Sabtu, 11 Maret 2017

Kegelapan Laknat

Cerpen Otang K.Baddy (Harian Waktu 10 Maret 2017)


Ia memang  lelaki seperti malam gelap. Menggulita dalam mendung pekat.  Legam melebihi arang yang dikubur di kedalaman goa dalam suasana malam gerimis. Tepatnya seribu gumpal kegelapan, kepekatan dan kelegaman tanpa banding untuk menandingi kehidupan singgasana yang maha gelap.
        “Gelap, pekat...!” teriaknya sesak dan serak.
        Dalam gelap pekat legamnya ia bertutur. Menurutnya, ia punya mata, punya telinga, punya tangan, punya kaki, dan bahkan tentu saja punya hati. Tapi kenapa semuanya serba gelap, serba pekat, serba legam?
        Ia kesal. Dan sering berteriak-teriak. Teriak pada gagak, teriak pada mendung. Sambil berjalan merayap, ia menangis, ia menjerit-jerit. Bahkan ia protes kepada petir, kenapa petir
itu tak ada kilatnya? Kenapa...?
         Ia memang lelaki gelap yang muncul dan tenggelam di kegelapan tanah pekuburan. Tanah yang lembab, basah serta  dingin mengigilkan. Lalu merayap karena gelap. Mencari tempat yang nyaman.  Setelah melewati pagar, melewati pematang, menyisir  tepian sungai dan selokan, lalu sampailah di sebuah got.
          Di tempat ini ia merasa nyaman ketimbang di pekuburan yang lembab dan basah itu. Harapannya, di got ini ada yang lalu-lalang. Yakni pasti ada orang berjalan , ada motor atau pun mobil, yang tentu jika waktu malam seperti itu akan ada lampu penerang.
        Ya, alangkah senangnya ketika sesaat terdengar suara mobil yang tentu akan melewati got itu. Dengan demikian ia akan melihat cahaya atau penerang.  karenanya ia terlonjak ketika suara kendaraan itu makin mendekat. Tapi aneh, suara itu hanyalah suara. Ia tak melihat wujud
yang punya suara itu. Deru mobil itu hanyalah lewat tanpa lampu penerang yang didambakannya.
        “Ah, mungkin mobil itu lampunya rusak,” batinya menghibur. Tak lama kemudian ia dengar suara motor di tikungan. Yang ini pasti terang, pikirnya sambil terlonjak pula. Tapi, nyatanya suara
itu pun tinggal suara saja, sama tanpa lampu penerang. Motor itu lewat hanya suaranya saja. Ia tak melihat wujud dari suara itu. Yang ia lihat cuma gelap.
        “Gelap....! Pekaatt....!” teriaknya kesal. Namun kekesalannya segera terobati tatkala ia mendengar suara orang-orang yang berjalan kaki. Sambil berpendapat dan berharap, motor tadi mungkin lampunya rusak dan orang-orang yang jalan kaki ini pasti membawa obor. Lalu ia melonjak ketika didengarnya suara yang lewat itu makin mendekat. Namun alangkah kecewanya ketika orang-orang yang lewat itu tak membawa obor atau lampu penerang. Mereka tak tampak karena keadaan
tetap gelap. Yang ia dengar hanyalah pembicaraan dan langkah-langkah yang tergesa.
         “Kenapa kalian berjalan di kegelapan malam tanpa membawa lampu penerang atau obor? Tapi kenapa pula perjalanan kalian begitu lancar?” tanyanya pada mereka dengan suara lantang. Tapi mereka tak ada satu pun yang menjawab, selain semakin mempercepat langkahnya dan bahkan kemudian mereka berlari seakan ketakutan.
        “Hai..kenapa kalian berlarian, apa takut kepadaku...?” teriaknya merasa kaget. Dan orang-orang yang lewat itu kemudian hilang di tikungan. Karena penasaran, akhirnya ia kejar orang-orang tadi. Tapi aneh, kali ini tak seperti biasanya dimana berjalan hanya dengan merayap, melainkan seketika ia mampu berjalan cepat bahkan seperti kilat. Hingga dalam waktu bersamaan ia sudah sampai di tujuan, yaitu di tikungan dimana orang-orang tadi menghilang. Tapi, sialnya orang-orang tadi sudah tak ada. Kendati begitu ia mampu mencium jejak mereka, sehingga ia mencoba mengekor dari belakang.
      “Hei..., tunggu akuu.....! Tungguuu....!” teriaknya ketika didapati orang-orang tadi sudah memasuki area rumah penduduk.
       Tapi mereka tak peduli dengan teriaknya yang keras dan serak. Mungkin mereka tak mendengar.
Mungkin juga mereka ketakutan. Mereka berlompatan dan segera memasuki rumahnya masing-masing dan segera menguci pintu.
        Ia merasa sedih ketika dijumpainya kampung penduduk itu mendadak sepi. Apalagi ketika tiba-
tiba hujan turun. Tak seberkas sinar terang pun ia lihat di tempat ini. Mungkin orang-orang langsung membenamkan diri dibawah asuhan hujan yang merintik. Tak cuma itu saja, diduga sejak sore aliran listrik sudah mati. Mungkinkah alam telah tahu kalau malam itu  akan kedatangan sosok hitam
yang punya pengaruh gelap?     
        “Kenapa alam ini begitu gelap?”teriaknya sambil tengadah ke langit hitam pekat, “Apakah ini
yang namanya alam kubur dan aku tengah menjalani siksaNya?” lanjutnya dengan suara serak. Lalu
ia berpikir, jika ia sudah dikubur dan mati tapi kenapa ia masih mampu gentayangan dan bisa bernafas? Kenapa tanah kuburan tak terus menghimpitnya dan membusukkan tubuhnya? Ah, ia tak
habis pikir.  Ia tak mampu berpikir lebih dari itu. Yang dirasa alam terasa semakin gelap selamanya.      
        Ia tak pernah menemukan bintang atau bulan. Ia tak pernah menemukan fajar, tak pernah mene-
mukan pagi dan siang, apalagi matahari. Yang dirasa selamanya gelap. Gelap seperti malam tanpa bintang atau bulan.  Gelap yang meraja sepanjang hidupnya di kegelapan malam pekat.
       Tapi kendatipun gelap ia merasakan jika waktu fajar menyingsing, karena suara ayam jan-
tan berkokok. Ia merasakan kalau datang waktu pagi dan siang, karena terdengar orang-orang
beraktivitas. Saat-saat seperti itulah ia tumpahkan segala kekesalannya. Ia marah pada fajar karena kenapa tidak menampakan sinar. Ia marah pada pagi karena kenapa tidak menerbitkan mata-hari. Dan ia marah pada siang karena kenapa tak mampu merubah pandangannya yang seharusnya panas terang benderang, bukan gelap. Dan ia pun marah pada orang-orang karena kenapa tak mau peduli
pada dirinya yang sering teriak-teriak minta pertolongan.
      ***
        Dalam suatu gelap pekuburan tiba-tiba ia mendengar suara lelaki gelap seperti gagak bertanya sambil menghampirinya. Apakah ia mendengar kegaduhan semalam di luar rumah? Ia menjawab tidak selain bunyi kentongan yang ditabuh warga dari gardu penjagaan.  Lalu si gelap lain bertanya lagi, apakah ia dapat tidur nyenyak tadi malam? Ia menjawab tidak, selain hanya memelototkan matanya sampai pagi hingga ia mendengar suara dan derak kaki warga yang mengusung keranda ke pekuburan.
        “Wah sekarang banyak orang mati. Mati karena kelaparan, mati karena takut lapar, mati karena
bunuh diri, mati karena hatinya telah mati!” katanya seperti gagak.
        “Kalau menurutku peradaban ini sudah amburadul. Hati nurani manusia sudah error, tatanan hi-
dup sudah jungkir balik. Kebenaran dan kejujuran hanya sebatas kata-kata dan baju.” sahutnya seperti mendung pekat.
        Kendati malam tanpa akhir, lelaki gelap itu kini tak merasa sendiri lagi, sebab penghuni kegelapan disusul oleh para pendatang baru.
       “Hei..kawan, kenapa kita sekarang punya wujud hitam dan berbulu kasar? Apakah pantas jika
tubuh begini disebut manusia?” seorang pendatang baru tiba-tiba nyeletuk pada teman gelapnya.
“Lihatlah kepalaku makin membesar, mataku melotot keluar, telingaku seperti anjing dan bopongku berekor.....”.   Lalu si gelap pendatang baru itu tiba-tiba menggonggong, sebelum kemudian melolong panjang memecah alam kegelapan raja gelap. Tak pelak bulu-bulu pun merinding. Karenanya para lelaki gelap lain seketika itu berlari terpencar karena ketakutan.
        Beraneka macam gelap. Si gelap seperti aspal, si gelap seperti gagak, si gelap seperti mendung pekat, si gelap seperti multi kegelapan. Semua saling menjauh, mereka lari terkencing-kencing, terkangkang-kangkang dan saling terpelanting. Menyandung batu, melabrak duri, melabrak belukar, melabrak rawa-rawa dan juga tempat pembuangan sampah.
       “Toloong.. tolooong....., ada srigalaaa......!”
       “Toloong...tolooong...... ada buayaaa.......!”
       “Toloong...tolooong ......ada..gorilaaa......!”
       “Toloong...tolooong.......ada  * ririwaa.......!”
        Begitulah mereka, saling bersahutan.  Saling cemas, saling takut sama lainnya. Mereka terus berteriak-teriak tiada hentinya. Di jalan aspal, di tikungan-tikungan, di jalan tol, di panggung-pangung hiburan, di pasar-pasar, di hotel-hotel, di mobil-mobil mewah, di gedung parlemen, di ruang sidang,  di depan istana, di sembarang tempat -- tak terkecuali di tempat peribatan. Teriakan itu pada akhirnya berujud amarah tanpa kendali, hingga akhirnya mereka saling melempar batu. Suasana kegelapan menjadi kisruh dan kalang kabut.
        Si gelap dan si gelap tak cukup dengan cuma saling melempar batu. Mereka juga saling melempar pasir, melempar botol minuman, melempar kursi, melempar palu, melempar apa saja yang sebelumnya dilempar sesamanya. Terjadi balas membalas, hingga tanpa disadari uang uang hasil  korupsi pun mereka lempar. Karena saling lempar uang haram itu pelataran pun jadi penuh dengan uang yang berserakan. Tak puas dengan itu, istri-istri gelap, para gundik yang telah mereka pelihara secara kolektif  pada waktu itu ia lemparkan satu persatu. Para istri yang semuanya telanjang dan berpostur seksi itu tampak menjerit-jerit karena tubuh mereka saling berbenturan satu sama lainnya. Tak puas dengan unsur nilai kebendaan, lantas beralih ke masalah wacana maupun tatanan kehidupan yang terbilang muak. Karenanya ada pula yang melemparkan  nama reformasi, demokrasi madani, alasannya karena semua itu hanya digunakan sebagai baju ambisi yang sebenarnya telah mereka injak-injak.
        Suasana kalap terus membuai mereka, hingga mereka pun benci pula pada dirinya sendiri. Saking kesal dan gemas mereka pun sama-sama tega mencekik lehernya sendiri. Bahkan karena kuku tangannya yang meruncing tajam melebihi taring macan tak pelak telah membuat leher mereka terputus. Gelagap laknat itu terus meradang demikian dahsyat. Puncak angkara itu telah mengelupaskan topengnya yang nyata. Sayu di mata, kuluman senyum, kesantuan yang merupakan senjata penjerat mangsa, kini terlempar jauh. Terlebih setelah kepala mereka dilemparkan.
       Mereka pun akhirnya saling lempar kepala. Dengan beragam tipe wajah  --botak, berkumis, berjenggot, berkerut,  nyengir, dlsb, termasuk seribu kelebayan yang dinamis, kepala-kepala itu tak ubahnya taburan bola yang turun dari langit.  Mereka saling berebut, bahkan terkesan seperti main bola tanpa wasit, demikian liar dan sadis. Dilempar dan ditendang, hingga kepala itu saling berbenturan dan sebagian menggelinding terbang ke luar area. Ada yang membentur kaca jendela, kaca mobil mewah, dinding jembatan hingga jalanan aspal. Kepala-kepala itu pun  terpencar kemana-mana.
       Laknat kegelapan itu benar-benar telah mencapi puncaknya. Karena otak dan darah telah mengering, mereka pun melemparkan kerangka tubuhnya ke dalam jurang yang gelap. Hingga sekejap lenyap ditelan bumi*[].
                                                                                                            (Ciamis, Juli 2010)

*ririwa =  hantu (Sunda)

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll