Cerpen Otang K.Baddy (Harian Waktu 10 Maret 2017)
Ia memang lelaki seperti malam gelap. Menggulita dalam mendung
pekat. Legam melebihi arang yang dikubur
di kedalaman goa dalam suasana malam gerimis. Tepatnya seribu gumpal kegelapan,
kepekatan dan kelegaman tanpa banding untuk menandingi kehidupan singgasana
yang maha gelap.
Dalam
gelap pekat legamnya ia bertutur. Menurutnya, ia punya mata, punya telinga,
punya tangan, punya kaki, dan bahkan tentu saja punya hati. Tapi kenapa
semuanya serba gelap, serba pekat, serba legam?
Ia kesal. Dan sering berteriak-teriak. Teriak
pada gagak, teriak pada mendung. Sambil berjalan merayap, ia menangis, ia
menjerit-jerit. Bahkan ia protes kepada petir, kenapa petir
itu tak ada
kilatnya? Kenapa...?
Ia
memang lelaki gelap yang muncul dan tenggelam di kegelapan tanah pekuburan.
Tanah yang lembab, basah serta dingin mengigilkan.
Lalu merayap karena gelap. Mencari tempat yang nyaman. Setelah melewati pagar, melewati pematang,
menyisir tepian sungai dan selokan, lalu
sampailah di sebuah got.
Di tempat ini ia merasa nyaman
ketimbang di pekuburan yang lembab dan basah itu. Harapannya, di got ini ada
yang lalu-lalang. Yakni pasti ada orang berjalan , ada motor atau pun mobil,
yang tentu jika waktu malam seperti itu akan ada lampu penerang.
Ya, alangkah senangnya ketika sesaat terdengar
suara mobil yang tentu akan melewati got itu. Dengan
demikian ia akan melihat cahaya atau penerang. karenanya ia terlonjak ketika suara
kendaraan itu makin mendekat. Tapi aneh, suara itu hanyalah suara. Ia tak
melihat wujud
yang punya suara
itu. Deru mobil itu hanyalah lewat tanpa lampu penerang yang didambakannya.
“Ah,
mungkin mobil itu lampunya rusak,” batinya menghibur. Tak lama kemudian ia
dengar suara motor di tikungan. Yang ini pasti terang, pikirnya sambil terlonjak
pula. Tapi, nyatanya suara
itu pun tinggal
suara saja, sama tanpa lampu penerang. Motor itu lewat hanya suaranya saja. Ia
tak melihat wujud dari suara itu. Yang ia lihat cuma gelap.
“Gelap....!
Pekaatt....!” teriaknya kesal. Namun kekesalannya segera terobati tatkala ia
mendengar suara orang-orang yang berjalan kaki. Sambil berpendapat dan
berharap, motor tadi mungkin lampunya rusak dan orang-orang yang jalan kaki ini
pasti membawa obor. Lalu ia melonjak ketika didengarnya suara yang lewat itu
makin mendekat. Namun alangkah kecewanya ketika orang-orang yang lewat
itu tak membawa obor atau lampu penerang. Mereka tak tampak karena keadaan
tetap gelap. Yang
ia dengar hanyalah pembicaraan dan langkah-langkah yang tergesa.
“Kenapa kalian berjalan di kegelapan malam
tanpa membawa lampu penerang atau obor? Tapi kenapa pula perjalanan kalian
begitu lancar?” tanyanya pada mereka dengan suara lantang. Tapi mereka tak ada
satu pun yang menjawab, selain semakin mempercepat langkahnya dan bahkan
kemudian mereka berlari seakan ketakutan.
“Hai..kenapa kalian berlarian, apa
takut kepadaku...?” teriaknya merasa kaget. Dan orang-orang yang lewat itu
kemudian hilang di tikungan. Karena penasaran, akhirnya ia kejar orang-orang
tadi. Tapi aneh, kali ini tak seperti biasanya dimana berjalan hanya dengan
merayap, melainkan seketika ia mampu berjalan cepat bahkan seperti kilat.
Hingga dalam waktu bersamaan ia sudah sampai di tujuan, yaitu di tikungan
dimana orang-orang tadi menghilang. Tapi, sialnya orang-orang tadi sudah tak
ada. Kendati begitu ia mampu mencium jejak mereka, sehingga ia mencoba mengekor
dari belakang.
“Hei..., tunggu akuu.....! Tungguuu....!”
teriaknya ketika didapati orang-orang tadi sudah memasuki area rumah penduduk.
Tapi mereka tak peduli dengan teriaknya yang keras dan serak. Mungkin
mereka tak mendengar.
Mungkin juga
mereka ketakutan. Mereka berlompatan dan segera memasuki rumahnya masing-masing
dan segera menguci pintu.
Ia merasa sedih ketika dijumpainya
kampung penduduk itu mendadak sepi. Apalagi ketika tiba-
tiba hujan turun.
Tak seberkas sinar terang pun ia lihat di tempat ini. Mungkin orang-orang
langsung membenamkan diri dibawah asuhan hujan yang merintik. Tak cuma itu
saja, diduga sejak sore aliran listrik sudah mati. Mungkinkah alam telah tahu
kalau malam itu akan kedatangan sosok
hitam
yang punya
pengaruh gelap?
“Kenapa alam ini begitu gelap?”teriaknya
sambil tengadah ke langit hitam pekat, “Apakah ini
yang namanya alam
kubur dan aku tengah menjalani siksaNya?” lanjutnya dengan suara serak. Lalu
ia berpikir, jika
ia sudah dikubur dan mati tapi kenapa ia masih mampu gentayangan dan bisa
bernafas? Kenapa tanah kuburan tak terus menghimpitnya dan membusukkan
tubuhnya? Ah, ia tak
habis pikir. Ia tak mampu berpikir lebih dari itu. Yang
dirasa alam terasa semakin gelap selamanya.
Ia tak pernah menemukan bintang atau
bulan. Ia tak pernah menemukan fajar, tak pernah mene-
mukan pagi dan
siang, apalagi matahari. Yang dirasa selamanya gelap. Gelap seperti malam tanpa
bintang atau bulan. Gelap yang meraja sepanjang
hidupnya di kegelapan malam pekat.
Tapi
kendatipun gelap ia merasakan jika waktu fajar menyingsing, karena suara ayam
jan-
tan berkokok. Ia
merasakan kalau datang waktu pagi dan siang, karena terdengar orang-orang
beraktivitas. Saat-saat
seperti itulah ia tumpahkan segala kekesalannya. Ia marah pada fajar karena
kenapa tidak menampakan sinar. Ia marah pada pagi karena kenapa tidak
menerbitkan mata-hari. Dan ia marah
pada siang karena kenapa tak mampu merubah pandangannya yang seharusnya panas terang
benderang, bukan gelap. Dan ia pun marah pada orang-orang karena kenapa tak mau
peduli
pada dirinya yang
sering teriak-teriak minta pertolongan.
***
Dalam
suatu gelap pekuburan tiba-tiba ia mendengar suara lelaki gelap seperti gagak
bertanya sambil menghampirinya. Apakah ia mendengar kegaduhan semalam di luar
rumah? Ia menjawab tidak selain bunyi kentongan yang ditabuh warga dari gardu
penjagaan. Lalu si gelap lain bertanya
lagi, apakah ia dapat tidur nyenyak tadi malam? Ia menjawab tidak, selain hanya
memelototkan matanya sampai pagi hingga ia mendengar suara dan derak kaki warga
yang mengusung keranda ke pekuburan.
“Wah sekarang banyak orang mati. Mati karena
kelaparan, mati karena takut lapar, mati karena
bunuh diri, mati
karena hatinya telah mati!” katanya seperti gagak.
“Kalau menurutku peradaban ini sudah
amburadul. Hati nurani manusia sudah error, tatanan hi-
dup sudah jungkir
balik. Kebenaran dan kejujuran hanya sebatas kata-kata dan baju.” sahutnya
seperti mendung pekat.
Kendati malam tanpa akhir, lelaki gelap
itu kini tak merasa sendiri lagi, sebab penghuni kegelapan disusul oleh para
pendatang baru.
“Hei..kawan, kenapa kita sekarang punya wujud
hitam dan berbulu kasar? Apakah pantas jika
tubuh begini
disebut manusia?” seorang pendatang baru tiba-tiba nyeletuk pada teman
gelapnya.
“Lihatlah kepalaku
makin membesar, mataku melotot keluar, telingaku seperti anjing dan bopongku
berekor.....”. Lalu si gelap pendatang baru itu tiba-tiba
menggonggong, sebelum kemudian melolong panjang memecah alam kegelapan raja
gelap. Tak pelak bulu-bulu pun merinding. Karenanya para lelaki gelap lain
seketika itu berlari terpencar karena ketakutan.
Beraneka macam gelap. Si gelap seperti
aspal, si gelap seperti gagak, si gelap seperti mendung pekat, si gelap seperti
multi kegelapan. Semua saling menjauh, mereka lari terkencing-kencing, terkangkang-kangkang dan saling
terpelanting. Menyandung batu, melabrak duri, melabrak belukar, melabrak rawa-rawa dan juga tempat pembuangan
sampah.
“Toloong.. tolooong....., ada srigalaaa......!”
“Toloong...tolooong...... ada
buayaaa.......!”
“Toloong...tolooong ......ada..gorilaaa......!”
“Toloong...tolooong.......ada * ririwaa.......!”
Begitulah mereka, saling bersahutan. Saling cemas, saling takut sama lainnya.
Mereka terus berteriak-teriak tiada hentinya. Di jalan aspal, di
tikungan-tikungan, di jalan tol, di panggung-pangung hiburan, di pasar-pasar,
di hotel-hotel, di mobil-mobil mewah, di gedung parlemen, di ruang sidang, di depan istana, di sembarang tempat -- tak terkecuali di tempat
peribatan. Teriakan itu pada akhirnya berujud amarah tanpa kendali, hingga
akhirnya mereka saling melempar batu. Suasana kegelapan menjadi kisruh dan
kalang kabut.
Si gelap dan si gelap tak cukup dengan
cuma saling melempar batu. Mereka juga saling melempar pasir, melempar botol minuman, melempar kursi, melempar palu, melempar apa
saja yang sebelumnya dilempar sesamanya. Terjadi balas membalas, hingga tanpa
disadari uang uang hasil korupsi pun
mereka lempar. Karena saling lempar uang haram itu pelataran pun jadi penuh
dengan uang yang berserakan. Tak puas dengan itu, istri-istri gelap, para
gundik yang telah mereka pelihara secara kolektif pada waktu itu ia lemparkan satu persatu.
Para istri yang semuanya telanjang dan berpostur seksi itu tampak
menjerit-jerit karena tubuh mereka saling berbenturan satu sama lainnya. Tak
puas dengan unsur nilai kebendaan, lantas beralih ke masalah wacana maupun
tatanan kehidupan yang terbilang muak. Karenanya ada pula yang melemparkan nama reformasi, demokrasi madani, alasannya karena semua itu hanya digunakan
sebagai baju ambisi yang sebenarnya telah mereka injak-injak.
Suasana
kalap terus membuai mereka, hingga mereka pun benci pula pada dirinya sendiri. Saking
kesal dan gemas mereka pun
sama-sama tega mencekik lehernya
sendiri. Bahkan karena kuku tangannya yang meruncing tajam melebihi taring
macan tak pelak telah membuat leher mereka terputus. Gelagap laknat itu terus
meradang demikian dahsyat. Puncak angkara itu telah mengelupaskan topengnya
yang nyata. Sayu di mata, kuluman senyum, kesantuan yang merupakan senjata
penjerat mangsa, kini terlempar jauh. Terlebih setelah kepala mereka
dilemparkan.
Mereka pun akhirnya saling lempar
kepala. Dengan beragam tipe wajah
--botak, berkumis, berjenggot, berkerut, nyengir, dlsb, termasuk seribu kelebayan yang
dinamis, kepala-kepala itu tak ubahnya taburan bola yang turun dari langit. Mereka saling berebut, bahkan terkesan seperti
main bola tanpa wasit, demikian liar dan sadis. Dilempar dan ditendang, hingga
kepala itu saling berbenturan dan sebagian menggelinding terbang ke luar area.
Ada yang membentur kaca jendela, kaca mobil mewah, dinding jembatan hingga
jalanan aspal. Kepala-kepala itu pun
terpencar kemana-mana.
Laknat
kegelapan itu benar-benar telah mencapi puncaknya. Karena otak dan darah telah
mengering, mereka pun melemparkan kerangka tubuhnya ke dalam jurang yang gelap.
Hingga sekejap lenyap ditelan bumi*[].
(Ciamis, Juli 2010)
*ririwa = hantu (Sunda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar