Minggu, 18 Juni 2017

Menjadi Maling

Cerpen: Otang K.Baddy (Radar Surabaya, Minggu 18 Juni 2017)
 
SEKETIKA suara-suara umpatan; maling, anjing, babi, dan bahkan mengharuskanku sampai di neraka jahanam itu, melenyap. Seiring dengan kepuasannya, mereka membubarkan diri dan mungkin pulang ke rumahnya masing-masing. Sementara beberapa wanita tampak saling berbisik dan membuang muka. Mereka menampakan kengerian, bukan lebih pada kepuasan dan kegemasan seperti orang-orang sebelumnya.

        “Kasihan, begitu hancur muka dan tubuhnya,” begitulah yang terakhir aku dengar sebelum kemudian meninggalkanku dalam gelap.

     Perlu diketahui, sebenarnya aku ini bukan  rampok atau sekelas preman. Tapi kenapa amuk serta umpatan  padaku seperti bencinya mereka pada perampok. Bahkan jika didengar kata-katanya yang terus mengumpat, kebencian mereka tak ubahnya seperti pada perampok uang negara. Maaf ini bukan iri, tapi sekedar meluruskan image atau ‘pencitraan  konyol’ tersebut.  Jika alasan kerena mereka  manusia terhormat –yang pintar  melipat milyar-triliun—dan  dianggap sebagai balas saja atas baktinya di negeri merdeka, tapi kenapa melampiaskan kekesalan itu sepenuhnya padaku?

        Ya, semua itu ditumpahkan  padaku. Padahal aku bukanlah perampok  apalagi macam perampok uang rakyat.  Kendati alasan yang saya ajukan ini pun tak dibenarkan , namun tak ada buruknya jika mau dipertimbangkan. Ya aku hanya seorang maling.  Maling karena terpaksa. Maling karena kepepet.  Sungguh, ini bukan alasan seperti umumnya para penjambret  atau pelaku kriminal saat diperiksa polisi dalam berita tivi.

        Kuakui, aku menjadi maling baru sekali ini. Karena aku tak punya bakat dan tak  punya pengalaman sebagai maling. Sebelumnya aku hanyalah kuli kasar. Sebagai kuli pasar dan pembongkar pasir di sekitar kota ini.  Namun aku sendiri pun  tak habis pikir,  kok aku bisa berubah secepat ini. Menjadi maling!    
         **
         Malam itu,  kronologis pun tiba-tiba terjadi.
         Kubulatkan tekat untuk melakukannya. Memasuki sebuah rumah yang kebetulan pintunya tak terkunci. Seorang wanita berkalung emas duduk terkantuk di depan televisi. Ia tampak ketiduran sebelum suaminya datang --yang saat itu kuketahui tengah main kartu di pos ronda. Maaf, aku pikir ini merupakan suatu jalan terbaik di saat yang terjepit.  Solusi ini terancang tak kurang dari 10 menit sebelumnya.
        Di antara celoteh suara iklan di tivi, kujambret kalung di leher wanita itu. Kendati ia tak menjerit karena siuman, namun di pintu aku kepergok seorang lelaki yang tak lain adalah suaminya. Aku heran dan sesal, kenapa lelaki yang tengah meronda serta  main kartu itu kok cepat pulang. Karenanya ia pun dengan keras berteriak, “Maling, maliing…!”
       Dan naluriku tiba-tiba mengatakan; aku harus segera lari. Lari dan lari. Serta merta aku ngibrit. Tak tahu harus kemana. Lelaki itu dengan secepat kilat lari memburuku seraya tak hentinya berteriak-teriak  keras-keras, “Maling.., maliiing…!”
        Seluruh lorong itu akhirnya penuh dengan teriakan  maling. “Maling.., maling…maliiing…!”
        Rombongan orang pengejarku terus bertambah. Satu, dua, tiga, dan aku tak mampu menghitungnya. Mungkin beratus, atau ratus ribuan. Entahlah. Lorong malam jadi hingar-bingar. Tua-muda, lelaki-perempuan, mereka jadi beringas tersulut kata ‘maling’.
       Malam-malam yang biasanya larut dalam sepi, seketika berubah menjadi pasar malam yang ramai. Di antara suara kentongan yang dipukul bersahutan, pedagang rokok asongan pun tampak hadir. Mungkin mencari perutungan di tengah suatu kegaduhan .
      Pikiranku hanya berisi satu. Lari menyelamatkan diri. Kalau sampai tertangkap, artinya mati babak belur. Dalam suasana hati berketentuan itulah aku berlari. Remang-remang dini hari. Kubangan, parit, onak duri dan pecahan kaca. Tercebur kubangan, parit yang kotor atau tergores pecahan kaca, aku pikir lebih berungtung ketimbang tertangkap dihajar massa. Namun membaraku untuk cari selamat itu tak sepenuhna stabil, melainkan labil karena tersungkup rasa takut. Keringat yang keluar karena berlari dan keringat karena rasa takut bercampur menjadi satu.
       **
       Menjadi kuli pasar di kota ini sudah lama kulakoni. Mengangkati barang-barang berat, seperti beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain sebagainya. Kadang pula aku menjadi pembongkar pasir dari sebuah truk, atau membenahi pasir dari tumpahan dump truck lalu merapatkannya pada sebuah bangunan proyek. Yang ini memang jarang, karena bersifat musiman. Selebihnya tetap saja menjadi kuli pasar.
       Pendapatanku pas-pasan. Kalau ramai sehari bisa 100 ribu rupiah. Jika sial untuk mencapai 50 ribu pun kadang jarang.  Bayangkan, hidup dengan 50 ribu di kota besar macam begini dengan menghidupi seorang istri dengan dua anak. Namun demikian, kami semula  rukun dan tenteram. Kedua anakku yang semua perempuan masih sekolah di SD dengan satu pasang sepatu yang dipakai bergilir. Jika yang gede pakai hari ini, besoknya harus nyeker karena sepatu itu bagian adiknya. Adiknya merasa senang kendatipun nomornya termasuk kelonggaran , namun ia tak habis akal dengan rajin mengganjalnya dengan sobekan kain.
       Dan kisah tak terduga itu datanglah. Istriku tiba-tiba pergi entah kemana. Mungkin alasan ekonomi itulah yang membuatnya tega meninggalkanku, meninggalkan kedua anakku yang sekaligus merupakan keluarganya pula. Dari omongan orang konon ia bekerja sebagai pelayan di kedai kopi yang berada luar kota. Tak jelas, luar kota mana kedai kopi mana. Bahkan sampai hampir  setahun ini tak ada kabar beritanya. Kami semua sedih, meski kemudian menjadi pasrah.
       Sebulan kemudian ujian itu datang lagi. Anak bungsuku terserang penyakit juga. Karenanya aku jadi kelabakan . Utang sana utang sini tak dapat.  Orang-orang di sekitarku tak lagi menaruh percaya, karena aku sering mengutang pada mereka dan sulit untuk membayarnya. Usaha mencari uang sudah mentok. Padahal aku sangat mengasihi anakku. Anak itu perlu obat. Dan aku perlu uang untuk mendapatkan obat itu. Ya, demi anak kesayanganku.
        Maka malam yang naas itu terjadilah. Ketika anak-anak itu mulai tertidur, aku meninggalkan rumah. Tujuanku satu, mencari uang. Menjambret kalung wanita itu demi mendapatkan uang.  Berlari ke sebuah lorong .  Hingga sampailah di lorong buntu. Belum sempat aku menyelamatkan diri, mereka keburu mendapatiku.
       “Hah, maling kurang ajar kamu. Bangsat keparat..!, anjing..!, cecuruut bauu..!”
       “Neraka jahanam tempatmu!” demikianlah. Dan seseorang mengumpatiku seraya merampas kalung itu dan kemudian menghilang dibalik kerumunan massa. Teriakan dan umpatan terdengar bak dengung lebah. Berbarengan pula dengan jotosan, pukulan, tendangan. Semua itu tertuju pada tubuhku.  Dari mulai muka, kepala, punggung dan juga kaki. Hujan bogem dan pukulan benda tumpul tak ada hentinya. Sampai datanglah seseorang seakan hendak menengahi adegan itu. Dan dalam babak belur aku tak hentinya berteriak.
      “Ampun.. aku bertobat, aku mengakui salah. Aku kapok. Kasihanilah aku, anakku sakit dan dia perlu berobat. Maka aku terpaksa melakukan hal ini,”  sebisa-bisanya aku berkata penuh iba.
        Tetapi kawanku, orang yang datang belakangan yang kukira baik ternyata lebih biadab daripada orang-orang sebelumnya. Ia adalah Markodin, lelaki yang dicopot dari jajaran pengurus DKM di masjid lingkungan keRT-anku. Alasannya, selain pernah melipat uang dari kotak amal ia pun diketahui kerap meloncat dari jendela tetangga. Bahkan kalau mau jujur, lebih dari 3 kali lelaki itu kepergok dan meloncat dari kamar istriku. Tapi, kini dengan teganya ia malah menyiksaku dengan sebatang bambu.  Hinga aku tak ingat apa-apa. Bahkan aku tak ingat lagi kalau ada anakku yang tengah sakit.
        ***
        Namun, ya.  Seketika gamang dan takut kembali menggerogotiku. Perlahan-lahan ingatanku pulih. Perih, ngilu, pegal-pegal, kembali menyerang  sekujur tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya. Berhamburan erangan dari mulutku. Rasanya semua tubuhku telah remuk. Begitulah segala rasa dan kecemasan serta memikirkan nasib anakku. Semua  bercampur menjadi satu.
        Kini aku benar-benar teringat Tina --si bungsu, anakku yang baru masuk SD setahun ini.
Sebentar lagi hari kenaikan kelas.  Jika nasibnya baik, mungkin akan naik ke kelas II.  Pada jam-jam begini biasanya sudah bangun dan menangis minta diantar pipis. Apalagi sekarang dia sedang sakit. Kakaknya pasti tak sanggup mengasuh adiknya. Bagaimana kalau dia sampai meninggal.
        Segala kekuatiran terus membayangi pikiranku. Oh bungsu, betapa malang nasibmu. Ayah tahu kamu sedang sakit, ayah tahu kamu tersiksa lahir-batin. Terutama setelah ditinggalkan  ibumu. Kamu perlu kasih sayang, kamu perlu sepatu biar tak memakai sepatu longgar milik kakakmu. Apalagi saat hari kenaikan kelas nanti,  bapak malu kamu tak punya sepatu.  Aduh, sakitmu yang parah perlu obat, sayang.  Tapi bapak tak berhasil mendapatkan uang, nak. Bapak telah gagal.
       Hei.. Karboah, istriku. Kenapa kamu telah tega meninggalku, meninggalkan dua anak yang tentu merupakan aset kita berdua. Dan sekarang Tina, si bungsu, salah satu anak kesayangan kita, harta kita, juga sakit. Aku telah gagal pula mendapatkan uang untuk mengobatinya. Maafkanlah aku, ya istri dan anak-anakku. Aku telah menyengsarakan hidup kalian.
       Ya Allah, ya Rabbi, ampuni aku. Jagalah anakku. Biarkanlah aku merasai geram amarah-Mu. Biarkanlah aku memetik buah dari pohon nafsuku. Ampunilah mereka, para penjilat, para maling selain aku, dan juga orang-orang yang telah menyiksaku. Tak terkecuali lelaki yang kerap meloncat dari jendela kamar istriku, yang kini sepi.(*)
 

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll