Rabu, 25 Oktober 2017

Semarak Pesta Malam Perbukitan

Cerpen: Otang K.Baddy (Kabar Priangan 29 Agustus 2012)     

      
  MUNGKIN orang-orang dalam goa tak tahu kisah apa yang tengah terjadi di luar sana. Apakah keresahan, caci-maki, mual-mual, ataukah sebuah protes? Jika mau menjawabnya tentu akan menyebut, tidak! Sebab suasana di luar goa tak sekedar aman dan terkendali, melainkan penuh kesenangan tiada tara.
         Selalu ada hikmah di balik suatu musibah, ungkapan yang tak perlu diragukan lagi.
Ya, seperti apa yang tengah terjadi di perbukitan itu. Lima ekor kerbau milik Rastam, yang diduga masuk jurang akibat tergertak suara petir semalam, dalam misi penyelamatan awalnya mengalami kegagalan. Satu kerbau dara yang diderek dari kedalaman sekira 40 meter itu mengalami cedera, ketika tali penderek putus dan hewan itu terhempas keras setelah sebelumnya membetur-bentur dinding goa.

         Kendati mereka, orang-orang dalam goa yang terlatih, perjanjian semula harus tetap disepakati. Orang atas dan bawah jangan terjadi tawar- menawar. Kata mereka, mengingat medan yang rumit, dalam misi penyelamatan lima ekor kerbau itu, sikap pro-kontra harus benar-benar dihindari. Jika terjadi putus tali atau hewan jatuh, daripada mati mubazir atau cedera mengenaskan, jangan tanya lagi hewan itu pasti langsung dipotong.

         Entah tergesa khawatir nyawanya tak terselamatkan, atau karena ketajaman golok yang tak perlu diragukan, di dalam goa itu kepala hewan terpenggal. Sehingga di keremangan usai magrib, tatkala hewan itu terderek muncul tanpa kepala. Dugaan lain, dipenggalnya kepala binatang itu tak lebih untuk sekedar melancarkan penderekan dari gangguan tanduk yang kerap menyangkut benjolan tebing goa. Dan pada akhirnya semua itu bukan masalah, tokh hewan yang satu itu memang hendak dipotong. Selanjutnya, semoga yang empat ekor lagi dapat diselamatkan hidup-hidup.

         Tak kurang dari 200 orang, lelaki-perempuan, tua muda, dari berbagai setara kehidupan, tak terkecuali para pembawa agama, malam di bukit itu layaknya sebuah pesta. Lebih tepatnya disebut hura-hura, karena kedatangannya sebagian tanpa beban moral atau pun moril. Sebab pada umumnya semula kedatangan mereka sekedar ingin menyaksikan evakuasi kelima ekor kerbau yang masuk jurang.

          Bak suatu perayaan akbar, orang-orang menadadak pro-aktif. Dari yang mengumpulkan kayu bakar, membuat tungku untuk menjerang air serta menanak nasi. Para perkasa, dengan gesit dan cekatan menusukan batangan kayu dari dubur sampai tembus di leher binatang itu. Kemudian mengangkat dan memanggangnya di bara api, setelah sebelumnya sosok itu ditaburi bumbu khusus yang telah dipersiapkan. Demi menghindari kegosongan, sekujur tubuh hewan itu diputar-putar.

         Dan aroma gurih pun terasa menusuk hidung, hingga tanpa disadari sebagian orang menari-nari kegirangan. Mungkin tak sabar dan gemas, orang-orang yang melingkung sate guling itu meletok-letok lidahnya di bibir.

        Sekiranya daging itu sudah matang, secara kelompok atau berdikari, setelah mereka mengambilkan nasi hangat, serentak memburu pemanggangan. Tampak seperti rebutan, namun tetap aman tak seperti anjing yang kerap menyeringai saat rebutan tulang.

        Semua memang di luar dugaan. Rastam yang kikir --yang tak cuma pelit pada orang lain, namun juga pada dirinya. Kecerobohan mengembala kerbaunya yang kerap merambah tanaman orang, senantiasa kena dampratan dan caci-maki dari para petani. Kini, dengan segala pengorbanan, seperti beberapa bungkus rokok, seduhan beberapa gelas kopi, serta tiga karung beras pelengkap nasi hidangan. Meski sedikit rasa mangkel, tokh musibah tak dapat dihindari, akhirnya ia merelakan segalanya -termasuk satu kerbau daranya.

        Dengan demikian, orang-orang yang sebelumnya kerap menghujat, menggunjing, seketika berubah sanjung-puja dan beribu ucap terimakasih pada Rastam. Hujatan yang semula semoga Rastam cepat mati dan masuk neraka, saat itu berubah menjadi do'a suci. Semoga lelaki itu dipanjangkan umur, dengan rezeki yang berlipat ganda. Jikapun Tuhan cepat mengambil nyawanya, kendati jarang shalat semoga melimpahkannya ke syorga. Begitulah yang berada di benak-benak mereka, diantara suap dan kunyah bebas kerenyahan sate daging gratis itu.

         Di tengah penerang lampu petromaks dan obor bambu, Rastam menyaksikan dan membiarkan bebas orang-orang mencubit atau mengerat daging yang terpanggang di perapian itu. Mau pilih daging rawan, yang empuk maupun yang kenyal, silahkan mana suka. Hanya saja ada satu syarat; sebelum empat ekor lagi terangkat mohon kesudiannya untuk membantu penyelamatannya. Maka, bagi yang sudah merasa kenyang, kalau tak santai, merokok, sebagian sudah siap ke tempat penederekan di mulut goa.

         Pintalan tali yang terbuat dari rotan bercampur kulit waru yang sebelumnya telah diulur ke bawah dengan bandulan sepotong kayu, kadang ditarik untuk memastikan apakah penderekan selanjutnya sudah siap atau belum. Namun beberapa kali pula dari dalam mengisyaratkan -dengan menggerak-gerakan tali, bahwa penderekan berikutnya belum siap.
         ***
         Orang-orang dalam goa, adalah orang-orang pilihan. Jumlah mereka yang tak lebih dari sepuluh orang itu tak perlu diragukan lagi kinerjanya. Betapa tidak, mereka itu adalah para pemburu malam yang handal. Semua lobang di bumi, baik di gunung maupun di laut telah mereka jelami. Apa yang mereka cari kalau bukan ladang uang. Bermacam binatang liar, seperti keluarga ular, keluarga macan, babi hutan, biawak, trenggiling, kepinis, sarang walet, kalong, kelelawar, buaya, musang, bajing, tikus, bekicot, tawon, lebah, dsb, pokoknya yang laku dijual mereka kantongi. Sasaran mereka tak cuma di Jawa, namun nyaris merambah seluruh nusantara. Mereka pun mengembangkan sayap, kadang menjadi penambang mas tradisional di bumi Kalimantan.

        Makanya, apa yang mesti diragukan lagi dari mereka. Lobang di bumi dan laut yang terbilang angker di pulau seberang pun dapat mereka taklukan.
         ***
        Sebenarnya Rastam tak tahu pasti, apakah kelima ekor kerbau yang hilang dari pekalungan dekat kebun ketela itu semuanya benar masuk jurang, atau sebagian lagi kabur tunggang-langgang. Tak ada yang tahu pasti. Hujan yang deras semalam memang tak menyisakan jejak ke lain tempat, selain ada beberapa bercak lumpur yang mengarah tepi goa. Juga ia tak habis pikir, kenapa semua tunggul penambat yang kokoh di pekalungan itu sampai tercerabut padahal struktur tanah terbilang padat.

      "Mungkin kelima kerbau itu tergertak suara petir, sehingga dalam waktu bersamaan hewan itu serentak melonjak ketakutan, dan tanpa disadari semua masuk jurang," kata seorang lelaki, tampak antusias dan penuh simpati akan musibah yang dialami Rastam. Ia termasuk kelompok pemburu malam, juga tetangga satu kampung beda RT. Datang pagi itu lebih awal ke lokasi yang kemudian disusul beberapa rekannya.
       "Jangan terlalu panik, Kang, siapa tahu ini masih bisa diakali," masih kata lelaki itu yang kemudian dihamini oleh yang lain. Tanpa diperintah mereka itu bersiap dan sigap untuk menuruni goa. Sebab apa pun yang terjadi --kata mereka kepada Rastam, kelima hewan itu harus diselamatkan. Dan Rastam pun percaya semuanya, karena mereka itu orang-orangnya sudah terlatih.
         Namun, seperti yang telah diceritakan tadi, kegagalan pun terjadi. Tali penderek putus, kerbau pertama itu terjatuh. Langsung dipotong. Mungkin tergesa, dengan ketajaman golok pemburu itu telah membuat kepala hewan itu terpenggal. Sehingga sosok binatang yang punya bobot hampir setengah ton itu, di tengah keremangan menjelang isya kemunculannya tanpa kepala. Dan entah wangsit dari mana, tiba-tiba Rastam mau merelakan daging kerbau itu jadi hidangan massa hura-hura.
***
          Malam semakin larut.
          Namun penderekan kerbau berikutnya belum juga berlanjut. Dari dalam goa tetap mengisyaratkan belum siap.
          Para penunggu di mulut jurang itu mulai terkantuk-kantuk. Beban berat di mata mereka begitu menyungkup. Bahkan tak sedikit yang tertidur dengan posisi ngelantur. Mungkin dampak dari kekenyangan menjadikan mereka lupa diri. Selain terkapar di semak belukar, mendengkur di bercak lumpur, ada pula yang terlelap dibalik kotoran manusia.
        Bukan semata di mulut goa. Di dekat pemanggangan hewan --yang tiba-tiba tinggal kerangka--itu, seketika bak mayat yang bergelimpang. Mungkin berpuluh atau beratus orang, mereka hanyut dan terbenam di negeri mimpi. Tak terkecuali si empunya acara, Rastam, pun ikut terlibat masuk ke dunia setengah mati itu.
         Di antara semilir angin malam perbukitan, dan tubuh-tubuh pun terkapar. Tiba-tiba suasana menjadi semarak dengan suara kentut dan dengkur yang bersahutan.
         "Dut…dut..brut! Krook…kruukk…! Krook…kruukk….!"
         "Tut…turutut..coss…ciesss! Ngok..nguukk….! Ngok..nguk..nguuk…!"
          Begitulah. Kadang iramanya teratur seperti berdzikir, terpimpin seperti orkestra, semarak seperti katak. Begitu meriahnya dalam pesta kematian.
           Sementara orang-orang dalam goa tak tahu apa yang tengah terjadi di luar. Mereka tenggelam dalam suatu diskusi. Soal misinya yang tiba-tiba mandek dan  berujung dalam kecemasan.
          Namun, tiba-tiba seorang lelaki nyeletuk memberi pencerahan.
         "Kegagalan dalam penderekan pertama itu sebenarnya ada hikmahnya. Sebab, kalau tak terjadi, mana mungkin saya sempat memenggal kepala babi hutan yang gemuk itu. Sehingga penyamaran kita sebagai komplotan pencuri hewan tak akan cepat terbongkar."(*)

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll