Senin, 14 Desember 2015

Hidup Menjanda Dalam Cerita

Saya rasa jika imajinasi kering di kepala, tulis saja dulu yang kita ingat. Jangan terbebani dulu dengan aturan. Untuk sementara tulis. Tulis..tulis..tulis..Tulis sampai mengalir, biarlah dan bebaskan mau dimana kata-kata itu berlabuh. Tulislah tentang hasrat-hasrat, impian-impian, baik yang hitam, putih, jene, kelabu, hijau, kuning atau biru. Yang penting jangan sampai mengarah pada hal yang terlalu sensitif macam pornografi, hindari itu. Karena, selain melanggar norma-norma yang telah dianut, hal-hal kacangan itu tak menjamin suatu sajian bisa menarik.

 Susahnya hidup menjanda? Bisa iya bisa juga tidak. Maaf yang lebih kena mungkin di sini 'susahnya jika punya anak dengan hidup menjanda'. Jangan tanya anak siapa? Sebagai penulis di sini mau dari sudut mana berada, terserah. Apakah jadi orang tua si janda itu atau bertindak sebagai subjek yang membaca objek seperti kamera. Oya, Maaf, tulisan ini bukan suatu artikel atau semacam opini yang pasti dengan data yang akurat. Tulisan ini pun bukan untuk siapa-siapa, selain untuk diri sendiri dalam kerangka belajar menulis. Lebih tepatnya untuk mencairkan kebekuan otak. Otak yang yang senantiasa lemot karena kecemasan, cemas karena takut salah atau apalah dalam pertama belajar menulis.

 Janda yang entah anak siapa itu belakang tak merasa malu ketika ia sering mengeluarkan kentutnya di warung. Kentut disela nelpon dan saling kirim pesan singkat. Entah dengan siapa janda itu bertelpon atau SMS. Namun, kendati tak bercerita terus terang para mata yang melihat telah mampu membaca perihal apa yang kerap lesap di benak si janda muda itu?

 Yang pasti sebagai orangtua sungguh bikin kepala ini puyeng. Sering sakit-sakitan, sakit yang bukan karena incok atau urat melirit. Sakit bukan karena terjatuh. Sakit karena mimikirkan anaknya. Kenapa setelah menjanda tak ada yang mau menjadi suaminya. Padahal setiap jelang subuh suara motor lelaki kerap berderu meninggalkan rumah anaknya.
 "Puyeng, tensi darahku naik setelah makan pete," janda itu tiba-tiba mengeluh di warung kopi yang tak jauh dari rumahnya. Namun ada seorang tetangga akrab yang cerdas, "Aku tak percaya puyeng kepalamu tersebab mutlak karena makan pete.. Puyeng kepalamu tak ada bedanya dengan apa yang dirasa ibumu." Si janda itu pun akhirnya mengiyakan. Apa-apa yang telah terjadi dan mendera di kepalanya dan juga kepala orangtuanya tersebab fakta yang ada. Maksud ibunya, dimohon anaknya itu rujuk kembali kepada lelaki yang telah menceraikannya. Lelaki itu telah memaafkan segala tingkah perempuan itu yang kerap bermain selingkuh. Tapi entah apa, ketika niatan itu dicurahkan mantan suaminya, perempuan itu malah pergi bersama lelaki lain. Dan ulah itu bukan sekali dua kali dilakukannya. Hari-hari berikutnya pun masih berjalan.

Di sesi lain janda itu pun sering termenung. Termangu. Kadang menyesali perbuatannya. Namun di sisi lain mantan suaminya jadi bisa menilai, tampaknya perlu dipikir-pikir dulu untuk kembali kepada wanita itu. Celakanya, saat sepihak tengah pikir-pikir satunya selalu datang mendadak. Begitu pun sebaliknya, selalu mendadak saat sepihak tengah mikir-mikir. Dan janda itu pun sampai kini senantiasa nongkrong di warung kopi. Kadang termenung, sebelum kemudian ada telepon memanggil. Sementara tubuh saya -----jika berperan sebagai ibunya dalam cerita ini semakin kurus sebelum ajal datang(*)

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll