SEKETIKA suara-suara umpatan; maling,
anjing, babi, dan bahkan mengharuskanku sampai di neraka jahanam itu, melenyap.
Seiring dengan kepuasannya, mereka membubarkan diri dan mungkin pulang ke
rumahnya masing-masing. Sementara beberapa wanita tampak saling berbisik dan
membuang muka. Mereka menampakan kengerian, bukan lebih pada kepuasan dan
kegemasan seperti orang-orang sebelumnya.
“Kasihan, begitu hancur muka dan
tubuhnya,” begitulah yang terakhir aku dengar sebelum kemudian meninggalkanku
dalam gelap.
Perlu diketahui, sebenarnya aku ini bukan
rampok atau sekelas preman. Tapi kenapa
amuk serta umpatan padaku seperti bencinya
mereka pada perampok. Bahkan jika didengar kata-katanya yang terus mengumpat,
kebencian mereka tak ubahnya seperti pada perampok uang negara. Maaf ini
bukan iri, tapi sekedar meluruskan image atau ‘pencitraan konyol’ tersebut. Jika alasan kerena mereka manusia terhormat –yang pintar melipat milyar-triliun—dan dianggap sebagai balas saja atas baktinya di
negeri merdeka, tapi kenapa melampiaskan kekesalan itu sepenuhnya padaku?
Ya,
semua itu ditumpahkan padaku. Padahal
aku bukanlah perampok apalagi macam perampok uang
rakyat. Kendati alasan yang saya ajukan
ini pun tak dibenarkan , namun tak ada buruknya jika mau dipertimbangkan. Ya aku
hanya seorang maling. Maling karena
terpaksa. Maling karena kepepet. Sungguh,
ini bukan alasan seperti umumnya para penjambret atau pelaku kriminal saat diperiksa polisi
dalam berita tivi.
Kuakui, aku menjadi maling baru sekali
ini. Karena aku tak punya bakat dan tak punya pengalaman sebagai maling. Sebelumnya
aku hanyalah kuli kasar. Sebagai kuli pasar dan pembongkar pasir di sekitar
kota ini. Namun aku sendiri pun tak habis pikir, kok aku bisa berubah secepat ini. Menjadi maling!
**
Malam
itu, kronologis pun tiba-tiba terjadi.
Kubulatkan tekat untuk melakukannya.
Memasuki sebuah rumah yang kebetulan pintunya tak terkunci. Seorang wanita
berkalung emas duduk terkantuk di depan televisi. Ia tampak ketiduran sebelum
suaminya datang --yang saat itu kuketahui tengah main kartu di pos ronda. Maaf,
aku pikir ini merupakan suatu jalan terbaik di saat yang terjepit. Solusi ini terancang tak kurang dari 10 menit
sebelumnya.
Di
antara celoteh suara iklan di tivi, kujambret kalung di leher wanita itu.
Kendati ia tak menjerit karena siuman, namun di pintu aku kepergok seorang
lelaki yang tak lain adalah suaminya. Aku heran dan sesal, kenapa lelaki yang
tengah meronda serta main kartu itu kok
cepat pulang. Karenanya ia pun dengan keras berteriak, “Maling, maliing…!”
Dan naluriku tiba-tiba mengatakan; aku
harus segera lari. Lari dan lari. Serta merta aku ngibrit. Tak tahu harus
kemana. Lelaki itu dengan secepat kilat lari memburuku seraya tak hentinya berteriak-teriak
keras-keras, “Maling.., maliiing…!”
Seluruh lorong itu akhirnya penuh
dengan teriakan maling. “Maling..,
maling…maliiing…!”
Rombongan orang pengejarku terus
bertambah. Satu, dua, tiga, dan aku tak mampu menghitungnya. Mungkin beratus,
atau ratus ribuan. Entahlah. Lorong malam jadi hingar-bingar. Tua-muda,
lelaki-perempuan, mereka jadi beringas tersulut kata ‘maling’.
Malam-malam yang biasanya larut dalam sepi,
seketika berubah menjadi pasar malam yang ramai. Di antara suara kentongan yang
dipukul bersahutan, pedagang rokok asongan pun tampak hadir. Mungkin mencari
perutungan di tengah suatu kegaduhan .
Pikiranku hanya berisi satu. Lari
menyelamatkan diri. Kalau sampai tertangkap, artinya mati babak belur. Dalam
suasana hati berketentuan itulah aku berlari. Remang-remang dini hari.
Kubangan, parit, onak duri dan pecahan kaca. Tercebur kubangan, parit yang
kotor atau tergores pecahan kaca, aku pikir lebih berungtung ketimbang
tertangkap dihajar massa. Namun membaraku untuk cari selamat itu tak sepenuhna
stabil, melainkan labil karena tersungkup rasa takut. Keringat yang keluar
karena berlari dan keringat karena rasa takut bercampur menjadi satu.
**
Menjadi kuli pasar di kota ini sudah lama kulakoni. Mengangkati
barang-barang berat, seperti beras, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain
sebagainya. Kadang pula aku menjadi pembongkar pasir dari sebuah truk, atau membenahi
pasir dari tumpahan dump truck lalu merapatkannya pada sebuah bangunan
proyek. Yang ini memang jarang, karena bersifat musiman. Selebihnya tetap saja
menjadi kuli pasar.
Pendapatanku pas-pasan. Kalau ramai
sehari bisa 100 ribu rupiah. Jika sial untuk mencapai 50 ribu pun kadang
jarang. Bayangkan, hidup dengan 50 ribu
di kota besar macam begini dengan menghidupi seorang istri dengan dua anak.
Namun demikian, kami semula rukun dan
tenteram. Kedua anakku yang semua perempuan masih sekolah di SD dengan satu pasang
sepatu yang dipakai bergilir. Jika yang gede pakai hari ini, besoknya harus
nyeker karena sepatu itu bagian adiknya. Adiknya merasa senang kendatipun nomornya
termasuk kelonggaran , namun ia tak habis akal dengan rajin mengganjalnya dengan sobekan kain.
Dan kisah tak terduga itu datanglah. Istriku
tiba-tiba pergi entah kemana. Mungkin alasan ekonomi itulah yang membuatnya
tega meninggalkanku, meninggalkan kedua anakku yang sekaligus merupakan
keluarganya pula. Dari omongan orang konon ia bekerja sebagai pelayan di kedai
kopi yang berada luar kota. Tak jelas, luar kota mana kedai kopi mana. Bahkan
sampai hampir setahun ini tak ada kabar
beritanya. Kami semua sedih, meski kemudian menjadi pasrah.
Sebulan kemudian ujian itu datang lagi.
Anak bungsuku terserang penyakit juga. Karenanya aku jadi kelabakan . Utang
sana utang sini tak dapat. Orang-orang
di sekitarku tak lagi menaruh percaya, karena aku sering mengutang pada mereka
dan sulit untuk membayarnya. Usaha mencari uang sudah mentok. Padahal aku sangat
mengasihi anakku. Anak itu perlu obat. Dan aku perlu uang untuk mendapatkan
obat itu. Ya, demi anak kesayanganku.
Maka malam yang naas itu terjadilah.
Ketika anak-anak itu mulai tertidur, aku meninggalkan rumah. Tujuanku satu,
mencari uang. Menjambret kalung wanita itu demi mendapatkan uang. Berlari ke sebuah lorong . Hingga sampailah di lorong buntu. Belum
sempat aku menyelamatkan diri, mereka keburu mendapatiku.
“Hah, maling kurang ajar kamu. Bangsat
keparat..!, anjing..!, cecuruut bauu..!”
“Neraka jahanam tempatmu!” demikianlah.
Dan seseorang mengumpatiku seraya merampas kalung itu dan kemudian menghilang
dibalik kerumunan massa. Teriakan dan umpatan terdengar bak dengung lebah.
Berbarengan pula dengan jotosan, pukulan, tendangan. Semua itu tertuju pada
tubuhku. Dari mulai muka, kepala,
punggung dan juga kaki. Hujan bogem dan pukulan benda tumpul tak ada hentinya. Sampai
datanglah seseorang seakan hendak menengahi adegan itu. Dan dalam babak belur
aku tak hentinya berteriak.
“Ampun.. aku bertobat, aku mengakui
salah. Aku kapok. Kasihanilah aku, anakku sakit dan dia perlu berobat. Maka aku
terpaksa melakukan hal ini,” sebisa-bisanya
aku berkata penuh iba.
Tetapi
kawanku, orang yang datang belakangan yang kukira baik ternyata lebih biadab
daripada orang-orang sebelumnya. Ia adalah Markodin, lelaki yang dicopot dari
jajaran pengurus DKM di masjid lingkungan keRT-anku. Alasannya, selain pernah
melipat uang dari kotak amal ia pun diketahui kerap meloncat dari jendela
tetangga. Bahkan kalau mau jujur, lebih dari 3 kali lelaki itu kepergok dan
meloncat dari kamar istriku. Tapi, kini dengan teganya ia malah menyiksaku
dengan sebatang bambu. Hinga aku tak
ingat apa-apa. Bahkan aku tak ingat lagi kalau ada anakku yang tengah sakit.
***
Namun, ya. Seketika gamang dan takut kembali
menggerogotiku. Perlahan-lahan ingatanku pulih. Perih, ngilu, pegal-pegal, kembali
menyerang sekujur tubuhku. Aku menangis
sejadi-jadinya. Berhamburan erangan dari mulutku. Rasanya semua tubuhku telah
remuk. Begitulah segala rasa dan kecemasan serta memikirkan nasib anakku. Semua
bercampur menjadi satu.
Kini aku benar-benar teringat Tina --si
bungsu, anakku yang baru masuk SD setahun ini.
Sebentar lagi
hari kenaikan kelas. Jika nasibnya baik,
mungkin akan naik ke kelas II. Pada
jam-jam begini biasanya sudah bangun dan menangis minta diantar pipis. Apalagi
sekarang dia sedang sakit. Kakaknya pasti tak sanggup mengasuh adiknya.
Bagaimana kalau dia sampai meninggal.
Segala kekuatiran terus membayangi
pikiranku. Oh bungsu, betapa malang nasibmu. Ayah tahu kamu sedang sakit, ayah
tahu kamu tersiksa lahir-batin. Terutama setelah ditinggalkan ibumu. Kamu perlu kasih sayang, kamu perlu
sepatu biar tak memakai sepatu longgar milik kakakmu. Apalagi saat hari
kenaikan kelas nanti, bapak malu kamu
tak punya sepatu. Aduh, sakitmu yang
parah perlu obat, sayang. Tapi bapak tak
berhasil mendapatkan uang, nak. Bapak telah gagal.
Hei.. Karboah, istriku. Kenapa kamu
telah tega meninggalku, meninggalkan dua anak yang tentu merupakan aset kita
berdua. Dan sekarang Tina, si bungsu, salah satu anak kesayangan kita, harta
kita, juga sakit. Aku telah gagal pula mendapatkan uang untuk mengobatinya.
Maafkanlah aku, ya istri dan anak-anakku. Aku telah menyengsarakan hidup
kalian.
Ya Allah, ya Rabbi, ampuni aku. Jagalah
anakku. Biarkanlah aku merasai geram amarah-Mu. Biarkanlah aku memetik buah dari
pohon nafsuku. Ampunilah mereka, para penjilat, para maling selain aku, dan
juga orang-orang yang telah menyiksaku. Tak terkecuali lelaki yang kerap
meloncat dari jendela kamar istriku, yang kini sepi.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar