Kamis, 19 November 2015

Ketika Pertama Ingin Punya Mesin Tik

     
 Ketika pertamakali ingin memiliki mesin tik, di kampung sempat geger. Mesin tik buat apa, memangnya orang kantor pake mau mesin tik segala. Mau ngetik apa, demikianlah orang-orang. Dan itu wajar, mereka tak salah. Betapa tidak, saya yang bukan orang sekolahan, bukan jebolan akademisi tertentu yang terkait dengan aktifitas mengetik , bukan orang kuliahan, bukan mahasiswa --SD pun nyaris tak tamat. Wajar orang-orang menyepelakannya atau setidaknya bertanya-tanya dan itu manusiawi.
      Berkeinginan punya mesin tik, setelah sebelumnya saya belajar curat-coret bersama teman dekat-tentangga dekat, bahkan sampai kini pun dekat, dia adalah kalau di akun Fb dikenal dengan nama Eyang Cijulang. Ia yang kerap mengajak nulis dalam bahsa Sunda --dimana sebelumnya ia sering baca majalah Mangle, SKM Galura, Suara Daerah, Giwangkara dan lainnya media Berbasa Sunda yang terbit di Jabar. Terlebih saat itu termotivasi dengan kemunculan dongeng Sunda (Wa Kepoh) di radio swasta seputar Jawa Barat yang berujudul "Si Baranyay" --karya Ahmad Affandi Asgar.  "Si Rawing" karya Iyat R dan "Kasarad Jurig Tangkod" karya Engkos Koswara. Juga karya-karya pengarang Sunda lainnya yang berbentuk roman sejarah seperti "Silalatu Gunungg Salak"-Aan Merdeka Permana serta karya-karya  Enang Rokajat Asura, dimana karya-karya mereka sering tampil di SKM Galura (Grup Pikiran Rakyat) menjadi cerita bersambung.
       Ma'lum semuanya bodoh, menulis pun kala itu bak meraba-raba. Disamping tak tahu kriteria nulis, sebelumnya nulis cuma pakai pulpen di kertas letjes. Entah benar atau tidak kaidahnya, tulisan itu bak surat lantas dikemas amplop dan dikirim ke redaksi anu, media yang berbasaha Sunda. Setelah selesai pengiriman terjadi andai-andai, telinga dipasang saban waktu. Dikiranya setiap tulisan akan gampang dimuat. Selain masalah kriteria penulisan serta wawasan yang kurang, kegiatan itu kerap terbentur dalam alasan "tulisan yang dikirim ke media harus di tik rapi, dua spasi'. Maka, dengan nada merengek kami pun minta duit untuk membeli 'alat kantor' tersebut.
       Kami bak orang pedalaman, primitif, tanpa bertanya pada siapa, kala itu berangkat ke kota Tasik malaya. Berjalan di trotoar, toleh kiri toleh kanan, mencari nama toko yang menyediakan mesin tik. Tapi sampai beberapa jam tak ditemukan juga. Lantas berembuk di dekat got, pikiran difokuskan ke "Toko Alat Kantor", nah barulah ditemukan barang yang diimpikan itu. Pedagang  --orang mengatakannya non pribumi itu sangat baik dan memeberikan beberapa pilihan. Saya mengambil yang murah tapi mungkin tidak terlalu murahan. Sedang teman saya pilih yang paling murah, selisih 20 rb. Di jalan, dalam bus kami tersenyum-senyum dan tak sabar ingin sampai di rumah.
       Sesampainya di rumah kedua orangtuaku merasa senang, bergembira dan juga bangga. Bahkan saking senangnya Bapakku sampai tega membatalkan niat ke pengajian Isra Mi'raj kala itu. Mulailah mesin tik itu dicoba, 'taktak...taktak..tuk, turuktuk...!' kendati agak bising di telinga sang ayah tak berani nutup telinganya. Memang agak kaku juga, disamping belum mengenal dimana letaknya huruf  A-S-D-F-G-H, juga kala itu mengetik cuma diterangi lampu cempor atau tempel yang diganjal dengan bekas kaleng cat yang diletakan samping kanan mesin tik. "Tik..Tiriktik, Tak...Taraktak....!" demikianlah star perdana mengenal /menggunakan mesin tik dan baru.
       Kendati sebelumnya berniat di menulis karya di Media berbasa sunda, tapi tiba-tiba saya lebih tertarik nulis cerpen-puisi di SKM Mitra Desa -- satu tabloid yang sebelumya  bernama PR edisi Ciamis, yang menyediakan halaman "Wisata Remaja" dimana di dalamnya menyediakan ruang untuk pembelajaran menulis sastra (cerpen dan puisi serta humor dan juga kartun), enaknya tulisan yang dimuat di tabloid yang biasanya terbit setiap Kamis itu kendati tulisannya jelek dan dimuat dapat honor yang lumayan. Duh asyiknya. Saat itu munculan mitra Ade komar Hendrasmara (Fb: Ki Endrasmara), Yoseph Rustadi yang kini lebih dikenal dengan nama Yus R.Ismail, puisinya yang berjudul "Kecapi Tarawangsa" dan cerpen "Gerimis Senja" kerap menjadi acuan atau percontohan cerpen yang baik dari penulis pemula. Halaman Wisata Remaja yang diasuh dengan nama "Kak Budi" kerap menyuguhkan hal-hal yang bersifat suport terhadap kegiatan tulis-menulis. Bahkan Soni Farid Maulana, Wilson Nadeak, selain giat menulis esai sastra juga kerap menulis cerpen.
       Cerpen pertama saya yang dimuat berjudul "Mia dan Gani", SKM Mitra Desa , Minggu II Juni 1989 bersamaan dengan cerbungnya Usman Supendi "Menjelang Puspa Bersemi" menggantikan "Relung Cinta Kembang Desa" buah karya Tita Rosita alumni SPP-SPMA Cibatu Garut yang konon sempat geger gara-gara pintar nulis cerbung langsung dimuat. Namun pengarang idamanku yang heboh ini, sampai kini tak tahu rimbanya. Apakah beliau masih berada ataukah telah pergi?
       Tak taraktak..tuk...turuktuk! Suara brisik itu kadang mampu melumat suara batuk. (OKB)
       

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll