Cerpen Otang K Baddy (Pikiran Rakyat Minggu 13 Oktober 2019)
Seiring gejolak politik yang biasa dikatakan
memanas, hoak kerapkali menjadi kambing hitam bagi yang merasa tersudutkan.
Karena itu tergantung keberuntung, hoak pun dalam sesi ini kadang diperlukan.
Meski kadang seperti dagelan.
Tapi hoak yang ini terlalu. Bahkan sangat
terlalu. Terlebih hoak dalam peristiwa yang telah menimpa saya. Peristiwa yang teramat aneh sekaligus mengerikan
dalam lakon hidup saya selama ini. Selain
ngeri juga sangat memprihatinkan, hingga kemudian saya nyaris gila dibuatnya.
Sungguh!
Bayangkan saja, mereka datang di pagi
buta saat saya asyik bersantap surabi dan kopi. Setelah keluar dari mobil pertama,
sebelum kemudian ditingkahi yang lainnya, seorang lelaki langsung menemui saya
di teras rumah. Kedatangannya hendak memberikan mobil kepada saya. Karena peristiwa
ini sangat tiba-tiba datangnya, tanpa ada info atau konfirmasi sebelumnya,
siapa yang tak membuat jantungan?
"Tak perlu cemas ini sebuah
penghargaan dari kami sebagai abdi bangsa yang merasa terhibur dengan segala
keberadaan Bapak. Terlebih dalam kata yang selama ini Bapak posting di
facebook,” katanya seraya menyerahkan kunci mobil. "Biar soal
surat-suratnya akan kami urus kemudian."
Seketika kue surabi pun tersekat di tenggorokan.
Saya cubit pipi, jambak rambut, kemudian saya colok lubang hidung. Masih ada
nyeri dan geli, berarti masih hidup. Kalau mengingat apakah kejadian ini berada
di alam mimpi itu sulit sekali untuk sekadar cari bukti. Sementara penghargaan yang mereka tujukan atas
postingan-postingan saya di medsos. Bukankah itu postingan tentang kebohongan
saya?
Demi mengurangi ketegangan atas kisah
konyol itu saya buka dan periksa status-status Fb saya. Lalu satu persatu saya
tunjukkan postingan mana yang paling berkesan dan menghibur itu. Kendati
katanya sangat banyak namun ada satu yang sangat berkesan, antara bikin ngakak
dan tercengang. Mereka tertarik dengan postingan saya macam yang satu ini:
--Betapa
untuk jadi pembohong ulung tak cukup bermodal dengkul dan nyanyian mengalun.
Selain perlu jaringan sistematis dan pelatihan husus juga perlu belajar
bagaimana cara berkedip saat tatap muka dan membaca huruf-huruf terbalik --
Lho, cuma
postingan macam begitu sampai bisa terhibur? Demikian batin saya. Aneh, lucu
pun tidak kok. Duh makin puyeng saya. Tapi….
"Terima saja Pak Okabe, anggap saja
suatu rezeki tak terduga yang diberikan Tuhan lewat tangan saya!" kata
lelaki berdasi sangat perlente --yang menurut kacamata awam saya bisa saja
kalau ia bukan seorang punya kedudukan penting –misal manager perusahaan, melainkan
saya taksir setidaknya ia paling hanya sosok makelar gadungan yang lebay.
"Maaf bukan saya menolak rezeki,
soalnya saat ini saya tak butuh mobil!" tukas saya dengan pedih dan ngeri.
"Pak Okabe yang terhormat, kendati
kiprah kami bisa dipandang kurang beradab bagi kaum lemah tapi bukan berarti
menghinakan pada Bapak. Memang bentuknya tak seberapa, mobil ini harganya tak
mahal-mahal amat sih, cuma 500 jutaan lah," katanya.
"Mohon terima
saja, kami hanya memberi."
Yang menjadi pikiran saya tambah kacau
peristiwa ini bak suatu apalah-apalah. Betapa tidak, kilatan blitz kamera foto
yang membuat mata saya sakit tiada hentinya bersamaan juga dengan kamera
televisi. Awak media dari cetak, daring, youtuber dan sejenisnya, mereka tampak
antusias ingin mengantongi apa yang tengah mereka jajak dan geluti. Baik dari
segi gambar maupun akurasi data mereka berusaha jangan sampai bernilai hoak.
"Oleh karena itu mohon Bapak mau
menerimanya. Dengan Bapak mau menerima pemberian ini berarti suatu penghargaan
dan system usaha kami akan berlanjut. Jangan kuatir, tentu saja hadiah lain juga
telah kami persiapkan," lanjut lelaki berdasi yang rambutnya bak tak
berminyak itu.
Saya bergeming. Geleng kepala sebelum kemudian
nelah ludah.
"Wahai para awak media,
saudara-saudara yang terhormat. Mohon catat dan camkan. Apa yang kalian lihat
ini bukan suatu tindakan terpuji. Itu pun kalau tak mau dikatakan suatu
penindasan terhadap saya. Betapa tidak, sebab apa yang diperbuat dan berikan itu
berada dalam kondisi yang tidak saya butuhkan!”
Napas saya tersengal.
“Coba
pikir dengan kepala dingin, siapa yang
akan senang kendati apa yang diberikan itu harganya mahal sementara yang diberi
merasa tidak membutuhkannya?” tanya saya
berapi-api.
Namun mereka tetap membutakan mata dan
telinga. Buktinya tak seorang pun yang mau menggubris kata-kata saya. Mungkin
mereka menilai apa yang saya sangkalkan merupakan hoak tingkat tinggi dalam
etika dan gaya hidup modern. Karenanya mereka tampak ngeyel seraya
senyum-senyum di belakang kamera.
“Tahukah saudara sekalian, sejujurnya apa
yang saya butuhkan saat ini tiada lain hanya ingin menikmati secangkir
kopi!" demikian saya tegaskan. Demi meyakinkan mereka saya keluarkan suara
parau, kata yang terpatah-patah namun padat berisi. Kata-kata yang terbilang super
jujur luar biasa.
Lelaki yang kutaksir lebay tersebut
tampak kebingungan. Setelah itu ia membisikan kata-kata pada telinga
pembantunya. Lantas dari tas besar lelaki itu mengeluarkan sejumlah uang,
bergepok-gepok uang kertas. Satu Milyar!
"Terimalah, mungkin cukup untuk
beberapa cangkir kopi," katanya seperti memelas, nilai bujuk yang sangat
kental.
"Hai Bung, di manakah mata dan otakmu
disimpan. Sejak awal saya tak perlu yang gitu-gituan, tak perlu barang mewah
dan uang milyaran gitu. Ingat dan catat, kalau mau memberi mesti
dipertimbangkan dulu. Apa yang hendak diberikan jangan asal, tapi tanya apakah
orang itu memerlukan atau tidak?"
Demikian saya berbijak seraya menatap tajam mata lelaki itu.
Suasana pagi yang megah bak acara seremonial
pemangku negeri pun mendadak kacau. Si ‘bos’ itu tampak uring-uringan.
Kerumunan massa yang telah terkagum sejak awal atas peristiwa langka itu
perlahan hilang. Namun dari sekilas desas-desus yang saya terima, tak sedikit
dari mereka yang mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. Salut dan tanpa batas. Salut
antara akting pemberi dan penerima yang sama-sama ngotot. Mungkin di pikiran
mereka kami ini tampak gila permanen.
Mobil mewah keluaran terakhir dan mengkilat
itu bak tercampak samping rumah saya. Begitu pun uang seratusrebuan tampak
bertebaran di sana-sini, tak ubahnya sampah plastik. Tak ada seorang pun yang
sudi memungut. Mungkin pikir mereka dalam kondisi serba bingung saat itu tak
perlu uang. Untuk apa, ayam saja tak suka, setidaknya mungkin begitu pikir
mereka.
Atas peristiwa itu akhirnya saya sendiri
pun merasa rugi besar, selain halaman rumah dan harga diri ternodai juga soal
uang-uang yang menyampah. Begitu berserakan. Bahkan sampah uang tersebut
melebihi jumlah sampah plastik yang selama ini ditengarai jadi momok
lingkungan.
Meski dengan perasaan pusing akhirnya
saya kembali melanjutkan ngopi yang tertunda tadi. Namun sungguh makin galau
ketika kopi tak hangat lagi dan kue serabi itu telah basi. Dasar gangguan tak
beradab, pikir saya serasa mual-mual.
Seraya mengutuk pemberian mobil dan sejumlah
uang yang menyampah, saya tersentak pula ketika beberapa pesawat berputar-putar
di atas rumah saya. Dari info tak resmi konon ada tujuh pesawat secara
cuma-cuma hendak diberikan pada saya. Namun yang menjadi kendala bahwa tujuh pesawat tersebut kesulitan untuk
mendarat.
Seraya meraba dada saya yang terus berguncang,
coba bantu saudara bayangkan, kepada siapa saya mesti minta bantuan? Sebab jika tak bisa dicegah bagaimana jika
selanjutnya aset-aset berharga lainnya makin menjejali otak saya? (*)
(Pangandaran, September 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar