Jumat, 27 Januari 2017

Parang



     
Cerpen Otang K.Baddy (Pikiran Rakyat 11 November 2012)


      Ternyata kamu pun jadi menyukai yang namanya parang. Bahkan kamu mengenalnya lebih jauh ketimbang aku seorang petani, perambah hutan. Misal jika gagang parang itu rusak, kamu segera menggantinya dengan kayu pilihan. Nyaris tak percaya ketika malam menjelang tidur, atau bangun sebelum fajar, suara khas bak tukang mebel kreatif terdengar jelas dari luar. Bunyi gergaji,
suara ketukan palu. Gruk..gruuk..trak-trak-trak. Ternyata kamu tengah
mendandani  beberapa gagang parang itu. Pun jika mata benda itu berkarat, tumpul tanpa ampun, kamu segera mengasahnya dengan telaten.
       Ah, perubahan drastis yang memilukan, begitu aku pikir. Seperti suatu lelucon dan janggal. Betapa tidak. Malam-malam menjelang tidur, saat bangun pagi buta, sebelumnya celah kosong itu kerap kamu isi kegiatan sepadan yang elegan. Kalau tak menyulam benang sutra, sebagai wanita telaten setidaknya memilah, mengistrika, melipat rapi kain jemuran sebelum masuk lemari. Bukan parang, serupa benda keras alat perang.
       Namun, dibalik perubahanmu yang transparan itu telah membuatku manggut-manggut.
       Kendati tak berani mengatakan puas. Mungkin semua itu berkat rinduku yang terkabulkan, yang senantiasa tak bosan ingin selalu dekat denganmu. Kepergianmu tanpa ampun lebih dari satu dasawarsa dan menetap bersama suamimu di kota hujan, sungguh membuatku tersiksa dan berandai-andai. Terbersit pikiran kotor, mau menyambangi dan berkencan seharian saat suamimu kerja. Sejuta jurus alasan cinta telah kupersiapakan. Pertemuan yang asyik, rindu yang berpagut, tak akan gerah jika ada bola mata melihat.
        Bukan apa-apa. Dan tak berbuat apa-apa. Kedatanganku dari kampung semata-mata hanya urusan keluarga. Tak lebih dari itu. Titik! Begitulah jiga ada jiwa terasuk tanya.
       “Begini Pak RT, karena ikan gurame sekolam itu masih kecil-kecil, sehingga kalau dipanen terlalu dini tentu harganya tak memadai. Sedangkan operasi tumor ganas bapak mertua sudah tak dapat ditunda lagi,” ujarku dengan ramah dan diplomatis. Pak RT setempat hanya manggut-manggut. Malah ia pun jadi ikut prihatin, serta turut mendoakan semoga semuanya berjalan lancar. Terutama pihak rumahsakit jangan sampai menekan biaya yang tinggi, katanya.
       Waduh, itu hanya andai-andai dalam kembara cinta. Saat kerinduan tak terlampiaskan, merana merangkai kata dalam kasih yang mengawang. Kehadiran Pak RT, operasi tumor ganas mertua dan lainnya hanyalah fiktif belaka.
       Sempat aku terhenyak saat kamu bilang tak terpikirkan untuk pulang. Buat apa tinggal di kampung, rasanya tak sudi mandi keringat di ladang atau berlumpur di tengah sawah. Keringat atau lumpur bagimu bak sesuatu yang menjijikan. Bau, katamu. Namun aku membayangkan, bau apa pun keringat atau dakimu dampak lumpur, tak akan menolaknya jika kamu suruh aku membersihkan atau menyekanya.
       Dunia memang berputar. Perumpamaan hidup yang terus berubah. Gaji suamimu yang memadai sebagai pengawas merangkap teknisi di perusahaan pakan unggas, yang sempat kamu banggakan, seketika terputus saat gejolak moneter mewarnai negeri kita. Setelah kena PHK dan sedikit pesanggon –kala itu, rumahtanggamu clengak-clinguk. Hingga timbul keputusan untuk pulang kampung bersama suamimu yang orang Jatim. Untung Kang Mas itu tak merasa gengsi kendati harus hidup bertani. Mengurus sawah atau berladang di tanah pemberian orang tuamu.
        Hari-hari Kang Mas tak terpisahkan dengan cangkul, golok dan kelewang. Berpeluh di ladang, berlumpur di sawah. Menebas pepohonan lantoro, membabat rumput ilalang untuk membuka lahan garapan. Membakar belukar kering di lereng bukit, luapan asap dan jilatan si jago merah meraja seharian di tengah garang matahari. Tebaran arang dan debu berhumus itu segera ditanami biji padi dan jagung, selebihnya sayuran sebangsa terong, leunca, dan kacang-kacangan.
      Dan sampailah kamu memerankan parang-parang itu. Jika sawah sudah dicocok tanam, demi pertumbuhan benih itu haruslah bebas dari rerumputan. Di sela batang padi yang basah, jika tak punya garok harus dirambet dengan cakaran tangan. Sedang diempat sisi pematang, rumput yang jemros itu harus dibabat dengan parang. Begitu pun di ladang, tanah huma di lereng bukit yang kadang panas, parang-parangmu harus beraksi.
       Aku tak tahu pasti, apakah kamu merasa ikhlas seperti suamimu untuk berparang atau berlumpur. Namun saat pertama, kedip mata dan engahan nafasmu tak mampu menyembunyikan keluh. Namun bukanlah suatu kepuasan atas kejatuhanmu seakan ke titik nadir jika dada ini bersorak. Bukan. Sekali lagi bukan soal itu. Namun kelainan itu adalah debar, atau lebay karena aku tak akan sulit jika mau bersua denganmu.  
       Hari-harimu, hari-hariku juga. Hari-hari kita yang sama. Berpeluh, berlumpur. Di tengah sawah, di tengah ladang, juga saat-saat menyabit rumput ilalang. Hidup bertani, pelihara sapi, kendati kadang rerumputan mengering saat kemarau menyerang. Kita sama-sama riang meski dalam suasana kantong kering.
       Karena kebersamaan tanpa batas, saat senggang melenggang di luar batas kekeluargaan, orang-orang sering menganggamu sebagai istriku. Namun aku tak mendengar jika Kang Mas-mu adalah tulen suami istriku. Mungkin Kang Masmu terlalu suntuk bekerja di ladang, sehingga dadanya tak punya debar tatkala jumpa dengan istriku. Hatinya yang shaleh telah tertanam prinsif; bahwa semua wanita itu sama. Apalagi wanita ini masih saudara kembar, buat apa jika harus berlaku binatang?
       Raut wajah, keringat dan dakinya, benar-benar sama. Kulit mukanya yang sedikit putih tersebabkan sebelumnya yang jarang kepanasan. Selebihnya seperti kentut. Seperti istriku. Sama-sama baunya. Kesemua itu mungkin karena aku telah sering menyeka peluh dan menyentuh dakinya. Saat hari-hari senggang, dan malam-malam yang lengang. Saat mimpi kasih itu tak cuma mengawang dengan rangkaian kata-kata.
                                                                          ***              
       Tanpa terasa kebersamaan setelah kepulanganmu dari kota hujan sudah mencapai 15 taun. Mungkin dari watak kembar yang konon tak ingin dibedakan, kita sama-sama telah mempunyai anak tiga. Bedanya anakmu yang sulung perempuan, duanya lagi laki-laki. Sedang aku sebaliknya, sulung laki-laki, dua selanjutnya perempuan.
       Seiring waktu dan kemajuan zaman, anak-anak itu tumbuh berkembang. Si sulung yang mulai kuliah, setelah sebelumnya dibelikan laptop kemudian dengan beraninya minta diberi motor. Sedang kedua adiknya yang masing-masing di SMA dan SMP, cukup berpuas diri dengan dipenuhinya jatah pulsa yang rutin.
       Karena masalahnya selalu sama, kami pun kerap berembuk. Terutama untuk memenuhi pengadaan sepeda motor itu. Bagi kami permintaan anak yang serentak itu bak suatu langkah di malam yang gelap. Segala solusi kerap berujung buntu di tebing yang terjal. Setelah beberapa kali rembukan yang alot, akhirnya kami memutuskan untuk melelang sapi peliharaan. Dan motor keluaran terakhir pun dibeli secara tunai.
       Entahlah, kendati dada ini tak punya debar namun kebersamaanku dengannya masih tetap terpelihara. Cuma iramanya kini berbeda, tak ada lagi getar purba. Kebersamaan selanjutnya bersifat sebagai manusia yang beradab. Istriku, juga kang Mas –suaminya, kami menyatukan diri bersama membentuk kerukunan yang nyata sebagai kekeluargaan. Saling topang dan bersatu padu demi mencapai masa depan yang gemilang.
       Seperti konsep sebelumnya, hati ini tak akan gentar jika ada yang usil alasan buah dari kembara cinta. Seperti ada bisik-bisik yang menyebut kedua anakmu mirip sekali dengan wajahku. Sama sekali tak riskan, apalagi harus gugup. Cukup saja kutanggapi dengan santai dan penuh kelakar.
      “Wah, itu sesuatu yang alamiah dan wajar. Mirip wajahku kan masih wajah manusia, yang harus dicemaskan bagaimana jika wajah kedua anak itu mirip binatang,” ujarku dengan tertawa.
       Namun pada kesempatan lain tiba-tiba dadaku menjadi sempit, ketika mendengar orang-orang yang berisik. Kedua anak perempuanku, katanya mirip sekali dengan wajah Kang Mas. Wajah suami kasihku yang menyukai parang (*)

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll