Cerpen: Otang K.Baddy (Tribun Jabar 19 Maret 2017)
Sebenarnya di dunia ini tak
ada yang samar dan tersembunyi selain hanyalah kebodohan dan kemalasan yang membuat
berserah diri, demikianlah istri saya berfilsafat. Wualah,
ngomong apa kamu ini, Diw. Mau
sok filsuf, ijazah saja masih dipertanyakan. Kendati mungkin hoaxs istri saya layak diperbimbangkan, saya lipat
dulu. Kemudian bertolak ke sesi yang baru dengan nuansa yang eksotis. Yakni wanita yang tiba-tiba hadir melibas
istri yang
pernah saya nikahi sepuluh tahun lalu. Ya, wanita itu memang telah mencekram saya, terlebih dalam pandangan dan
pesannya yang membuat saya tak bisa bekutik.
Makanya sempat khawatir ketika menyebut dalam rumah ini
ada penghuni lain selain saya dan keluarga. Apakah itu tidak berbahaya atau
setidaknya punya dampak buruk bagi pemilik rumah , kamu segera berkilah. “Tidak. Malah kasihanilah jangan diganggu atau
setidaknya jangan usir dari tempat
itu. Mereka terdiri dari dua perempuan,
yang satu tua, satunya lagi muda. Yang
tua berjalannya ngesot, sedangkan yang muda rambutnya dikepang serta pakai
kebaya. Keberadaan serta wajah keduanya
sangat prihatin.”
Sebagai pemilik rumah, saya bersikap wajar-wajar saja kendati suasana
mistis demikian tercipta dari lidahnya yang bak pisau. Demikian pula ketika ia mengetahui
di sumur saya ada suara yang tengah
menimba air. Derit kerekan katrol usang berkarat katanya terdengar nyaring dan
linu di telinganya -- yang ternyata kegiatan yang dilakukan dua wanita itu.
Aneh, saat kami tengah bertelepon si sumur tak ada siapa-siapa selain hanya
katrol usang dan timba itu.
Saya tak menganggap apa yang diucapkannya merupakan sesuatu hoax atau sekadar meniru fraktisi dunia
lain seperti pernah sering ditayangkan diantara statsiun televisi. Tadi pun saya sebut
lidah dia adalah bak pisau yang tajam. Kerenanya saya sering pula tak berdaya kalau tak mau dikatakan terpedaya
olehnya.
Ya, semua ini terjadi karena kelebayan dan bisa juga kepilonan. Kepilonan
atau kelemahan keduanya antara saya dan dia. Mungkin karena sama-sama pilon
atau lebay akhirnya berpagutlah cinta. Cinta dari perjuangan atau kelebayan
itu. Maka kami pun tiba-tiba sering menjunjung atau mengagungkan kata cinta.
Karenanya, tak berlebihan dan
saya akui jika kebusungan dada ini sempat muncul juga. Tak tanggung-tanggung
istilah dewa penyelamat pun tiba-tiba tersandangkan pada diri saya. Dalam istilah ini saya sebut kegombalan yang
berbuah. Dalam kearoganan yang kuakui sebelumnya, saya ini seorang penyelamat
kematian. Bah, tampak keren, bukan?
“Saya ingin bunuh diri, saya sudah tak mau hidup lagi, saya ingin mati saat
ini juga!” teriak wanita itu dalam tangis yang tergesa. Lantas saya mencegahnya
dengan sangat hati-hati, sebab merasa berdosa besar jika hal fatal itu sampai terjadi gara-gara saya membiarkannya.
“Tak perlu berbijak, seribu rayu kata bermadu, akan sangat percuma dan tak akan membuat saya
luluh. Saya tetap ingin mati, saya ingin
bunuh diri.!”
Apa yang yang mesti kulancarkan menghadapi situasi seperti itu? Benarkah
wanita itu akan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri? Memangnya kenapa sampai ia mau bunuh diri?
Tiba-tiba
saya berhasil menguasai diri, menanggapinya dengan santai saja. Sebab beberapa
jurus lembut, seperti kata ‘sayang’,
‘nyai’, ‘ jungjunan’, ‘geulis’ dan nada bujuk lainnya telah kutawarkan tak
mempan.
“Oke, jika itu sudah menjadi keputusanmu saya tak mau lagi ikut campur.
Silahkan dan segera laksanakan pembunuhan itu. Namun ada satu permintaan, jika
mau bunuh diri sebaiknya meloncatlah dari menara yang tinggi. Biar puas dan
heboh!” tegas saya sedikit sebal.
Wanita itu jadi tak tertarik dengan apa
yang saya ceritakan, karena semua itu hanyalah fiktif belaka. Sebuah ide gila dan konyol dalam sebuah penulisan cerpen
yang kandas, begitulah telah saya
jelaskan padanya. Mengetahui bahwa saya punya kebiasaan senang menulis, ia pun
segera mengimbangi dan mencocokan apa
yang terkait dengan kegiatan saya sebagai penulis kambuhan. Ya, kambuhan,
karena kadang semangat menulis cerpen plus puisi untuk dikirim ke berbagai media cetak maupun online. Kadang pula mengesampingkan itu tatkala
kegairahan lenyap dan terdampar di area
pandang yang buram.
“Aku akan terus menghidupkan api membaramu!” katanya bak kipas ditengah udara yang gerah.
Karenanya semangat berkarya mulai tumbuh lagi. Entah basa-basi atau apa
istilahnya, setiap tulisan saya yang dimuat di media cetak ia selalu mengatakan salut tanpa batas, terlebih atas karya
berupa cerpen.
Lebih dari itu, yang membuat makin semangat berkarya, kebetulan ayahnya
sebagai distributor koran di kota kecil kelahirannya. Bahkan di hari-hari
tentetu ia pun kerap menjajakan koran-koran tersebut di dekat terminal.
“Jadi saya akan
tahu lebih dulu jika karyamu dimuat,” katanya.
“Wah, kalau begitu hebat,” demikianlah saya
berkata atas kesimpulan
dan kepuasan
kami.
Lantas kenapa ia kerap mau bunuh diri?
“Entahlah,” katanya seperti pilon.
Betapa tidak. Derita yang terjadi karena atas nama cinta. Nama yang senantiasa diusung dan suci itu
ternyata isinya sangat egois dan tak punya perasaan.
“Apakah kekasihmu telah berdusta?” tebak
saya.
“Bukan,” kilahnya seperti menelan ludah. Lantas wanita itu bercerita tentang
kekasihnya. Ia adalah seorang intel di kepolisian, lelaki itu sangat baik hati padanya. Namaya
juga kekasih , tentu saja sangat baik. Namun tiba-tiba kedua orangtua wanita itu tak setuju jika punya menantu atas nama polisi. Entahlah, mungkin orangtuanya terpengaruh dengan
segelintir oknum yang kerap menodai citra di lembaga tersebut. Kendati pahit, demi menyenangkan orangtua maka ia pun terpaksa menikah dengan lelaki yang
berasal dari kampung ibunya.
Tapi, belakangan ini suaminya telah minggat
ke rumah orangtuanya yang beda kecamatan. Alasannya kurang jelas. Dan lelaki itu kerap meneror lewat sms, “Mau pilih suami atau ortu?” tanyanya, “Awas
kalau ada lelaki lain di hatimu!”
ancamnya di sms lain. Persoalannya sangat dilematis. Sebab, menurutnya ,
antara ia dan suaminya itu masih punya
rasa cinta. Tapi?
“Utang suamiku tak kurang dari 80 juta,” tutur wanita itu lain waktu. Ia
merasa letih dan kehabisan alasan tatkala beberapa orang kerap menagih utang
yang tak jelas. Menurut suaminya utang
itu merupakan utang bersama atas
pembangunan rumah yang ia diami saat ini bersama kedua anaknya yang masih
balita. Bohong! Pembangunan rumah itu tak menyisakan utang sepeserpun karena
telah ditanggung orang tuanya. Utang tersebut merupakan utang murni suaminya atas kekalahan dalam kebiasaanya bermain judi selama ini.
Atas dasar itulah ia merasa putus asa dan kerap ingin mengakhiri
hidupnya. Namun syukurlah hal fatal itu tak sampai.
Kendati begitu ia sempat berusaha mencipta kepergiannya. Dengan segenap kekuatan dan insting yang
diulang-ulang, katanya ia sempat berhasil memisahkan ruh dari jasad. Ia sempat
melihat jasadnya terbujur kaku dalam kamar. Namun merasa tak tega melihat anaknya terlebih si bungsu yang tampak menangis di sampingnya, iapun berusaha masuk jasadnya kembali.
“Aku sudah tak perlu berlatih lagi, kini,” kata wanita itu tiba-tiba,
“Hal melepas sukma dari raga, bukan suatu yang sulit. Segalanya sudah reflek.”
Dibalik rasa bangga atas kelebihan yang dimiliki wanita itu, diam-diam
meremang juga bulu-bulu saya. Bulu kuduk saya.
Terlebih dalam pengakuannya ia sangatlah
dekat denga saya, lebih dekat dari sekedar
bayangan dan pandangan saya selama ini.
Ah Widari, batinku antara percaya dan tidak. Widari adalah nama wanita yang mengaku tinggal di
kota M. Wanita penjaja koran di dekat terminal kota kecamatan itu. Wanita yang
membangkitkan gairah saya dalam dunia kepenulisan cerita pendek.
“Malam ini aku tahu jika kamu tengah nulis cerpen tengtangku dan hendak
dikirim ke koran,” katanya ketika saya duduk di lantai menghadap monitor. Memang komputer jadul berlayar tabung saya itu tanpa meja, tercampak di ubin begitu saja.
“Ketika dulu kita mulai kenalan lewat nomor telepon yang kamu lacak
sebelumnya, sebenarnya aku telah lebih dulu mengenalmu di rumah ini. Bahkan aku pun tahu ketika Iradiw –istrimu,
yang menuntut keadilan minta dibelikan
Hp baru.”
Saya terhenyak, nyaris tak percaya terhadap apa yang telah
terjadi.
“Kang, sudah saatnya kini kita
berkencan di alam nyata. Rengkuhlah aku dan palingkan wajahmu!”
Saya seakan tercengkeram kematian,
ketika sosok wanita yang sering ber-SMS selama itu kini nyata-nyata berada di
belakang saya(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar