Tiba-tiba saya ingin menulis cerpen dengan judul ‘Gentayang’, terinspirasi dari kisah nyata di
tempatku tinggal. Tapi cerpen ini
kendati sudah dikirim kemana-mana, dan tentunya dengan judul yang digunta-ganti
–selain Gentayang—seperti: Arwah Mardian, arwah Kardian, Wujud Seram, Penghuni
Goa dan Rumah Kosong, dlsb, tapi tetap saja
jomlo. Selalu terbentur di tembok redaktur. Saat cerpen saya dulu bisa
dimuat di Pikiran Rakyat, pernah berpikir cerpen ini pasti langsung dimuat
setelah seminggu/dua minggu dirim ke email khazanah@pikiran-rakyat.com. Tapi
nyatanya ditolak. Lantas saya kirim ke media lain seperti Suara
Merdeka, eh
ditolak juga. Kirim lagi Lampost Minggu, eh tetap ditolak. Lantas nyoba ke
Merapi, KR, MP, JP, dll tetap saja ditolak. Pokonya nyaris ke semua media cetak
hasilnya tetep ditolak.
Sebelumnya kesal
juga. Tapi kini tak sedikit pun rasa kesal terkait kejomloan cerpen ini. Jadi
ingat omongan teman di Fb; “Ketika tahu cerpen saya tak diterima di media
tersebut. Saat itu pula tahu jawabannya”. Demikian dalam statusnya. Kendati
saya tak mengikuti apa yang dimaksudnya, yang biasanya terjadi diskusi kecil
lewat komen-komen temannya. Mungkin. Ini pendapat saya. Mungkin, kenapa
media-media tersebut yang telah saya kirimi cerpen ini tak satu pun ada yang
memuatnya? Jawabnya tentu cerpen ini tak
layak dimuat. Kenapa, ya tentu karena jelek. Misal kurang konflik, kurang
greget dan sejumlah alasan lainnya yang membuat saya pasti tak akan sakit hati
dengan beberapa alasan kejelekan cerpen ini. Oleh karena itu saya posting di
blog sederhana ini.
“Gentayang Sungguh Jomlo
Nasibmu”
Tiba-tiba mata dan
kuping mereka tak difungsilkan secara jujur. Melainkan mereka lebih suka
membiarkan benaknya melenggang dan menggentayang. Maka tercipta dan
terdengarlah tentang suara dari yang punya bulu halus, corak belang dan yang berekor
panjang. Suara itu terdengar mendengkur,
mengaum dan juga menggeram. Mungkin karena kelemahan imanlah yang membuat
mereka jadi terasuk.
Melihat
rumah kosong dekat langgar itu, membawa ingatan mereka pada mulut sebuah goa di
tepi hutan. Tak pelak aroma horor pun
kerap menerornya, baik sebelum atau sesudah mereka keluar langgar.
“Astagfirullah..!”
setengah meloncat dari langgar saat pulang shalat isya sendirian, Kodir baca istigfar. Di benaknya, dari balik kaca
rumah yang gelap itu sepasang mata menyala mengancam. Betapa tidak, sebab
sebagai jemaah langgar ia tahu betul karakter siempunya rumah itu yang punya
watak kasar. Dan wajarlah jika kerap menghantui dirinya, juga para tetangga
sekitar langgar.
**
Semua yang
terjadi itu sebenarnya gara-gara Ki Tamim, seorang lelaki tua di lingkungan ke-RT-an
itu. Seharusnya ia bisa menjaga lidahnya dalam bertutur, bukan malah
sebaliknya. Omongnya yang seperti bijak, tak tahunya telah menuding
arwahnya Kardian menjadi penasaran.
“Meninggal tak
bersih tentu tak sampai ke Maha Suci, karena kesucian mana sudi menerima yang
kotor. Maka ia akan terus gentayangan, terlebih di tempat seputar aktivitasnya
semasa hidup ,” demikianlah dari lidah
pertamanya pernah tercetus. Dan orang-orang mencernanya sepenuh jiwa, hingga pada akhirnya menyergap
jiwa-jiwa mereka yang kerdil.
**
Goa dan rumah
kosong, dalam kisah ini terkait erat. Namun sebenarnya itu bukan goa, tapi
semacam lobang dangkal pada sebuah tebing di lembah kebun kelapa. Di tempat itulah diduga ia sengaja sembunyi untuk sekedar
menghingdar dari pandangan orang atau pun para tetangga.
Lobang berukuran
sekira 1,5x2 meter itu cukup leluasa untuknya berbaring terlentang, tengkurap
atau meringkuk. Toh tak sampai 24 jam, ia hanya mebutuhkan waktu tak lebih dari
13 jam dalam waktu siang. Masuk menjelang pagi, di remang senja ia keluar.
Kalau tak singgah ke kebun (yang berjarak sekira 10 meter dari lobang itu)
untuk sekedar duduk menatap malam, ia akan langsung pulang. Dengan kehidupan
malamnya yang terlatih, dalam waktu yang singkat pun telah mampu masuk rumahnya
yang gelap.
Namun kendati
kerap sembunyi dan mengisolasikan diri, tetap saja tercium. Tak karena rumahnya
dekat langgar, tapi tatkala saban hari menghuni goa dekat kebunnya itu pun
sudah banyak yang tahu. Berbatuk yang tertahankan itu kesannya menggeram, wangi
rokok linting yang kerap menguar. Baik berasal dari lobang goa atau pun dari
dalam rumahnya yang selalu gelap, siapa lagi yang berulah kalau bukan dia siempunya?
Ia lelaki gelap, begitulah mereka berkata.
Wajar. Karena setiap siang ia selalu membenamkan diri di sebuah lobang gelap.
Juga, kenapa ketika malam-malam dalam rumahnya selama itu tak pernah menyalakan
lampu. Padahal listrik ia punya, bahkan lampu di langgar itu pun listriknya
dari dia. Seolah dengan lampu 5 watt di
bagian depan rumahnya merasa lebih dari cukup. Itu pun penyalaan-pematiannya
terpaksa dengan cara, yakni diputar
orang langgar sesaat sebelum waktu magrib dan jelang pagi.
“Kalau dipikir, sungguh kasihan nasibnya
sampai malang begitu,” ujar Ki Tamim di hadapan para tetangga, yang pagi itu
sengaja berkerumun di depan rumahnya, yang juga tak jauh dengan rumah seorang
tergunjing itu. Lelaki yang melansia dan jadi ki merebot di langgar itu, seolah tak bosan menceritakan nasib
kematian tetangganya selama itu.
“Tapi biarlah, semua itu terjadi atas karmanya
sendiri,” lanjutnya Ki Tamim. Semua yang mendengar berdecak miris, terutama
para ibu-ibu. Nyali mereka tampak ciut dan gigil. Terbayang, wujud seram itu
akan terus menghantuinya, terutama jika saat hari berganti malam..
Lelaki
itu memang telah terfitnah!
**
Sebenarnya isyu
itu sudah lama lenyap terkubur waktu. Suasana telah adem-ayem. Namun setelah
hampir setahun terlupakan, tiba-tiba kisah serupa muncul lagi, bahkan yang ini
ceritanya lebih parah. Semuanya terjadi karena jiwa-jiwa dan pikiran mereka
yang lemah dan dangkal.
Sepatutnya yang
mesti betanggungjawab adalah Ki Tamim, sebagai orang tertua di lingkungan itu.
Kata-katanya yang seolah kebenaran dan bijak, bahkan dalam hal mimpinya yang
riwan, malah bak sengaja menebar teror mistis.
“Ia memang
lelaki gelap!”
Begitulah
berkali ia katakan, bahkan sejak seminggu kepergiannya.
Mungkin kesyuudzonannya timbul dari
ulah-ulah di masa hidupnya yang agak nakal dan pelit. Nakalnya ia kerap
menyambar gula-kopi dan rokok di tempat hajatan tetangga dengan tangan secepat
kilat melebihi tukang sulap.. Pelitnya, nah, inilah sumber utama yang diduga melemparkannya
pada kegelapan. Saat berjamaah magrib di langgar itu lampu gelap (karena
layanan itu dengan lampu tunggal tanpa stop-kontak), seorang jemaah keluar dari
syaf dan meloncat ke rumah Kardian untuk sekedar nekan saklar. Kardian yang pelit
dengan teganya membatalkan shalat dan mengejar orang itu dengan hardikan,
“Dasar kurang ajar sia Kodir,
beraninya masuk rumah orang! Ataukah kamu mau maling,hah!?” tudingnya pada
Kodir.
Dan kericuhan
pun terjadi di langgar itu. Saking ricuh dan lampu tak sampai dinyalakan,
jamaah shalat magrib pun bubar. Bahkan saat itu tak ada shalat magrib.
Alasannya ya karena kegelapan dari lampu Kardian itu.
“Itu
sebenarnya menunjukkan jati dirinya yang memang benar-benar gelap!” seakan
mantap Ki Tamim kala itu berkata.
Kepergian
Kardian telah sampai setahun.
Setelah punya
mimpi, Ki Tamim kembali berkata-kata yang seolah bijak.
“Kegelapan itu terjadi karena dosa dalam
hidup.” berhenti sejenak, lalu matanya menyapu reaksi orang-orang di
hadapannya. “Arwah seperti Kardian akan terus gentayangan. Setelah mengalami
derita yang panjang, ia akan terbanting ke jalur yang hina dan terkutuk. Yakni
ke wujud yang seram dan gelap,”
Yang mendengar
terhipnotis.Terlebih setelah orangtua itu menjelaskan pengalamannya semalam. Dalam
keadaan setengah tidur dan terjaga, katanya, tiba-tiba tanganya meraba sosok
tubuh mendengkur yang terbaring di
sampingnya. Dengkur siapa, ia kenal betul suaranya. Dan ketika mata terbuka
sesosok hitam terperanjat dan meloncat lewat jendela yang memang terbuka atau
mungkin lupa menutupnya.
“Kardian,
menjadi harimau,” desis lelaki itu sinis, seolah menyayangkan.
Yang mendengar semua berdecak, dalam arti
percaya dari luar dugaan sebelumnya. Hingga tega melayangkan pandangan ke hal
terbodoh sekalipun. Ilusi yang kian terpupuk itu semakin subur dan berkembang,
bahkan menjadi suatu yang nyata-nyata di benak-benak mereka.
Baik di kebun
kelapa tepi hutan atau di dekat rumahnya, tak luput selalu menebar suasana
seram. Penghuni lobang dan rumah gelap itu, matanya menyala liar, seakan mencatat
gerak-gerik orang di luar. Bagi jiwa yang terasuk, telah meluangkan energi
negatif untuk terus menggoda kelabilan iman. Tak terkecuali Ki Tamim sebagai
perpanjangan tangannya yang dianggap mereka lelaki pencetus kebijakan.
“Benar-benar
kematian yang tak sempurna, kasihan dia padahal telah bergelar haji,” masih
kata Ki Tamim dalam suatu kerumunan.
“Ya,
kematiannya benar-benar gelap. Padahal kuburnya telah beberapa kali disirami
air do’a, toh tak mampu mensucikan pendirianya demi menghadap sang khaliq. Ini
malah tersangkut pada unsur kebendaan, dan terpaksa harus menjadi makhluk
dengan wujud yang seram,” sambung Kodir seperti khotbah. Ia telah terpengaruh
oleh dongeng-dongeng lelaki tua itu. Sikap pemuda 35 taunan ini tak pelak
seakan mengukuhkan jiwa dan pandangan orang di lingkungan ke-RT-an itu, bahwa
arwah Kardian masih akan terus
gentayangan.
Hampir setahun
setengah setelah kematian lelaki itu. Tak sepatutnya fitnah kubur itu terus
menyebar dan jadi bahan gunjingan. Anehnya, dari mereka tak satu pun yang
mengatakan bahwa itu hanyalah fitnah kubur yang harus dibuang jauh-jauh. Semua
seakan percaya, kepergian lelaki itu tak diterima oleh bumi. Ruhnya yang kotor
dan gelap, telah memilih jasad harimau sebagai penerus hidupnya.
Dan, entah puas
dengan kisah gentayang itu atau apa, setelah orang-orang tak pergi ke langgar,
Ki Tamim pun jadi ikut malas(*)
**Mungkin karena yang dibahas di cerpen ini soal arwah dengan sudut pandang tak lazim dan terkesan sesat atau apa ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar