Sedih jika teringat nasib ayah, yang tersiksa akibat
terjatuh.
Ayah terjatuh
dari pohon, kepalanya membentur batu. Ayah terjatuh dari pohon waru setinggi hampir
6 meter. Ia menaiki pohon itu karena memerlukan kulit dahan muda sebagai tali
pengikat batangan padi jika panen di ladang tiba. Petaka terjadi sore hari
ketika ayah kala itu tengah menuju pulang dari ladang bersama ibu. Di Ciwaru,
nama blok dari tempat itu yang memang banyak pohon warunya, di tepi jalan
setapak itulah
ayah bersusah-payah menahan sesak dada, sakit di kepala serta
tubuh bermandikan darah. Demikianlah kronologi singkatnya sebelum kemudian
mengurainya dalam kisah.
Seperti pada
umumnya masyakarat tani saat itu, ayah pun berladang bersama ibu. Mereka
membabat pohon-pohon liar, semak blukar serta kawanan ilalang, sebelum kemudian
dilakukan pembakaran. Kegiatan itu dilakukan masyarakat tani di desaku setiap
tahun. Setiap lahan yang digarap tanahnya sangat subur, gembur, mengingat jarak
garapan persatu tempatnya berkisar antara 8 sampai 12 tahun. Semua itu terjadi
karena area hutan garapan sangatlah luas, beratus hektar termasuk area hutan
yang melintas desa lain. Saat itu tak menanam pohon macam albu atau jati,
karena kayu-kayu macam itu belum laku seperti sekarang. Masalah utama yang
menghambat, sarana transportasi berupa jalan dan kendaraannya masih jauh
terbatas. Makanya tak heran jika pohon-pohon jati besar pun banyak tercampak
dan sebagian terbakar di area ladang. Tak terkecuali di ladang ayah, daripada
lembab merimbuni tanaman padi dan jagung pohon-pohon macam jati atau wangkal
pun kerap ditebang begitu saja.
Sebagai anak
perempuan satu-satunya --dan memang anak
ayah cuma aku sendiri, aku jarang sekali ikut ke ladang. Paling jika musim
tanam padi-jagung (kami menyebutnya ‘usum ngaseuk’) aku ikut rame-rame. Ya,
memang pada musim ngaseuk selalu
ramai dan meriah. Soalnya musim tanam ini dikerjakan dengan cara gotong-royong.
Saling membantu antara si peladang satu ke peladang lainnya. Begitu
menyenangkan dan kerukunan warga benar-benar masih terjaga. Lebih senangnya,
selain bisa makan bersama dengan olah hiu juga pulangnya dibekali calangaren (serupa cendol berbahan
tepung ketan). Hanya musim itu saja bisa ikut pergi ke tanah huma. Itupun jika
pas hari libur sekolah. Musim-musim garapan selanjutnya, termasuk musim panen,
aku tak pernah ikut selain hanya memasak di rumah.
Musim menuai
padi yang tengah menguning serta ranum itu agaknya mendadak terhambat ketika
ayah dikabarkan terjatuh. Ayah terjatuh dari pohon waru setinggi hampir 6
meter, kepala Ayah di bagian belakangnya membentur batu. Ayah katanya bermandikan
darah. Namun Ayah masih bisa mengerang dan biacara patah-patah. Konon jika
seorang kepalanya terbentur dan mengeluarkan darah yang wajar kadang masih ada
harapan hidup ketimbang yang tak keluar darah. Duh…Ayah, semoga ingatanku ini
bukan sekedar menghibur diri menutupi kecemasan, namun semoga nyata-nyata Ayah
bisa diselamatkan, demikianlah batinku.
“Pokoknya kamu harus
secepatnya menyusul ke Ciwaru, Nina,” kata Mang Karlin, tetanggaku. Lelaki yang
pertama menyampaikan kabar itu, disamping tetangga rumah terdekat ia pun bisa
dikatakan tetangga ladang terdekat pula. Setelah memberi kabar buruk tentang Ayah,
lelaki itu sangat cepat berlalu, mungkin ia mandi dulu atau sekedar membagi
kabar kepada yang lain.
Karenanya aku
segera mengabaikan pasakan lodeh iwung
dan nasi jagung, toh soal keselamatan ayah aku kira jauh lebih penting
ketimbang masakan bambu muda itu.
Dengan segera aku
pun menyusul ke Ciwaru, lokasi dimana Ayah celaka. Setengah melompat dan tergesa
menyusuri jalan setapak yang terjal berbatu, menanjak, menurun dan kadang
berkelok, akhirnya sampai juga di lokasi. Disamping sudah banyak orang –mereka
umumnya kaum tani, disana ada Mang Kosim, adik Ayah satu-satunya. Mungkin sama
dengan yang lainnya, ia pun sepertinya baru pulang dari ladang. Kulihat kepala
Ayah sudah diikat dengan kain, mungkin kain milik ibu. Dan bekas darah pun
masih tercecer di sana-sini.
“Tadi aku
dijemput ibumu, Nina. Untung saja ladang mamang agak dekat dari sini,” cerita
Mang Kosim, pamanku satu-satunya itu.
Menurut ibu ayah jatuh terlentang, bagian
kepala belakang Ayah terkena batu. Bahkan kata Paman sebelumnya ada pecahan
batu bersarang di luka Ayah, tapi kini sudah bisa dicongkel.
Saat itu kami
--aku, Ibu dan Paman, merasa cemas dan sedih. Alasannya, disamping lokasi jauh
dari rumahku–dan juga tentu jauh dari rumah penduduk lainnya, hari pun berangsur
gelap. Sementara Ayah harus segera ditangani secepatnya. Terlebih masalah luka di
bagian kepala belakang, setidaknya harus dijahit biar darah yang keluar segera
mampet. Setelah berembuk dan dipertimbangkan dengan matang, akhirnya Ayah hendak dibawa langsung
ke Puskesmas. Solusi itu lebih baik, mengingat jarak ke Puskesmas lebih dekat ketimbang
dibawa ke rumah dulu. Selisihnya hampir dua kilometer. Hanya saja yang menjadi
kendala, perjalanan ke Puskesmas yang terletak di kota kecamatan itu harus
melewati jembatan gantung yang panjangnya tak kurang dari 40 meter.
Akhirnya Ayah
yang masih mengerang kesakitan itu dimasukan ke dalam sarung. Lalu digotong pakai
batang bambu, saling bergantian antara Paman dan yang lainnya. Perjalanan kami
dari pinggiran hutan itu diterangi dengan obor sekedarnya yang dibuat dari
bambu dan reranting kering. Untuk mencapai jalan desa yang masih berbatu, kami
pun berusaha mencari jalan pintas. Kami tak ambil pusing manakala tubuh atau
pakaian kami tercakar duri-duri dan ujung ranting.
“Ini demi
segera mencapai tujuan, Ayah,” hibur aku ketika didengar erangan Ayah agak
keras, mungkin semacam protes terhadap tindakan kami yang dipandang kasar.
Betapa tidak, tubuh Ayah yang terbaring di dalam sarung, bak ayunan bayi,
dengan sepasang kaki ngelonjor keluar, selain teratuk kadang pula terbanting ke
kiri dan kanan.
Ketika sampai
di mulut jembatan gantung, kami pun berhenti dulu. Tujuannya, selain melepas
pegal dan letih, kelayakan jembatan ayun itu perlu diperiksa. Sebab, biasanya
tak boleh dilewati dengan orang banyak dalam waktu bersamaan. Ini agar jangan
sampai terjadi putus di tali gantungan atau terperosok di selasar bambu,
mengingat jembatan ayun penghubung antar desa itu umurnya sudah tua. Jadi tak
mustahil segala hal yang mencemaskan pun bisa saja terjadi. Tapi, setelah Paman
memeriksanya lebih dari 25 meter, hal buruk pun tak perlu dicemaskan.
“Insa Allah,
aman!” tegas Paman meyakinkan. Memang untuk sampai ke tujuan, yakni Puskesmas, lebih
kurangnya 1 km lagi. Lebih dekat ketimbang sebelumnya yang tak kurang 5 km dari
blok Ciwaru. pinggiran hutan itu.
Dalam situasi
itu batin kami pun tak luput berdo’a, semoga hal-hal buruk itu jangan sampai
terjadi. Ayah pun kembali digotong. Paman menggotong paling
depan seraya pegang obor yang nyaris habis, dan ujung panggul belakang digotong
Mang Karlin, menggantikan penggotong sebelumnya.. Sementara aku, Ibu dan yang
lainnya mengikuti di belakang.
Namun suasana panik pun terjadi manakala
iringan berada di tengah jembatan. Anyaman bilahan bambu, selasar yang kami
pijak itu terasa bergoyang-goyang. Bahkan goyangannya makin keras, terlebih
ketika beberapa diantara perempuan pengikut terdengar menjerit-jerit. Namun
Paman bersama mang Karlin tampak berlari menggotong Ayah nyaris ke ujung
jembatan sambil teriak-teriak memberi peringatan.
“Belakang
munduur..! Yang belakang munduur…!” kata Paman seraya mengacung-acung obor yang
talinya mulai terbakar. Karenanya obor berbahan bambu dan reranting pun
tiba-tiba jatuh mengurai dan tanpa diduga apinya membakar sarung yang digotong
itu. Karuan saja, Ayah yang belum mati rasa itu berteriak-teriak, malah saking
tersiksanya ia pun tanpa sadar sampai menjatuhkan dirinya ke dalam sungai.
“Ayah,
ayaaahh……!” teriakku nyaris pingsan.
Tapi dalam
kepanikan itu Paman mencoba bersikap tenang dan menghiburku. “Sepertinya ayahmu
tak sampai terjatuh ke sungai, Nina,” katanya sebelum kemudian mengumpulkan
obor yang terpencar itu hingga kembali menyala. Mungkin ucapan Paman ada
benarnya, sebab tak terdengar bunyi ‘plak..!’ atau ‘byarrr’ layaknya benda
terjatuh.
“Kang.., Kang…!
Kang Komaar….!” Paman melongokan kepala ke samping luar jembatan ayun itu seraya
mengayun-ayunkan obornya. Tampak di
bawah ujung jembatan itu rimbunan pohon, sepertinya waru doyong yang pangkal
pohonnya dari tepi sungai.
“Kang…, Kang….,
Kang Komaaar…!” suara Paman agak gemetar, kembali memanggil-manggil Ayah. Dalam
rasa penasaran itu lagi-lagi obor yang tinggal beberapa senti pun tiba-tiba jatuh
terurai dan masuk celah rimbunan daun waru bawah ujung jembatan itu.
Namun dalam
suasana gelap yang menyergap kami pun dikejutkan oleh teriakan orang bak
kesakitan. “Panaass…, aduuh…!” Meski proses penyelamatannya agak rumit bukan masalah,
yang penting Ayah tak sampai terjatuh ke dalam sungai yang terjal (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar