Eyang Cijulang, atau Eyang Kongkolak saat difoto di jarian belakang rumah
Sejujurnya akan saya ceritakan padamu, sobat. bahwa sampai saat ini saya belum profesional dalam membuat karya tulis. Persoalannya selain kerap malas berlatih, ya ..semangatnya termasuk kambuhan. Tak heran dulu-dulu dalam suatu identitas pelengkap naskah cerpen atau puisi yang dikirim ke media di bawahnya sering ditulis, 'Otang K.Baddy, seorang penulis kambuhan yang cengeng' begitu kira-kira yang
saya ingat. Karena itu tak perlu heran jika sampai saat ini sangatlah jarang sekali karya saya bisa ditemui, bahkan karya yang berbentuk buku sama sekali tak punya. Ya, semua itu karena saya termasuk pemalas dan selalu tidak konsen. Itu saja, titik sagede jebug!
Pertama Belajar Nulis Bersama Eyang Kongkolak
Seperti telah sering diceritakan di beberpa postingan sebelumnya, lika-liku pembelajaran menulis saya terbilang tak mulus seperti penulis zaman kini, dimana segalanya memungkinkan. Oya, pertama kali ketertarikan saya dalam dunia literasi itu ketika berteman akrab dengan Eyang Kongkolak atau kalau di akun Fb-nya lebih dikenal Eyang Cijulang yang bertampamng seperti Ki Joko Bodo. Ia teman satu RT dalam satu Dusun, yakni Dusun Nagrog, Desa Batukaras, Kab, Pangandatan.
Sejak kecil bahkan sampai sekarang pertemanan kami terbilang akrab, khususnya dalam hal ngadu bako. saking akrabnya ngawangkong (ngomong apa saja) sembari huhu haha, haha-hehe, kuntung di asbak itu beberapakali luber dan berapakali dibuang ke lobang tungku.
Kami saat itu sering bucu-baca koran bekas atau majalah bekas yang tanpa sampul. Kebanyakan yang sering dibuca-baca majalah atau koran berbahasa Sunda atau yang ada bahasa sundanya seperti saat itu ada Giwangkara, Galura, Mangle, Majalah PGRI Jabar – Suara Daerah dan SKM Mitra Dersa setelah sebelumnya bentuk sisipan di Pikiran Rakyat bernama PR Edisi Ciamis .
Kami paling suka baca carpon (cerpen) sama Eyang. Tiba-tiba suatu ketika Eyang terlonjak ketika mengetahui bahwa menulis atau mengirim tulisan ke media, terlebih karya fiksi model carpon bisa saja dilakukan oleh siapa saja yang berbakat. Tulisan yang dimuat akan diberi honorarium.
“Asyiiik…!” demikian kata Eyang Kongkolak seraya tepuk kaki. Ya, saking imul dan legegna tepuk tangan pun dialihkan pakai kaki seraya duduk di kursi rotan yang dekong.
“Kalau begitu mah atuh enteeng…!” kata Eyang lagi seraya nyakakak sembari mencubit perut saya. Saya yang merasa getek alian geli ikut pula tertawa ngagakgak sambil memukul punggungnya yang begang. Maksudnya aku dan Eyang pun berniat jadi pengarang seperti Min Resmana, Holisoh ME, Cucu Siti Nurjadah, Beni Setia, Aam Amilia, Eddy D Iskandar dan sederet nama-nama pengarang Jabar yang sempat karya cerpennya tampil di media dengan menggunakan bahasa daerah, yakni Basa Sunda.
Naskah diketik dua spasi, atau bisa ditulis tangan dengan rapi, sebelum kemudian dikirim via pos ke Alamat..Jl. Lodaya No.19 Bandung 40262. Demikianlah info tertulis di lembar Majalah Sunda Mangle saat itu.
“Enteeeng……!” demikian kami nyaris tergila saking senangnya. Lantas terbanyang karya kami bisa dibaca oleh warga Jabar, terlebih para pembaca majalah Mangle.
Esoknya kami bersepeda ke pasar hendak membeli kertas polio dan pensil. Dalam suasana berboncengan hendak pulang di jalan saya dan Eyang terus saja bergembira. Di boncengan sepedaku kadang Eyang bernyanyi riang macam kawih atau tembang yang sering dilakukan sinden yang diselingi dengan haha-hehe dan mencubit bagian geli saya.
**
Bodohnya kami tak tahu apa itu arti dua spasi. Dalam pada itu, karena tak tahu kami abaikan kaidah-kaidah menulis cerpen, baik itu flot, paragraf atau tanda baca. Anehnya tak membayangkan kalau tulisan itu akan ditolak redaksi, sebaliknya di otak kami karya cerpen yang ditulis tangan dan acak-acakan itu pasti dimuat dan kemudian dikirim majalahnya sebagai bukti terbit.
Mulailah saya dan Eyang malam itu masing-masing menulis. Eyang di rumahnya sendiri, sementara saya di rumah kakak saya yang saat itu berdekatan dengan rumah Eyang. Menulis seraya ngadapang di ubin diterangi lampu cempor. Karena ingin bebas saat memulai nulis carpon saat itu saya memilih di dapur rumah kakakku, tepatnya di dekat hawu/tungku.
Benar-benar semangat, kadang sura-seuri atau sunyam-senyum sendiri. Jika ada typo atau salah tulis langsung dicoret saja. Dalam semalam suntuk yang diselingi beberapa kali buang air kecil satu cerita pendek rampung digarap. Cerpen saya saat itu panjangnya hampir dua halaman polio. Begitu pun Eyang, satu cerpen pun ia rampung ditulis dalam waktu semalam. Malah, katanya ia menggarap cerita pendek cuma beberapa jam saja. “Pokoknya, enteng…!” imbuhnya.
Anehnya saya dan Eyang sama bungkam, dalam arti masing-masing seakan merahasiahkan bagaimana judul dan isi jalan cerita yang ditulis. Misal tak memperlihatkan apakah cerita atau penulisan hasil pensilnya kusut atau bagaimana, sama sekali tidak. Lembaran kertas polio itu langsung dimasukan ke amplop masing-masing.
Setelah ditulis alamat yang dituju dan nama pengirimnya (saat itu yang dituju majalah Mangle – Bandung) sore hari kami bersepeda ke Cijulang –nama kota kecamatan di daerah saya. Tujuannya hendak mencari Kotak Surat serta penjual perangko di lokasi sekitarnya. Setelah ditempel perangko, tangan kami bergetar saat memasukan ampop naskah di ke Kotak Surat yang saat itu dikelola Pos dan Giro. Setelah itu kami pun pulang dengan dada penuh debar.
“Kan tenang kalau sudah kirim mah, jongjon,” kata Eyang Kongkolak. Demikian pula kata saya. Tinggal nunggu kiriman majalahnya seminggu/dua minggu kemudian. Atau kalau tak dikirim no. terbit setidaknya akan dapat kabar bentuk pujian dari para pelanggan majalah Mangle di seputar kecamatan.
Seminggu, dua minggu, tak ada apa-apa. Mungkin tiga minggu, tak ada juga, bahkan sampai sebulan tetap saja sepi. Ah, apa mungkin salah alamat ya, ternyata tidak. Mungkin jadwal pemuatannya lagi ngatri bersama para pengarang professional lainnya, begitu kami berpikir. Tapi setelah hampir lima bulan kami pun sepakat menulis lagi, lantas kirim lagi. Tak ada kabar lagi, sampai suatu saat kami berpikir positif bahwa menulis karangan hendaknya pakai mesin tik. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar