Rabu, 18 Januari 2017

Karma

KARMA (Cerpen: Otang K.Baddy /Merapi 17 Pebruari 2013)

     Wak Haji tampak gemetar. Bercerita, bahwa di pagi hari ia tiba-tiba mendengar kabar kematian dirinya. “ Haji telah mati…Haji telah matii..!” begitulah yang keluar dari mulut orang-orang di luar. Bahkan di pengeras suara yang berasal dari masjid-masjid di kampung itu.
      Kendati ada kejanggalan alias tak lazim, yakni pada berita itu tak ada ucapan ‘Innaa lillahi wa innaa ilaihi
raaji’uun’ dari seorang pun, namun baginya bak sambaran petir yang mendadak meluluh lantakan pendiriannya. Hatinya tak enak, pengumuman itu seakan tak sopan dan tak tahu diri. Seburuk apa pun tingkah – menurutnya itu pun jika ada, bukankah dia itu termasuk pembawa agama, imam masjid, dan bahkan telah berhaji?
       “Tenangkanlah Wa, itu cuma mimpi.” bujukku agar ia menjadi tenang. Sebab dari tadi ia tampak gelisah di lantai pembaringannya yang beralaskan kasur tipis..
        Memang Wa Haji sudah hampir sebulan ini sakit. Penyakitnya tak jelas, dokter pun tak memberi kepastian tentang penyakit apa yang diderita lelaki lanjut usia ini. Ketika ia melaporkan sulit tidur, beliau hanya menyarankan jangan telat makan. Dan harus makan. Tapi anjuran itu tak dijalankannya. Wa Haji selalu telat makan karena tak ada selera. Juga tak bisa tidur, bahkan jarang sekali tidur.
       “Oh..ibu..ibu…gimana ini aku ibu..,” rintihnya payah. “Duh, Gusti..maafkan aku gusti, sungguh tak kusangka kematianku begitu mendadak begini. ..aduh…wualah..ibu tolooong..!”
       Sebagian orang menyindir dan mengatakan, hati lelaki itu sebenarnya sudah lama mati. Bisa dikatakan sebelum berangkat haji. Bahkan bisa saja sudah beberapa tahun sebelumnya. Lelaki itu hatinya sudah terkubur. Apa-apa yang terjadi dan terdengar tiada lain merupakan keberadaan dalam kuburan hatinya. Lelaki itu tengah menimbang amal perbuatan yang pernah dilakukan sebelumnya.
       Bisa saja omongan mereka itu tak salah, namun tak perlu kuhiraukan. Sebab yang pasti lelaki yang kerap dipanggil Wak Haji itu masih hidup. Ia hanya sakit dan kerap bergulang-guling di pembaringannya. Disamping tetangga dekat dan masih ada hubungan keluarga, sangatlah merasa berdosa jika aku tak kerap menjenguknya.
       “Kenapa kamu telat datang, Wan?” gugat Wak Haji ketika aku baru jam sepuluh malam bisa datang ke rumahnya. “Ditunggu dari dari tadi..,” lanjutnya seakan sesal.
       Aku bergeming, sebab kedatanganku pun kadang terpaksa atas istri Wak Haji, yang kerap mewanti agar aku mau menemani suaminya tiap malam. Sebab kalau aku tak datang tentu perempuan itulah yang kena dampratnya.
       “Aduh..Ibu..aduh Gusti…gimana ini…,” kembali ia mengigau. Tubuhnya bergulang-guling ke kiri dan kanan. Kadang menggelepar-gelepar, kakinya kelojotan. Hingga tak dirasa bantal guling di kasur pun menjadi berantakkan.
       “Ya Gusti..segera cepat putuskan saja…siapa yang bersalah?” ujarnya seperti memelas. Tapi kemudian berkata lantang: “Kamu yang bersalah!” tangannya menunjuk-nunjuk sesuatu.
       “Ya Allah..jangan dilanjutkan..persoalan ini terlalu rumit..rumit!” matanya kadang melotot, kadang pula terpejam.
       “Ruangan ini sempit…dunia ini sempit….! Gelap seperti kuburan..! Aduh Ibu..cape..,mana ibu…tolong ibu..toloong…!”
       Wak Haji tampaknya benar-benar tersiksa.
       Entahlah. Tiba-tiba aku ikut menjiwai dan merasakan kegelisahannya. Di alam itu ia benar-benar sendirian. Anak-istri tercinta, mantu dan para kerabat tak ada yang mampu menolongnya. Mereka hanya memandangnya sekilas, bahkan seolah tak melihat. Jangankan merasakan keresahan itu. Meringis ngeri atau pura-pura ngeri pun tidak. Bahkan sebaliknya, mereka tertawa terbahak saat nyantap hidangan lezat. Sungguh mereka itu bak berpesta di atas kubur. Bukankah itu adalah suatu siksa yang dirasa oleh jiwanya? Sebuah karma yang tak mampu ditolong, selain amal perbuatan sebelumnya. Mungkin inilah yang disebut karma atas sebuah ulah sebelumnya?
      Jika dugaan itu benar, memangnya apa yang pernah dilakukan Wak Haji dihari sebelumnya? Beliau termasuk muslim yang taat, shalat yang lima selalu rutin –bahkan shalat sunatnya sangat banyak. Jadi kendatipun ada kelemahan pada suatu yang fardu konon dapat tertambali dengan yang sunah itu. Beberapa kali hatam Qur’an. Sering pengajian mingguan-bulanan, rajin sadaqah- jariyah. Pembawa agama yang terbukti mampu mengajak warga untuk merenovasi masjid lengkap dengan spikernya. Juga rukun yang kelima pun telah ditunaikannya. Dan gelar pun telah disandangnya. Haji. Lantas apa yang menjadi beban dan menyiksa jiwanya?
       Manusia, jelas tak lepas dari yang namanya salah atau dosa. Baik yang disengaja atau pun yang tak disengaja. Baik itu dosa kepada sesama atau pun kepada sang khalik. Namun yang lebih fatal dan berbahaya adalah dosa pada hatinya sendiri. Hati adalah imam, hati adalah ujung tombak atau sopir dalam perjalanan hidup . Jika sopirnya tak baik tentu akan celaka dan jatuh terpelanting ke jurang yang nista. Begitulah dalam ajaran yang sudah tersurat maupun tersirat.
      **
       Mungkin Wak Haji dalam pengadilan itu membuka berkasnya. Di berkas itu ia punya tujuan ingin pahala yang berlipat ganda. Menunjukan dirinya paling bisa melaksanakan hal-hal yang berbau syorga. “Lihatlah aku si jago beramal dan alim saat di dunia!” lelaki itu menepuk dada. Di matanya, para tetangga , berjuta-juta umat manusia merasa iri melihat dirinya yang terpuji dalam mahkamah. “Makanya, kenapa dulu kalian tidak seperti aku?” katanya dengan angkuh dibalik senyum yang tersungging. Ia merasa senang melihat orang lain tak punya pahala.
       “Dasar si rakus dan tamak!” Suara lain menggetarkan jiwanya. Suara yang tak suka pada orang-orang yang selalu mengejar lipat ganda. Sepertinya di alam akhirat maunya memumpuk harta terus. Berdoa malam-malam selalu mau harta, mau tahta, mau lipat ganda. Tanpa dibarengi dengan usaha. Itu keinginan hawa nafsu. Bukankah di akhirat itu nanti nafsu akan dihanguskan di padang merah?
        “Yang akan lolos di sini adalah orang-orang yang berbuat baik karena Allah. Perbuatan yang tulus, bukan yang mau dipuji dan ria!” tiba-tiba tedengar pengumuman di ruang sidang.
        Dan ia mencoba melihat catatan-catatan dari perjalanan sebelumnya. Waduh, seorang panitia pembangunan masjid kok menyelewengkan dana dari para donatur. Wualah, pakai ditabung buat naik haji segala? Wah, celaka nih! Sebab ini pengadilan hati nurani. Pengadilan paling jujur.Tak ada suap-sogok atau manuver dan akal-akalan. Langit- bumi, semua panca indera akan bersaksi dan bicara. Di sini tak ada yang mampu mengelak tentang apa-apa yang telah dilakukan sebelumnya. Aduh Gusti, desahnya.
       **
       Sementara, nun jauh di sana terdengar segerombolan anak-anak tengah bermain. Berpetak umpet, main baren, kejar-kejaran di tanah lapang seraya bernyanyian:
       Biji labu di kantong bolong…Ki Aji utang tebu bohong..
       Sesaji jadi debu gosong…Wak haji sayang ibu, bohong..
       Begitulah. Kadang mereka bersahutan antara satu kelompok dan kelompok lainnya. Lebih riang lagi nyanyian itu sambil menaiki pohon kersen yang bertebaran di sekitar lapang . Di tepian sawah seusai panen. Di atas pohon yang bergoyang, mengikuti irama riang pedesaan. Lalu seorang lelaki lewat seraya menyalak, berteriak; “Anak-anak siapa hah!? Hai..hai..turun, nanti jauh siah..!” katanya seraya melempar pentungan. Melihat itu, anak-anak tak berdosa itu langsung turun dan berlarian. Mungkin takut, mungkin juga geli, karena setelah menjauh mereka bernyanyi riang lagi, seraya mendekati pohon kersen yang tadi.
       Biji labu dikantong bolong…ki aji hutang tebu bohong
       sesaji jadi debu gosong….. wak haji sayang ibu bohong
      
Lelaki itu tak mau melarang anak itu lagi. Lagi pula ia tak ada hak untuk melarang mengingat pohon kersen itu hanyalah tanaman liar. Beda dengan pohon tebu yang di pematang sawahnya. Tebu itu ditanam untuk kebutuhan anak cucunya yang belum ompong. Namun sebelumnya, saat tebu itu belum berkembang sempat dirongrong kelompok anak bermain itu. Ia sempat menggertak mereka dan berjanji jika pohon manis itu telah berkembang akan dibagikannya. Tapi sampai saat berikutnya janji itu belum dipenuhi.
      “Sawah yang dekat padang kersen itu seharusnya kau berikan pada Sarmah, adik perempuanmu satu-satunya, Ji. Kamu kan sudah lebih dulu mengambil dua bagian, malah sawahmu itu lebih bagus karena irigasi. Sedang yang itu sawah tadah hujan,” ujar seorang ibu saat itu.
       “Iya, Bu. Aku hanya garap sekali ini saja. Nanti kuberikan pada Sarmah, ibu tahu kan bahwa aku tidak serakah,” ujarnya mencumbu sang ibu.
       “Syukur kalau begitu. Berarti kamu sayang pada ibumu.”
       Namun pada musim tanam berikutnya sawah itu belum diserahkan pada adiknya. Bahkan sampai ibunya meninggal pun, ia masih tetap mempertahankannya.
       Dan dalam sakitnya Wak Haji terus bergumam, berteriak, menjerit-jerit seperti kesakitan. Tubuhnya yang kurus itu tak bisa diam, bergulang-guling, seraya merindukan seseorang.
        “ Ibu..ibu..ibuuu…! Tolong, aku ibu….!” (*)







Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll