Bulu-bulu yang semakin menebal di tubuhmu selayaknya kau syukuri. Sebab tanpa itu kamu tak mungkin berani jadi perambah hutan atau penghuni ilalang. Selain itu, saat kilatan petir yang menyambar-nyambar di malam basah dan lembab. Raung binatang malam serta desis ular dan mahluk-mahluk seram yang terlahir dari imaji jiwa-jiwa yang gigil. Jiwamu malah semakin tangguh tanpa keluh.
Sebelumnya aku cemas juga, terlebih setelah mengenalmu yang hidup tanpa bulu. Tak ada sedikitpun kebanggaan tatkala telapak kaki dan telapak tangan serta sekujur tubuh ini tangguh dan kekar menerabas onak duri serta medan-medar terjal. Betapa tidak, sebab gelora cintaku padamu akan terpental dan berujung pada luka yang pedih. Kecemasan itu muncul karena perbedaan kulit serta tatanan hidup yang demikian bersebrangan. kau orang gedongan sementara aku orang hutan. Tubuhmu yang mulus bak ikan pelus mana mungkin cocok jika disandingkan dengan kulit berbulu kasar model aku.
“Jumarmis, apa yang membuat kamu tertarik dari seorang Juntowor. Kulitnya hitam kasar, dan di sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu runcing bak duri. Memangnya kamu ingin membudidayakan rumput ilalang?” Markotok yang sejak lama menaruh hati pada Jurmamis, mencoba mencabik-cabik cinta wanita itu terhadapku.
“Justru karena yang kau hinakan itu yang membuat aku teratarik pada Kang Towor,” kilah Jumarmis seakan melambungkan keberadaanku.
Ya semua itu memang kuakui. Juntowor yang punya rahang yang maju, berkulit tebal, dan bulu-bulu kasar itu, tak ubahnya rincian nama lain bagi seekor celeng. Sementara Jurmamis, sebuah nama pilihan bagi gadis ayu bermata sayu yang senantiasa malu-malu di balik kemasan budi pekerti yang rapi.
Markotok yang mabuk kepayang pun memang nyatanya mabuk.
“Jur..Mar..Mis….,” Markotok melangkah gontai, “Kenapa… kamu…suka..ce..leng..”
“Karena aku suka bulu-bulu itu, bulu yang membuat aku tangguh!” tandas Jurmamis seraya berlalu dari lelaki yang mengidamkan dirinya,
Memang bukanlah basa-basi jika wanita itu suka bulu-buluku. Bulu-bulu yang bak padang ilalang , adalah menjadi pilihan terakhir bagi seorang gadis berkulit mulus serupa kulit ikan pelus. Hal ihwal arogansi kata bercinta, semua itu terbukti dengan mempagutkan dirinya padaku. Seorang lelaki perambah hutan, penerabas belukar dan tumbuhan ilalang. Namun karena cintanya semakin menggila padaku, ia pun tak menghiraukan kelenturan tubuh, termasuk kemulusan kulit pelusnya yang telah membuat para kutu terjatuh saking licinnya. Demi mengabadikan hidupnya Jurmamis kini telah merubah segalanya.
Wanita itu telah rela membuang roti bakar dan roti tawar yang berkeju, lantas kini menggantikannya dengan umbi dan daun-daun sintrong. Semua terkesan alami, dari mulai bibir tipisnya perlahan menebal dengan rahang yang maju. Begitu pun di kulit mulusnya perlahan tumbuh bulu-bulu, hingga tak sampai setahun bulu-bulu itu sama dengan bulu-buluku.
Tiba-tiba kami pun berlari tunggang langgang di bukit ilalang tatkala suara anjing dan bedil terdengar meyalak(*)
Sebelumnya aku cemas juga, terlebih setelah mengenalmu yang hidup tanpa bulu. Tak ada sedikitpun kebanggaan tatkala telapak kaki dan telapak tangan serta sekujur tubuh ini tangguh dan kekar menerabas onak duri serta medan-medar terjal. Betapa tidak, sebab gelora cintaku padamu akan terpental dan berujung pada luka yang pedih. Kecemasan itu muncul karena perbedaan kulit serta tatanan hidup yang demikian bersebrangan. kau orang gedongan sementara aku orang hutan. Tubuhmu yang mulus bak ikan pelus mana mungkin cocok jika disandingkan dengan kulit berbulu kasar model aku.
“Jumarmis, apa yang membuat kamu tertarik dari seorang Juntowor. Kulitnya hitam kasar, dan di sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu runcing bak duri. Memangnya kamu ingin membudidayakan rumput ilalang?” Markotok yang sejak lama menaruh hati pada Jurmamis, mencoba mencabik-cabik cinta wanita itu terhadapku.
“Justru karena yang kau hinakan itu yang membuat aku teratarik pada Kang Towor,” kilah Jumarmis seakan melambungkan keberadaanku.
Ya semua itu memang kuakui. Juntowor yang punya rahang yang maju, berkulit tebal, dan bulu-bulu kasar itu, tak ubahnya rincian nama lain bagi seekor celeng. Sementara Jurmamis, sebuah nama pilihan bagi gadis ayu bermata sayu yang senantiasa malu-malu di balik kemasan budi pekerti yang rapi.
Markotok yang mabuk kepayang pun memang nyatanya mabuk.
“Jur..Mar..Mis….,” Markotok melangkah gontai, “Kenapa… kamu…suka..ce..leng..”
“Karena aku suka bulu-bulu itu, bulu yang membuat aku tangguh!” tandas Jurmamis seraya berlalu dari lelaki yang mengidamkan dirinya,
Memang bukanlah basa-basi jika wanita itu suka bulu-buluku. Bulu-bulu yang bak padang ilalang , adalah menjadi pilihan terakhir bagi seorang gadis berkulit mulus serupa kulit ikan pelus. Hal ihwal arogansi kata bercinta, semua itu terbukti dengan mempagutkan dirinya padaku. Seorang lelaki perambah hutan, penerabas belukar dan tumbuhan ilalang. Namun karena cintanya semakin menggila padaku, ia pun tak menghiraukan kelenturan tubuh, termasuk kemulusan kulit pelusnya yang telah membuat para kutu terjatuh saking licinnya. Demi mengabadikan hidupnya Jurmamis kini telah merubah segalanya.
Wanita itu telah rela membuang roti bakar dan roti tawar yang berkeju, lantas kini menggantikannya dengan umbi dan daun-daun sintrong. Semua terkesan alami, dari mulai bibir tipisnya perlahan menebal dengan rahang yang maju. Begitu pun di kulit mulusnya perlahan tumbuh bulu-bulu, hingga tak sampai setahun bulu-bulu itu sama dengan bulu-buluku.
Tiba-tiba kami pun berlari tunggang langgang di bukit ilalang tatkala suara anjing dan bedil terdengar meyalak(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar