Minggu, 06 Desember 2015

Cerpen 'Gentayang' Yang Tak Dimuat-muat

    Tiba-tiba saya ingin menulis cerpen dengan judul  ‘Gentayang’, terinspirasi dari kisah nyata di tempatku tinggal.  Tapi cerpen ini kendati sudah dikirim kemana-mana, dan tentunya dengan judul yang digunta-ganti –selain Gentayang—seperti: Arwah Mardian, arwah Kardian, Wujud Seram, Penghuni Goa dan Rumah Kosong, dlsb, tapi tetap saja  jomlo. Selalu terbentur di tembok redaktur. Saat cerpen saya dulu bisa dimuat di Pikiran Rakyat, pernah berpikir cerpen ini pasti langsung dimuat setelah seminggu/dua minggu dirim ke email khazanah@pikiran-rakyat.com. Tapi nyatanya ditolak. Lantas saya kirim ke media lain seperti Suara
Merdeka, eh ditolak juga. Kirim lagi Lampost Minggu, eh tetap ditolak. Lantas nyoba ke Merapi, KR, MP, JP, dll tetap saja ditolak. Pokonya nyaris ke semua media cetak hasilnya tetep ditolak.
      Sebelumnya kesal juga. Tapi kini tak sedikit pun rasa kesal terkait kejomloan cerpen ini. Jadi ingat omongan teman di Fb; “Ketika tahu cerpen saya tak diterima di media tersebut. Saat itu pula tahu jawabannya”. Demikian dalam statusnya. Kendati saya tak mengikuti apa yang dimaksudnya, yang biasanya terjadi diskusi kecil lewat komen-komen temannya. Mungkin. Ini pendapat saya. Mungkin, kenapa media-media tersebut yang telah saya kirimi cerpen ini tak satu pun ada yang memuatnya? Jawabnya tentu  cerpen ini tak layak dimuat. Kenapa, ya tentu karena jelek. Misal kurang konflik, kurang greget dan sejumlah alasan lainnya yang membuat saya pasti tak akan sakit hati dengan beberapa alasan kejelekan cerpen ini. Oleh karena itu saya posting di blog sederhana ini.   

“Gentayang Sungguh Jomlo Nasibmu”   
       Tiba-tiba mata dan kuping mereka tak difungsilkan secara jujur. Melainkan mereka lebih suka membiarkan benaknya melenggang dan menggentayang. Maka tercipta dan terdengarlah tentang suara dari yang punya bulu halus, corak belang dan yang berekor panjang.  Suara itu terdengar mendengkur, mengaum dan juga menggeram. Mungkin karena kelemahan imanlah yang membuat mereka jadi terasuk.
        Melihat rumah kosong dekat langgar itu, membawa ingatan mereka pada mulut sebuah goa di tepi hutan.  Tak pelak aroma horor pun kerap menerornya, baik sebelum atau sesudah mereka keluar langgar.
       “Astagfirullah..!” setengah meloncat dari langgar saat pulang  shalat isya sendirian, Kodir  baca istigfar. Di benaknya, dari balik kaca rumah yang gelap itu sepasang mata menyala mengancam. Betapa tidak, sebab sebagai jemaah langgar ia tahu betul karakter siempunya rumah itu yang punya watak kasar. Dan wajarlah jika kerap menghantui dirinya, juga para tetangga sekitar langgar.
       **
       Semua yang terjadi itu sebenarnya gara-gara Ki Tamim, seorang lelaki tua di lingkungan ke-RT-an itu. Seharusnya ia bisa menjaga lidahnya dalam bertutur, bukan malah sebaliknya. Omongnya yang seperti bijak, tak tahunya telah menuding arwahnya  Kardian menjadi penasaran.
       “Meninggal tak bersih tentu tak sampai ke Maha Suci, karena kesucian mana sudi menerima yang kotor. Maka ia akan terus gentayangan, terlebih di tempat seputar aktivitasnya semasa hidup ,”  demikianlah dari lidah pertamanya pernah tercetus. Dan orang-orang mencernanya  sepenuh jiwa, hingga pada akhirnya menyergap jiwa-jiwa mereka yang kerdil.
       **
       Goa dan rumah kosong, dalam kisah ini terkait erat. Namun sebenarnya itu bukan goa, tapi semacam lobang dangkal pada sebuah tebing di lembah kebun kelapa. Di tempat itulah  diduga ia sengaja sembunyi untuk sekedar menghingdar dari pandangan orang atau pun para tetangga.
      Lobang berukuran sekira 1,5x2 meter itu cukup leluasa untuknya berbaring terlentang, tengkurap atau meringkuk. Toh tak sampai 24 jam, ia hanya mebutuhkan waktu tak lebih dari 13 jam dalam waktu siang. Masuk menjelang pagi, di remang senja ia keluar. Kalau tak singgah ke kebun (yang berjarak sekira 10 meter dari lobang itu) untuk sekedar duduk menatap malam, ia akan langsung pulang. Dengan kehidupan malamnya yang terlatih, dalam waktu yang singkat pun telah mampu masuk rumahnya yang gelap.
      Namun kendati kerap sembunyi dan mengisolasikan diri, tetap saja tercium. Tak karena rumahnya dekat langgar, tapi tatkala saban hari menghuni goa dekat kebunnya itu pun sudah banyak yang tahu. Berbatuk yang tertahankan itu kesannya menggeram, wangi rokok linting yang kerap menguar. Baik berasal dari lobang goa atau pun dari dalam rumahnya yang selalu gelap, siapa lagi yang berulah kalau bukan dia siempunya?
       Ia lelaki gelap, begitulah mereka berkata. Wajar. Karena setiap siang ia selalu membenamkan diri di sebuah lobang gelap. Juga, kenapa ketika malam-malam dalam rumahnya selama itu tak pernah menyalakan lampu. Padahal listrik ia punya, bahkan lampu di langgar itu pun listriknya dari dia. Seolah dengan lampu 5 watt  di bagian depan rumahnya merasa lebih dari cukup. Itu pun penyalaan-pematiannya terpaksa dengan cara,  yakni diputar orang langgar sesaat sebelum waktu magrib dan jelang pagi.
      “Kalau dipikir, sungguh kasihan nasibnya sampai malang begitu,” ujar Ki Tamim di hadapan para tetangga, yang pagi itu sengaja berkerumun di depan rumahnya, yang juga tak jauh dengan rumah seorang tergunjing itu. Lelaki yang melansia dan jadi ki merebot di langgar itu, seolah tak bosan menceritakan nasib kematian tetangganya selama itu.
       “Tapi biarlah, semua itu terjadi atas karmanya sendiri,” lanjutnya Ki Tamim. Semua yang mendengar berdecak miris, terutama para ibu-ibu. Nyali mereka tampak ciut dan gigil. Terbayang, wujud seram itu akan terus menghantuinya, terutama jika saat hari berganti malam..
       Lelaki itu memang telah terfitnah!
             **
       Sebenarnya isyu itu sudah lama lenyap terkubur waktu. Suasana telah adem-ayem. Namun setelah hampir setahun terlupakan, tiba-tiba kisah serupa muncul lagi, bahkan yang ini ceritanya lebih parah. Semuanya terjadi karena jiwa-jiwa dan pikiran mereka yang lemah dan dangkal.     
       Sepatutnya yang mesti betanggungjawab adalah Ki Tamim, sebagai orang tertua di lingkungan itu. Kata-katanya yang seolah kebenaran dan bijak, bahkan dalam hal mimpinya yang riwan, malah bak sengaja menebar teror mistis.
        “Ia memang lelaki gelap!”
        Begitulah berkali ia katakan, bahkan sejak seminggu kepergiannya.
        Mungkin kesyuudzonannya timbul dari ulah-ulah di masa hidupnya yang agak nakal dan pelit. Nakalnya ia kerap menyambar gula-kopi dan rokok di tempat hajatan tetangga dengan tangan secepat kilat melebihi tukang sulap.. Pelitnya, nah, inilah sumber utama yang diduga melemparkannya pada kegelapan. Saat berjamaah magrib di langgar itu lampu gelap (karena layanan itu dengan lampu tunggal tanpa stop-kontak), seorang jemaah keluar dari syaf dan meloncat ke rumah Kardian untuk sekedar nekan saklar. Kardian yang pelit dengan teganya membatalkan shalat dan mengejar orang itu dengan hardikan, “Dasar kurang ajar sia Kodir, beraninya masuk rumah orang! Ataukah kamu mau maling,hah!?” tudingnya pada Kodir.
        Dan kericuhan pun terjadi di langgar itu. Saking ricuh dan lampu tak sampai dinyalakan, jamaah shalat magrib pun bubar. Bahkan saat itu tak ada shalat magrib. Alasannya ya karena kegelapan dari lampu Kardian itu.
        “Itu sebenarnya menunjukkan jati dirinya yang memang benar-benar gelap!” seakan mantap Ki Tamim kala itu berkata.
        Kepergian Kardian telah sampai setahun.
        Setelah punya mimpi, Ki Tamim kembali berkata-kata yang seolah bijak.
        “Kegelapan itu terjadi karena dosa dalam hidup.” berhenti sejenak, lalu matanya menyapu reaksi orang-orang di hadapannya. “Arwah seperti Kardian akan terus gentayangan. Setelah mengalami derita yang panjang, ia akan terbanting ke jalur yang hina dan terkutuk. Yakni ke wujud yang seram dan gelap,”
        Yang mendengar terhipnotis.Terlebih setelah orangtua itu menjelaskan pengalamannya semalam. Dalam keadaan setengah tidur dan terjaga, katanya, tiba-tiba tanganya meraba sosok tubuh mendengkur  yang terbaring di sampingnya. Dengkur siapa, ia kenal betul suaranya. Dan ketika mata terbuka sesosok hitam terperanjat dan meloncat lewat jendela yang memang terbuka atau mungkin lupa menutupnya.
       “Kardian, menjadi harimau,” desis lelaki itu  sinis, seolah menyayangkan.
        Yang mendengar semua berdecak, dalam arti percaya dari luar dugaan sebelumnya. Hingga tega melayangkan pandangan ke hal terbodoh sekalipun. Ilusi yang kian terpupuk itu semakin subur dan berkembang, bahkan menjadi suatu yang nyata-nyata di benak-benak mereka.
       Baik di kebun kelapa tepi hutan atau di dekat rumahnya, tak luput selalu menebar suasana seram. Penghuni lobang dan rumah gelap itu, matanya menyala liar, seakan mencatat gerak-gerik orang di luar. Bagi jiwa yang terasuk, telah meluangkan energi negatif untuk terus menggoda kelabilan iman. Tak terkecuali Ki Tamim sebagai perpanjangan tangannya yang dianggap mereka lelaki pencetus kebijakan.
        “Benar-benar kematian yang tak sempurna, kasihan dia padahal telah bergelar haji,” masih kata Ki Tamim dalam suatu kerumunan.
        “Ya, kematiannya benar-benar gelap. Padahal kuburnya telah beberapa kali disirami air do’a, toh tak mampu mensucikan pendirianya demi menghadap sang khaliq. Ini malah tersangkut pada unsur kebendaan, dan terpaksa harus menjadi makhluk dengan wujud yang seram,” sambung Kodir seperti khotbah. Ia telah terpengaruh oleh dongeng-dongeng lelaki tua itu. Sikap pemuda 35 taunan ini tak pelak seakan mengukuhkan jiwa dan pandangan orang di lingkungan ke-RT-an itu, bahwa arwah Kardian  masih akan terus gentayangan.
       Hampir setahun setengah setelah kematian lelaki itu. Tak sepatutnya fitnah kubur itu terus menyebar dan jadi bahan gunjingan. Anehnya, dari mereka tak satu pun yang mengatakan bahwa itu hanyalah fitnah kubur yang harus dibuang jauh-jauh. Semua seakan percaya, kepergian lelaki itu tak diterima oleh bumi. Ruhnya yang kotor dan gelap, telah memilih jasad harimau sebagai penerus hidupnya.
       Dan, entah puas dengan kisah gentayang itu atau apa, setelah orang-orang tak pergi ke langgar, Ki Tamim pun jadi ikut malas(*)

**Mungkin karena yang dibahas di cerpen ini soal arwah dengan sudut pandang tak lazim dan terkesan sesat atau apa ya?
      
      
                
       
        
       


         

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll