Rabu, 04 November 2015

Menulis di Zaman Mesin Tik

   
  Masih seputar kebodohan dan pengalaman saya dalam dunia tulis-menulis, Kendati tak ada bedanya dulu kini,  yang tetap saja bodoh, saya akan cerita masa lalu. Mungkin karena kebodohan saya atau apalah, saya ingin menulis bebas dan dapat ide yang bebas pula, saat itu saya sering bawa-bawa mesin tik di karung plastik wadah rumput. Biasanya pergi ke hutan, atau mencari saung-saung huma milik orang. Lagi pula kan saya sambil pulangnya harus membawa pakan kambing kala itu. Mesin tik beserta beberapa lembar kertas HVS + tip eks dalam karung plastik (pusri) kerap menyatu dengan dedaduan/rumput pakan kambing.

       Entahlah, saat itu menulis begitu semangat, padahal (ya seperti sekarang juga) jarang dimuat dan prosesnya tak seperti sekarang. Harus punya ongkos kirim yang full. Anehnya saat itu tak berpikir apakah tulisan itu layak muat atau tidak, bahkan tak ada istilah pengendapan seperti sekarang. Selesai ketik, periksa sedikit langsung kirim. Karena isi surat dan naskah sungguh jauh berbeda, amplop surat biasa tampak tipis sedang naskah agak tebal dan kembung. Karenanya, sebelum dipasang perangko, amplop itu ditimbang dulu. Kadang disaksikan banyak orang, jika kebetulan pengunjung Kantor Pos banyak. Kadang pula Pak Pos --yang tak ngerti soal tulis-menulis-- memuji-muji saya dihadapan para pengunjung itu dengan sebutan "orang rajin ke, seperti wartawan ke.." dan lainnya yang membuat hidung yang sudah besar ini nyaris meletus.
       Rumah saya berada di antara dua Kantor Pos. Kantor Pos Cijulang dan Kantor Pos Cimerak, Jawab Barat. Saya berada di wilayah Cijulang. Mungkin Kantor Pos Cimerak kala itu belum komplit atau apa, sehingga kadang menginduk ke Cijulang. Tak heran setiap pukul 9 pagi tukang Pos dari Cijulang sering lewat hendak ke Kantor Pos Cimerak seraya membawa kiriman atau mengambil yang hendak dikirim. Jadi saya tak harus melulu mengirim ke Kantor Pos langsung atau  memasukan ke kotak surat yang biasa ditempel di dekat pasar atau perempatan. Masalahnya amplop naskah agak kembung dan tebal, jadi selain harus dipertimbangkan dengan tukang pos kan memasukannya agak sulit jika di kotak surat.
       Saya sering menulis pakai rumus "kejar tukang pos", Maksudnya, sebelum tukang pos itu lewat tulisan berupa cerpen atau puisi harus selesai terkemas. Pukul 8.30 pagi saya harus sudah berada di tepi jalan raya, sebelum kemudian melambaikan tangan pada tukang pos itu. Karena sudah disepakati sejak sebelumnya --misal berat amplop tak lebih dari 250 gram--perangkonya yang sekian.
        Karena seringnya berkirim menggunakan jasa Pos, sampai kenal betul dengan Pak Pos. Kendati banyak suka-dukanya, terutama saat pencairan honor yang harus ditandatangan di kantor desa dan kecamatan, padahal honor di wesel saat itu antara 2500-7500. Honor puisi, humor, pantun sentilan dll. Sampai suatu ketika saya diwajibkan membuat Kartu C-7, dengan kartu sakti ini pencariran honor begitu mudah dan praktisnya. Kendati honor-honor nulis saat itu masih dibawah ratus-ribu, saya merasa senang, soalnya harga-harga masih stabil. Paling senang saat tengah  ngirim tulisan honor datang, jadi honor berupa wesel kartu berwarna coklat (masih ditik manual) sering berpapasan, kadang lebih dari satu lembar, adakalanya tiga lembar. Meski yang ditunggu honor cerpen atau puisi, yang datang kadang honor tulisan ringan macam pengalaman masa lalu, Ceplas-ceplos --Nova, Ini Dia -Kartini, Humor, Pantun Sentilan -Swadesi-Simponi dan kalau cerpen dari Buana Minggu dan Mitra Desa (sebagian media-media yang telah alm). Sedang Suara Karya, paling kiriman berupa kartu pos balasan pemeberitahuan"Bahwa tulisan Cerpen/artikel Anda belum bisa dimuat. Kami tunggu kiriman berikutnya".
      Kadang seperti terjadi keajaiban, tiba-tiba ada honor datang setelah tulisan itu dimuat 6 bulan atau malah ada yang satu tahun, dengan dibumbui kata "maaf jika pengiriman ini terlambat". Kadang saya lupa, tulisan apa ya, atau honor apa ya, sebab di berita acaranya tertulis "Honor tulisan anda yang dimuat di...Bandung Pos" umpamanya. Ya, kendati bodoh, anehnya saat itu saya sering nulis serabutan. Baik itu bahasa Indonesia maupun Sunda --bahasa daerah saya. Ya, kendati serba terbatas, menulis rasanya lebih asyik jaman dulu. Ya, disamping berada di daerah yang serba terbatas dan jauh pada agen/distribusi koran/majalah juga masalah dana yang terbatas, saya sering beli koran loak di pasar. Tak cukup itu, kadang pula saya sering mungut sobekan koran di tong sampah atau nyuri bungkus terasi di warung tetangga, terlebih jika ada halaman --macam budaya yang ada cerpen atau puisinya. Ya, demikianlah pengalaman saya yang boleh dikata pengalaman bodoh yang mengerikan namun juga mengasyikan. Beda dengan sekarang yang serba instan, namun jika kalah bersaing gampang stress, tentu saja itu cuma saya, Dan yang lain tidak. Salam. (OKB)
     
   
    

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll