. Keringat dingin tak hentinya terus membasahi tubuh serta merembes ke bajunya yang putih. Bahkan pakean yang pernah jadi kesukaannya itu saking basahnya terkesan seperti kumal..
      "Bagaimana Pak, sudah?" lelaki tadi kembali bertanya.
      "Waduh, ada sedikit huruf tertukar,"
      "Oh iya, tak apa. Tenang saja, mungkin prinsif Bapak tak gresa-grusu. Alon-alon asal kelakon. Memang nulis nama harus benar, tertukar atau salah sedikit bisa fatal akibatnya. Misal ingin menulis nama Toto, tapi yang tertulis jadi Tato. Atau hendak menulis nama Yadi ditulisnya Yanti, ini pun nanti malah dikira wanita, haha!" lelaki petugas kantor itu mencoba berkelakar.                  
      Berkelakar? Auw, itu cuma dalam batas penyampaian kata semata. Kalau saja punya hati mestinya ia mau koreksi diri. Terlebih tentang kesalahan menulis nama atau angka-angka  sebelumnya saat ia pernah bekerja di suatu intansi. Terlebih saat memanipulasi data sumbangan untuk  rakyat miskin, program BLT, bantuan rumah hingga masalah raskin. Kendati tak sampai milyar, dari program BLT saja ia telah meraup ‘laba hitam’ menggiurkan dengan cara titip banyak nama. Semisal nama-nama yang tak layak dapat sumbangan ia masukan dengan sistem bagi 50 persen. Juga dari beberapa matrial atas bantuan rumah serta penerima raskin yang datanya ia gelembungkan. Nulis nama-nama, mengutak-katik angka,  rumus gelembung ke atas gembos ke bawah, telah mewarnai kepiawaiannya yang seakan dinamis. Tapi kini ia tak ubahnya  lebih bodoh dari anak TK. Untuk sekedar menulis satu nama, yakni namanya sendiri, benar-benar tak bisa.
      Waktu sudah hampir tiga jam, mungkin tinggal beberapa menit lagi waktunya habis. Tapi lelaki itu belum juga mampu menulis namanya. Berkali-kali ia gagal. Setiap hendak menuliskan namanya yang benar sesuai yang tertera di KTP, tapi selalu muncul nama 'Penjilat'. Kalau begini apakah aku benar-benar telah gila?, pekiknya resah.
       Kendati begitu ia masih yakin, bahkan seyakin-yakinnya, bahwa dirinya bukan seekor binatang seperti tikus atau anjing. Fakta itu telah ia buktikan saat paginya mematut wajah di cermin. Ia benar-benar  manusia pada umumnya. Jadi tidak seperti hewan pengerat atau penjilat. Bahkan dari segi tampilan terbilang rapi serta jauh dari kesan orang jahat. Sebagaimana umumnya hidup dengan agama yang mayoritas, ia pun tak ketinggalan telah melaksanakan ibadah haji ke tanah suci. Jadi mau apa lagi, bukankah semua jelaga hidup telah terbungkus rapi?
       "Sebentar lagi waktunya habis, Pak. Kok menulis nama saja lama, apa saudara lupa nama sendiri?" lelaki itu mendekat.
      "Nama Bapak sebenarnya siapa sih, panjang atau pendek?"
      "Sesuai di KTP, nama saya Budiman Saleh."
      "Oh, sungguh nama yang sangat bagus. Nama yang dapat mencerminkan watak serta jati diri bagi penyandangnya. Artinya tak cuma mencerminkan kebaikan perilaku, melainkan nama yang terbilang mulia. Sip dan syukuri itu."
      Ya, Budiman Saleh nama lelaki itu. Kini serasa ada yang berubah pada dirinya. Mungkin jika ibarat alat elekronik, ada elemen yang rusak. Tak berfungsi. Kabelnya, atau urat penyambung dari telinga ke otak, sebelum kemudian ke hidung. Pujian nama yang baik dari seorang di depannya kali ini seakan tak terdengar. Tak seperti beberapa waktu sebelumnya. Dimana ada yang mengartikan nama lengkapnya selalu membuat hidungnya melendung. Pengertian nama yang sempat jadi puja-puji dan harapan banyak orang.
      Petugas kantor itu lalu mendampinginya, Ia ikut membantu dengan telaten, sebab siapa tahu lelaki di sampingnya itu punya penyakit tangan bergetar seperti gempa.
      "Ya..Bu-di-man  Sa-leh. Kan tidak sulit. Gampang, cuma beberapa huruf. Tapi memang ada juga orang yang lupa pada namanya sendiri. Mungkin karena ia terlalu sering menggunakan nama orang lain dalam setiap kepentingannya. Terlebih soal ambisi kekuasaan, ia selalu mengatasnamakan orang lain. Semisal hendak berjuang demi rakyat, kehendak rakyat. Padahal nyatanya penjilat. Musang berbulu ayam, haha…!" petugas itu tertawa, ia tergelitik dengan ucapannya.
       “Tapi puji syukur kepada Yang Agung. Alhamdulillah, saya tak termasuk dalam jajaran itu. Maksudnya saya belum pernah melakukan ulah  macam itu,” kata lelaki itu agak gemetar.      
        “O..saya percaya pada Bapak. Lagi pula yang saya bicarakan lebih kepada sekedar perumpamaan kok. Terlebih di saat-saat  musim kampanye politik atau suksesi kepemimpinan di negeri ini, hehe!” petugas itu terkekeh. Karena dirasa celotehnya kurang nyaman ia pun melangkah keluar ruangan dengan alasan hendak cari rokok. Sementara kelaki itu masih memegang pensilnya.
                      ** 
       Hari ini ia telah mendaftar untuk menjadi karyawan di perusahan baru yang terdekat. Sebelum pensiun ia sempat kerja di beberapa instasi. Ia pintar dalam menulis nama, angka-angka dan bikin tanda tangan.. Setelah sebelumnya dilakukan wawancara ia harus mengisi formulir dengan tulis tangan. Dari mulai nama, tempat tgl lahir serta lainnya termasuk pengalaman kerja serta gajih yang diinginkan. Kecuali partai --ia kosongkan, karena ia tak terikat oleh organisasi politik mana pun. Jadi netral. Yang lainnya sudah diisi sebagaimana mestinya. Tinggal nama.
       Waktu pendaftaran tinggal beberapa detik lagi. Demi kejujuran akhir, dengan kepastiannya ia tak segan menuliskan namanya pakai spidol hitam. ‘Sang Penjilat’, demikianlah. Sebelum pintu ruangan diketuk, sosok kumal dan basah itu segera meloncat dari jendela.(*)

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll