Ternyata kamu pun jadi menyukai yang namanya
parang. Bahkan kamu mengenalnya lebih jauh ketimbang aku seorang petani,
perambah hutan. Misal jika gagang parang itu rusak, kamu segera menggantinya
dengan kayu pilihan. Nyaris tak percaya ketika malam menjelang tidur, atau
bangun sebelum fajar, suara khas bak tukang mebel kreatif terdengar jelas dari
luar. Bunyi gergaji,
suara ketukan palu. Gruk..gruuk..trak-trak-trak. Ternyata kamu tengah
mendandani beberapa gagang
parang itu. Pun jika mata benda itu berkarat, tumpul tanpa ampun, kamu segera
mengasahnya dengan telaten.suara ketukan palu. Gruk..gruuk..trak-trak-trak. Ternyata kamu tengah
Ah, perubahan drastis yang memilukan, begitu aku pikir. Seperti suatu lelucon
dan janggal. Betapa tidak. Malam-malam menjelang tidur, saat bangun pagi buta,
sebelumnya celah kosong itu kerap kamu isi kegiatan sepadan yang elegan. Kalau
tak menyulam benang sutra, sebagai wanita telaten setidaknya memilah,
mengistrika, melipat rapi kain jemuran sebelum masuk lemari. Bukan parang,
serupa benda keras alat perang.
Namun, dibalik perubahanmu yang transparan itu telah membuatku
manggut-manggut.
Kendati tak berani mengatakan
puas. Mungkin semua itu berkat rinduku yang terkabulkan, yang senantiasa tak
bosan ingin selalu dekat denganmu. Kepergianmu tanpa ampun lebih dari satu
dasawarsa dan menetap bersama suamimu di kota hujan, sungguh membuatku tersiksa
dan berandai-andai. Terbersit pikiran kotor, mau menyambangi dan berkencan
seharian saat suamimu kerja. Sejuta jurus alasan cinta telah kupersiapakan. Pertemuan
yang asyik, rindu yang berpagut, tak akan gerah jika ada bola mata melihat.
Bukan apa-apa. Dan tak berbuat
apa-apa. Kedatanganku dari kampung semata-mata hanya urusan keluarga. Tak lebih
dari itu. Titik! Begitulah jiga ada jiwa terasuk tanya.
“Begini Pak RT, karena ikan gurame sekolam itu masih kecil-kecil,
sehingga kalau dipanen terlalu dini tentu harganya tak memadai. Sedangkan
operasi tumor ganas bapak mertua sudah tak dapat ditunda lagi,” ujarku dengan
ramah dan diplomatis. Pak RT setempat hanya manggut-manggut. Malah ia pun jadi
ikut prihatin, serta turut mendoakan semoga semuanya berjalan lancar. Terutama
pihak rumahsakit jangan sampai menekan biaya yang tinggi, katanya.
Waduh, itu hanya andai-andai dalam kembara cinta. Saat kerinduan tak
terlampiaskan, merana merangkai kata dalam kasih yang mengawang. Kehadiran Pak
RT, operasi tumor ganas mertua dan lainnya hanyalah fiktif belaka.
Sempat aku terhenyak saat kamu bilang tak terpikirkan untuk pulang. Buat
apa tinggal di kampung, rasanya tak sudi mandi keringat di ladang atau
berlumpur di tengah sawah. Keringat atau lumpur bagimu bak sesuatu yang
menjijikan. Bau, katamu. Namun aku membayangkan, bau apa pun keringat atau
dakimu dampak lumpur, tak akan menolaknya jika kamu suruh aku membersihkan atau
menyekanya.
Dunia memang berputar. Perumpamaan hidup yang terus berubah. Gaji
suamimu yang memadai sebagai pengawas merangkap teknisi di perusahaan pakan
unggas, yang sempat kamu banggakan, seketika terputus saat gejolak moneter
mewarnai negeri kita. Setelah kena PHK dan sedikit pesanggon –kala itu,
rumahtanggamu clengak-clinguk. Hingga timbul keputusan untuk pulang kampung
bersama suamimu yang orang Jatim. Untung Kang Mas itu tak merasa gengsi kendati
harus hidup bertani. Mengurus sawah atau berladang di tanah pemberian orang
tuamu.
Hari-hari Kang Mas tak terpisahkan dengan cangkul, golok dan kelewang. Berpeluh
di ladang, berlumpur di sawah. Menebas pepohonan lantoro, membabat rumput
ilalang untuk membuka lahan garapan. Membakar belukar kering di lereng bukit,
luapan asap dan jilatan si jago merah meraja seharian di tengah garang
matahari. Tebaran arang dan debu berhumus itu segera ditanami biji padi dan
jagung, selebihnya sayuran sebangsa terong, leunca, dan kacang-kacangan.
Dan sampailah kamu memerankan parang-parang itu. Jika sawah sudah
dicocok tanam, demi pertumbuhan benih itu haruslah bebas dari rerumputan. Di
sela batang padi yang basah, jika tak punya garok harus dirambet dengan cakaran
tangan. Sedang diempat sisi pematang, rumput yang jemros itu harus dibabat
dengan parang. Begitu pun di ladang, tanah huma di lereng bukit yang kadang
panas, parang-parangmu harus beraksi.
Aku tak tahu pasti, apakah kamu
merasa ikhlas seperti suamimu untuk berparang atau berlumpur. Namun saat
pertama, kedip mata dan engahan nafasmu tak mampu menyembunyikan keluh. Namun
bukanlah suatu kepuasan atas kejatuhanmu seakan ke titik nadir jika dada ini
bersorak. Bukan. Sekali lagi bukan soal itu. Namun kelainan itu adalah debar,
atau lebay karena aku tak akan sulit jika mau bersua denganmu.
Hari-harimu, hari-hariku juga. Hari-hari kita yang sama. Berpeluh,
berlumpur. Di tengah sawah, di tengah ladang, juga saat-saat menyabit rumput
ilalang. Hidup bertani, pelihara sapi, kendati kadang rerumputan mengering saat
kemarau menyerang. Kita sama-sama riang meski dalam suasana kantong kering.
Karena kebersamaan tanpa batas, saat senggang melenggang di luar batas
kekeluargaan, orang-orang sering menganggamu sebagai istriku. Namun aku tak
mendengar jika Kang Mas-mu adalah tulen suami istriku. Mungkin Kang Masmu
terlalu suntuk bekerja di ladang, sehingga dadanya tak punya debar tatkala
jumpa dengan istriku. Hatinya yang shaleh telah tertanam prinsif; bahwa semua
wanita itu sama. Apalagi wanita ini masih saudara kembar, buat apa jika harus
berlaku binatang?
Raut wajah, keringat dan dakinya, benar-benar sama. Kulit mukanya yang
sedikit putih tersebabkan sebelumnya yang jarang kepanasan. Selebihnya seperti
kentut. Seperti istriku. Sama-sama baunya. Kesemua itu mungkin karena aku telah
sering menyeka peluh dan menyentuh dakinya. Saat hari-hari senggang, dan
malam-malam yang lengang. Saat mimpi kasih itu tak cuma mengawang dengan
rangkaian kata-kata.
***
Tanpa terasa kebersamaan setelah kepulanganmu dari kota hujan sudah
mencapai 15 taun. Mungkin dari watak kembar yang konon tak ingin dibedakan,
kita sama-sama telah mempunyai anak tiga. Bedanya anakmu yang sulung perempuan,
duanya lagi laki-laki. Sedang aku sebaliknya, sulung laki-laki, dua selanjutnya
perempuan.
Seiring waktu dan kemajuan zaman, anak-anak itu tumbuh berkembang. Si
sulung yang mulai kuliah, setelah sebelumnya dibelikan laptop kemudian dengan
beraninya minta diberi motor. Sedang kedua adiknya yang masing-masing di SMA
dan SMP, cukup berpuas diri dengan dipenuhinya jatah pulsa yang rutin.
Karena masalahnya selalu sama, kami pun kerap berembuk. Terutama untuk
memenuhi pengadaan sepeda motor itu. Bagi kami permintaan anak yang serentak
itu bak suatu langkah di malam yang gelap. Segala solusi kerap berujung buntu
di tebing yang terjal. Setelah beberapa kali rembukan yang alot, akhirnya kami memutuskan
untuk melelang sapi peliharaan. Dan motor keluaran terakhir pun dibeli secara
tunai.
Entahlah, kendati dada ini tak punya debar namun kebersamaanku dengannya
masih tetap terpelihara. Cuma iramanya kini berbeda, tak ada lagi getar purba.
Kebersamaan selanjutnya bersifat sebagai manusia yang beradab. Istriku, juga
kang Mas –suaminya, kami menyatukan diri bersama membentuk kerukunan yang nyata
sebagai kekeluargaan. Saling topang dan bersatu padu demi mencapai masa depan
yang gemilang.
Seperti konsep sebelumnya, hati ini tak akan gentar jika ada yang usil
alasan buah dari kembara cinta. Seperti ada bisik-bisik yang menyebut kedua
anakmu mirip sekali dengan wajahku. Sama sekali tak riskan, apalagi harus
gugup. Cukup saja kutanggapi dengan santai dan penuh kelakar.
“Wah, itu sesuatu yang alamiah dan wajar. Mirip wajahku kan masih wajah
manusia, yang harus dicemaskan bagaimana jika wajah kedua anak itu mirip
binatang,” ujarku dengan tertawa.
Namun pada kesempatan lain tiba-tiba dadaku menjadi sempit, ketika
mendengar orang-orang yang berisik. Kedua anak perempuanku, katanya mirip
sekali dengan wajah Kang Mas. Wajah suami kasihku yang menyukai parang (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar