Cerpen Otang K.Baddy (Pikiran Rakyat 22 September 2013)
Setelah semuanya merasa sakit dengan gigitannya, lalu mereka membuang pentungan kayu dan meletakan senjata lainnya yang semula niat perang. Ini bukan mimpi, sungguh, ini suatu kenyataan!, bisik mereka. Makanya, mari
benahi dulu doa kita yang sebelumnya terpanjatkan. Kalau bisa tahan nafas, biar konsentrasi penuh dan amalan kita sampai di gedung arsy.
"Wahai dzat yang kaya segala Maha, yang kuasa menggerakan dan mendiamkan. Janganlah orang ini Kau matikan, apalagi jika masuk neraka jahanamMu. Sabda kotor itu saat ini kami cabut bersama, dan berubah menjadi doa suci; Muliakanlah lelaki itu dari mulai sekarang. Berilah umur panjang dengan berkah yang melimpah. Jika pun mau diambilkan nyawanya, masukanlah ke dalam syurgaMu, cukuplah dajjal-dajjal dan nafsu itu yang dihanguskan di padang merah."
Begitulah doa khusuk mereka. Rasa malu di benak mereka pun segera diatasi, seraya berbisik-bisik, Awas.. jangan sampai ketahuan alat-alat perang itu, sebab kalau ketahuan nanti kita dibilang penjilat.
Wajah-wajah yang semula redup, pias tanpa darah, seketika berbinar. Mereka tampak ceria di antara cahaya lampu petromaks dan obor-obor bambu yang dinyalakan. Kebencian apalagi yang mesti dipertahankan, hujatan apa lagi yang mesti dilemparkan jika semuanya telah terjegal suatu kenikmatan. Kemeriahan yang tiada tara, kerukunan yang tiada banding.
Acara ramah-tamah yang demikian meriah.
Mungkin ini namanya suatu anugrah. Maka nikmatilah!
***
Sebelumnya memang merupakan dendam kesumat terhadap angkara.
Kendati malam-malam tanpa bulan, tanpa kerlip bintang, tanpa obor penerang, namun api membara di dada mereka itu telah melahirkan semangat perang.
Mereka itu sebenarnya para kaum tani yang merasa dirugikan. Nyaris sebulan itu tiap malam terus merambah perbukitan. Menerabas semak belukar, menerjang onak-duri yang merintang serta padang ilalang. Tak pedulikan lecet di telapak kaki, memar di kulit, keseleo di urat. Perjuangan demi kesejahteraan kaum tani, mereka tak boleh cengeng apalagi menyerah begitu saja.
Macan dan babi hutan. Dua musuh inilah semetara yang menjadi murka dan sasaran pemburuan mereka. Alasannya kedua mahluk ini bak setan alas yang meresahkan.
Tak kurang dari ratus ekor ayam, berpuluh kambing dan sapi, dalam tempo beberapa malam ludes dari kandang warga, dengan menyisakan percikan darah segar dan amis yang menyengat. Ulah apa lagi kalau bukan si raja hutan keparat, si belang, yang tentunya telah terkucilkan dari rombongan atas suatu pelanggaran di kehidupan *negeri sancang.
Lantas babi hutan, ini juga lebih dari keterlaluan. Ulahnya benar-benar biadab. Entah berapa puluh hektar lahan pertanian mereka digasak dan tercabik-cabik. Harapan berkwintal, atau ton, di antaranya untuk memanen padi, jagung, ketela pohon, lobak, cabe merah dan jenis kacang-kacangan, lenyap sudah. Kerja keras dan keringat mereka menjadi sia-sia tatkala sebelum panen sudah ludes dalam jangka waktu begitu cepat tak berimbang.
Maka saat malam datang, dengan membawa golok, pentungan dan ketapel, mereka berlari ke perbukitan. Kaum tani, baik yang ladangnya rusak dan hewan ternaknya hilang, semua berbaur untuk memburu dua binatang tertuduh itu. Dalam sesi awal mereka membentuk posisi lingkar, atau kepung kampung. Maksudnya untuk membentengi hewan ternak mereka dari jarahan si belang. Kemudian merangsek membelakangi perkampungan, menuju kawasan ladang.
Ketika sampai di lokasi, mereka tiba-tiba dikejutkan dengan segerombolan binatang hitam bertanduk yang tengah menggasak tanaman. Berujud hitam itu karena mungkin pengaruh gelap yang tanpa sinar bulan atau kedip bintang. Jejak pemburuan agaknya telah tercium dari jarak yang rengang. Buktinya saat binatang itu berada di seberang bukit, sebelum diteriak pun sudah raib di kegelapan.
Ini petaka besar, pikir mereka. Jadi pemburuan pun harus lebih waspada, mengingat hewan bertanduk itu tampaknya lebih ganas daripada celeng. Terutama masalah senjata atau pekakas yang dibawa harus yang sepadan.
Maka di saat berikutnya, mereka pun siap siaga. Tak cuma pentungan-golok-ketapel, tapi dilengkapi dengan bambu runcing, tombak, linggis, kelewang, parang dan senapan angin. Di benak mereka, apa pun bentuknya perusak tanaman itu harus segera dimusnahkan. Apalagi yang ini, tak cuma merusak tanaman macam padi-jagung atau sayuran di kerendahan. Mungkin dengan tanduk-tanduk yang nyeruduk dan dibenturkan, hektaran kopi, tanaman kelapa dan jangkung berbuah pun mampu digasak dalam jangka waktu yang teramat cepat.
Layaknya mau pergi ke medan perang, para lelaki atau pemuda perkasa itu memohon doa pada yang ditinggalkan. Kepada para istri, pada anak kecil mereka, pada kekasih mereka, dan juga kepada para jompo. Semoga perjuangan untuk memerangi musuh mereka mendapat kemenangan.
Senja mulai meremang mereka pun berangkat. Derap prajurit pun terekam di benak-benak perempuan yang gigil dan orang bernyali ciut.
Tak kurang dari 300 orang pasukan kaum tani. Mereka mengatur strategi yang sebelumnya telah disepakati. Jika sudah menemukan pemburuan harap segera memberi isyarat dengan sorak atau bersiul-suit. Ini demi mengatasi jangan sampai ada korban karena salah sasaran.
Namun pemburuan mereka kerapkali gagal. Hewan hitam alias kawanan banteng wulung itu seolah licin dan lihai dalam operasinya. Dugaan mereka, hewan itu adalah jelmaan setan alas yang sengaja bikin keonaran. Namun, diupayakan semangat mereka jangan sampai surut. Mau jelmaan dari mana pun, atau wujud apa pun, hama tetap hama, pengerat tetaplah pengerat. Mereka sama saja dengan musuh yang mesti ditumpas.
Malam berikutnya tiba-tiba gerimis dan angin melanda keberangkatan mereka. Cih, bukanlah suatu perjuangan jika mundur begitu saja. Keadaan cuaca adalah suatu hukum alam yang tak perlu dipertanyakan terlalu dalam. Ini namanya rintangan, pengaruh agar kita mau bermalas-malasan. Tidak, kami semua siap tempur melawan penindasan! Kami siap melawan negeri binatang yang korup. Merdeka!, pekiknya di antara rerintik hujan dan hembusan angin malam.
Sementara di antara langkah-langkah mereka kadang terdengar suara yang meringkik. Kadang seperti suara kuda jantan di padang rumput, namun ada kalanya seperti suara kuntilanak. Wualah, apa itu kuda siluman, kuda binal, atau kuntilanak, yang namanya penumpas kejahatan jangan sampai menciut. Jangan mundur kawan, kepergian kita bukan untuk tamasya. Kita bergerak hanya untuk menumpas kedzoliman. Makanya jangan dengar itu bisikan-bisikan iblis di kiri-kananmu. Ayo terus maju, serbuuu….!
Malam perbukitan tiba-tiba kalang kabut. Mungkin pengaruh lidah-lidah liar yang sebelumnya diucapkan. Ambisi yang berkobar tanpa kendali, rencana yang kurang matang, ternyata telah melahirkan jelmaan-jelmaan yang samar. Dan itu tak mustahil, segala kata dan ucap yang keluar dari lubuk dalam bisa saja menjelma jadi buah kata atau makna. Para setan alas, genderuwo, siluman wujud halus dan kasar, tiba-tiba menjelma segerombolan pasukan, yang di mata mereka terlihat berwujud hitam. Ya, hitam karena pandangannya tanpa penerang bulan, tanpa terang kerlip bintang, tanpa obor dan lentera malam.
Gerombolan itu selalu berada di seberang bukit. Di antara yang melawan dengan lemparan-lemparan batu, di tengah kegelapan terekam bak suatu penjarahan. Dalam keadaan terserang gerombolan itu tampak tengah memanen tanaman sisa hama sebelumnya. Terbukti setelah ditemui jejaknya, serampangan bekas tebasan jagung dan ketela serta cabe merah tercecer di sana-sini. Wah.., ini lebih dari sekedar tikus dan cecurut, melainkan maling berkomplot. Ternyata kejahatan tak cuma di birokrasi menara gading yang hingar-bingar. Namun telah menelusup dan merambah ke dusun sunyi, ke area sepi ladang tani. Tapi siapakah rampok yang bertopeng malam itu?
Tak ada yang tahu, sebab pemburuan demi pemburuan kerapkali gagal di ujung malam. Paginya hanya menyisakan desah tak berkesudahan.
Satu kabar menyebar, kemunculan binatang penjarah ladang yang sempat dijuluki banteng wulung itu, ternyata segerombolan kerbau miliknya Kardo. Entah karena pikiran bercabang, anehnya sementara berita itu tak ditanggapi secara serius. Bukan masalah percaya tidaknya kesaksian Kardo –dimana mengaku tak tegas pada bujangnya yang tak
menambatkan sepuluh kerbaunya suatu petang-- tapi lebih pada kisah selanjutnya yang misterius itu.
Apakah ini sebuah trick seperti sering terjadi di negeri yang menjungjung tinggi nilai demokrasi? Dimana terjadi hirup-pikuk korupsi di suatu lembaga –lalu muncul suatu aksi, seperti teroris, bentrok antar suku, tawuran pelajar. Memanasnya perbedaan faham dan sejenisnya yang mampu melumatkan kasus sebelumnya? Namun entahlah, kisah yang ini cuma kemiripan semata.
Dan sementara mereka terfokus pada segerombolan maling berujud manusia gelap itu. Sebab mustahil jika segerombolan kerbau menjelmakan segerombolan pemburu malam. Mitos yang kerapkali membodohkan itu sementara tak dianut dan dibuangnya jauh-jauh.
“Kita harus berpikir yang jernih dan menggunalkan nalar yang sehat!” kata seseorang dalam suatu rembukan. Dan yang lain pun manggut-manggut, rasa setuju di antara segala tanya pada kejadian yang telah ditemukannya.
Kendati tak ditemui titik terang, namanya pemburuan di perbukitan itu tak dihentikan. Bahkan lebih ditingkatkan dari sebelumnya. Bukan lagi pemburuan malam, melainkan menjadi sebuah perjuangan seperti di medan perang. Biar pun tanpa pembekalan, tak satu pun ada yang pulang. Siang maupun malam, kalau tak menyerang mereka tetap berjaga-jaga di area perbukitan ladang mereka. Semangat perang melawan kejahatan, semua rela hati kendati harus berlapar-lapar. Sekedar mengganjal perut mereka memakan apa saja yang ditemui.
Malam-malam di perbukitan itu terus dilewati dengan kisah yang menarik perhatian dan penasaran. Anehnya, apa yang mereka serbu seakan tak jera dan tak takut. Segerombolan kerbau, juga segerombolan pasukan maling itu, kerap ditemuinya berselang. Jika satu malam menemui gerombolan kerbau, malam berikutnya pasukan maling itu seakan menantang di seberang bukit dengan lemparan-lemparan batu. Lantas disambut pula dengan lemparan pentungan, jepretan katapel, hujaman tombak, acungan golok, kelewang, parang, dan desis senapan angin. Seraya merangsek dengan teriakan; ”Serbuu….! serbuuu……!”
Mereka merapatkan barisan. Mereka berhasil memukul mundur dan musuh itu tampak kocar-kacir, lari terkangkang-kangkang hingga raib di kegelapan malam perbukitan. Meski dengan perut lapar, jejak mereka terus ditelusuri. Dan tanpa disadari langkah mereka pun sudah berada jauh dari area tanah garapan.
“Saat ini kita tak perlu kembali lagi ke area ladang. Setidaknya untuk berjaga-jaga kita istirahat di sini saja, sebab kalau kita pergi siapa tahu jika musuh itu kembali lagi,” kata seorang yang dipercayakan sebagai pemimpin dalam jeda itu. Dengan nafas terengah dan lemas, tiba-tiba ia pun membantingkan tubuhnya di rumput ilalang. Begitu pun yang lainnya, seolah hilang kekuatan.
Di antara rasa lemas, haus dan lapar, mereka semua yang tercampak di rerumputan ilalang. Menduga apa-apa yang terjadi tentu didalangi Kardo. Dia adalah mantan calon bupati yang terkalahkan pada pilkada bebera bulan sebelumnya. Segala aset yang berharga sebagai pengusaha ternama, sekejap ludes di tangan tim sukses. Sisanya yang diketahui tinggal kerbau-kerbau itu. Impian menjadi koruptor terhormat di tingkat kabupaten musnah sudah, sehingga tak mustahil jika ia membabi-buta ke ladang pertanian.
Dalam suasana pedih dan lapar, mereka bersama mengutuk perbuatan lelaki itu sepenuh jiwa. Di hati mereka, mustahil pembuat biadab itu masuk syorga. Melainkan dimana lagi matinya jika bukan masuk neraka. Entah karena puas berdoa, atau kehabisan darah saking lapar, seketika mereka terkapar seakan kalah perang.
***
Cerita di kampung tetangga, sepuluh ekor kerbau milik Kardo diduga terjatuh ke dalam jurang, semalam. Kendati tak ada saksi mata, namun jejak kaki hewan itu mengarah ke sana.
Sekelompok orang tiba-tiba datang menghadap Kardo. Mereka, yang sebenarnya masih orang sekitar, mengaku sebagai pemburu malam yang sudah terlatih. Tak terhitung, entah berapa goa atau jurang, baik di darat maupun di laut telah mereka sambangi. Macam ular, biawak, kelelawar, bekicot, lebah, trenggiling hingga macan tutul, telah ia kantongi. Jadi jangan khawatir -katanya, regu itu siap untuk mengevakuasi kerbau-kerbau tersebut baik dalam keadaan hidup atau pun mati. Dengan satu syarat, Kardo harus merelakan separuh kerbaunya. Empat ekor buat pekerja dalam jurang, satu lagi harus dibakar rame-rame lengkap dengan nasi hangatnya. Upaya itu, untuk meredam masyarakat yang sebelumnya anti pati, baik yang terdekat atau pun luar kampung sekalipun. Terutama bagi para kaum tani yang merasa dirugikan.
Daripada kerbau mati mubazir dalam jurang, Kardo pun setuju. Bahkan siap segalanya, termasuk menyiapkan nasi hangat dan aneka pelengkap hidangan lainnya.
***
Mungkin karena kedalaman jurang serta medan yang rumit, satu dari sepuluh ekor kerbau baru terangkat di keremangan senja. Saat lampu peromaks dan obor-obor bambu belum dinyalakan. Para pengunjung, para pekerja sukarela yang telah siaga sebelumnya, segera menyeret, memotong, mencincang tubuh hewan itu dari penderekan. Dengan cekatan mereka membuat tusukan-tusukan daging itu dengan jumlah tas terbatas.
Suasana malam di perbukitan itu mendadak semarak tatkala lampu-lampu petomaks dan obor-obor bambu dinyalakan. Bak sebuah kenduri besar, para pekerja tampak pro aktif. Yang menjerang air, membikin nasi liwet, juga para pembakar sate. Mereka tampak semangat. Begitu pun Kardo, siempunya hajat itu pun tampak berbinar. Ia tak memikirkan bagaimana nasib sembilan ekor kerbaunya yang tentu masih dalam proses di bawah jurang.
Sementara para pejuang yang terkapar, seketika menggeragap terbangun tatkala mendengar suara hiruk-pikuk di balik sebuah bukit.
Dalam suasana tak sadar mereka serempak berlari memburu keriuhan itu.
“Kita terus perangi mereka..! Jangan pedulikan perut yang lapar, bukankah hidup mati kita untuk perjuangan..?”
“ Serbuuuu…!”
Namun ketika sampai di tujuan mereka tercengang. Semangat perjuangan yang sekian lama berkobar mendadak padam. Apa-apa yang dilihatnya bak sebuah mimpi di tengah gurun pasir yang gersang. Di tengah situasi lapar yang menjanjikan kematian, tiba orang-orang menyambutnya bak sebuah tamu kehormatan. Dengan suguhan yang benar-benar menggiurkan.
Nasi liwet hangat, sejumlah tusukan sate beraneka ragam. Mau yang empuk-gurih, yang kenyal, maupun daging rawan. Sebagai penghormatan, selain air putih, teh manis atau seduhan kopi hangat pun telah tersajikan. Terserah, mau pilih yang mana suka.
“Kendati tak seberapa, barangkali lumayan untuk sekedar menahan lapar,” ujar Kardo, tersenyum ramah, seraya menyalami mereka dan menyongsongnya paling depan.
***
Ketika di tengah hidangan yang memanjakan, mereka mengaduh setelah sebelumnya merasakan sakit atas jarinya yang tergigit. Karena dirasa yakin bukan di alam mimpi, setelah meletakan senjata dan berdoa, mereka pun menerima hindangan itu sebagai anugerah dan kehormatan.
Sementara para pekerja di dalam jurang tak tahu pasti, kisah apa yang tengah terjadi di atas perbukitan malam itu. Adakah suatu pesta atau malah petaka? Mereka tak peduli, selain sibuk berdiskusi, mencari solusi atas suatu masalah yang kerap berujung pada kecemasan.
Namun seseorang tiba-tiba nyeletuk memberi pencerahan.
“Untung saja celeng gemuk itu telah kita berikan. Dengan demikian, untuk beberapa saat penyamaran kita sebagai pencuri ternak dan tanaman petani tak akan cepat terbongkar.” (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar