Cerpen: Otang K.Baddy (Minggu Pagi 24 Januari 2016)
===============
Dalam mimpinya semula ia menjadi perempuan. Tapi bukan seorang ibu atas anaknya. Bukan seorang istri atas suaminya. Melainkan ia seorang pelacur. Hampir setiap lelaki yang dijumpainya ia ajak ke kamarnya untuk tidur. Tidur dan tidur. Baginya tidur itu bak suatu candu yang kronis, hingga ia buta terhadap sekelilingnya, termasuk debu yang terus menaburinya hingga membentuk selimut. Karenanya tak ada bedanya malam atau pun siang. Sebab ia tak melihat matahari atau pun bulan.
Makanya, jadilah ia lelaki. Ia bertekat tak akan lagi membiarkan dirinya tertidur, karena menurutnya tidur itu adalah kematian atau setengah mati. Tak heran kalau banyak yang perkosa. Tak cuma lelaki malam, para binatang pun menidurinya sampai hamil dan melahirkan beribu ekor tikus. Tak mau ceritakan soal ini selain pada rembulan yang tiba-tiba bersahabat. Demi menyatakan sorang lelaki perkasa ia dirikan sebuah tiang pemancang. Pohon yang berdiri tegak menunjuk langit. Menunjuk matahari, menunjuk bulan dan juga bintang.
Di matanya ia melihat orang-orang terkagum, dan bertanya.
“Ada apa dengan cintamu yang tampak bergairah?”
“Karena aku telah terbebas dari belennggu. Kini aku bukan lagi pelacur. Bukan lagi penjaja cinta yang kerap menanti dari timur dan barat, bukan pula pengabdi atas selatan dan utara. Kini aku telah merdeka, tak tertindas atau teraniaya oleh hasutan api, tiupan angin, rayuan tanah dan riak air. Yang empat anasir itu telah kutaklukan dengan satu tiang pancang, Mereka bukan lagi sebagai majikan, melainkan sebagai hambaku!” jawab lelaki dalam mimpi terbarunya.
Dalam mimpinya ia tak pernah tidur dan belum pernah merasakan tidur. Aneh memang lelaki yang satu ini. Ia juga katakan tak akan mati dan belum pernah merasakan mati. Semesta pun dengan semua isinya. Para penghamba yang kehilangan tongkat di jagat raya ambruk tak berdaya. Mereka diterjang banjir, putingbeliung, badai tornado, dilalap api, gempa dan tsunami. Semua dihimpit bumi karena tak mampu mengasuh kaum dari timur-barat, utara dan selatan.
“Musibah itu karena mereka telah melupakan aku, setelah lebih dulu menjeratnya di tuang gantungan,” demikian lelaki pemimpi itu dengan kesaksiannya.
Namun musim tak henti-hentinya mendatangkan angin. Hingga pohon pemancang yang telah ia dirikan dan dianggap tongkat keabadian mendadak tumbang. Hilang sudah pegangan, musnah pula seteguhnya pendirian. Tubuhnya yang labil telah membuang kelelakiannya. Hidup kembali lunglai bagai perempuan malam. Perempuan jadi-jadian, perempuan gadungan di lelaki pemimpi.
Perempuan jadi-jadian itu akhirnya melenggang. Merambah segala tempat kehidupan. Terutama di area perkotaan, di tempat-tempat keramaian. Di trotoar, di jalanan aspal, pasar-pasar, di pusat-pusat perbelanjaan, di tempat-tempat rapat perkantoran, di instansi pemerintahan, di tempat-tempat hiburan dan termasuk juga di gedung parlemen. Ia menawarkan bedak dan gincu, merayu-rayu dengan mata sayu.
Di hari-hari berikutnya perempuan itu tak merasa malu membuka baju, membuka pembalut tubuhnya, hingga melucuti celana dalamnya di depan orang banyak. Tak malu, bahkan terkesan nikmat. Barangkali karena kenikmatan itu banyak yang tergiur ingin mencobanya. Semula hanya iseng, namun ternyata ketagihan dan menjadi biasa. Menjadi budaya. Tampilan mereka menjadi marak, terlebih di dunia maya dan telpon seluler. Tua-muda, janda atau duda, bahkan anak-anak pun turut menyaksikannya. Kemudian turut mencobanya, tanpa sungkan, tanpa riskan , tanpa beban, karena kesempatan demi kesempatan terus melonggar. Kota memang telah melebar, menjadikan kupu-kupu malam melenggang tenang.
Bermain dalam kamar dengan sepasang suami-istri yang sah. Berkencan dengan pacar gelap atau pun pacar yang sah. Dilakukan di kamar hotel atau apartemen bukanlah masalah. Itu sudah logis sejak lama. Sejak dulu. Namun tatkala gempa dan tsunami melanda dan menyapu mereka, permainan pun berubah. Aksi lanjutan itu tak lagi di hotel atau apartemen, tapi sudah merembet ke pedesaan, perkampungan dan tempat-tempat bersahaja. Tak terkecuali dekat tempat peribadatan sekalipun. Tak segan tak malu, bermesum di tempat terbuka, di emperan toko, di pinggir jalan raya dan juga di pematang sawah. Tak seorang pun mampu melarang, karena larangan itu pada ujungnya akan menimpa dirinya sendiri.
Kota memang telah melebar ke sisi. Menyerbu pohon mahoni dan jati. Menghadirkan plastik dan kayu junti. Kebenaran dan kebaikan tenggelam dalam kabut. Dan kabut itu semakin tebal menghias kota. Kota yang hitam serupa jelaga. Eko system yang tak seimbang, membuat penghamba dari madhab papat yang tercipta dari air, tanah, api dan angin mengamuk. Mereka bersikukuh menunjukan kekuasaannya. Berwujud pada beragam bencana. Banjir, kebakaran, longsor, dan topan terus melanda dengan dahsatnya. Tak henti-henti, hingga daratan atau pulau-pulau di negeri itu nyaris lenyap semuanya, musnah bersama isinya. Begitu dalam mimpi si lelaki.
**
Seorang perempuan gadungan terombang-ambin g di lautan. Tangannya menggapai-gampa i mencari sesuatu yang hilang. Kehilangan daratan, kehilangan tiang pemancang. Namun ia teringat masa lalu, saat bersama rembulan dan bintang-bintang . Kerusuhan dari empat arah mata angin itu bisa mereda dan damai jika tongkat keabadian ditemukan. Teringat itu, segeralah ia memusatkan pikiran, menarik napas dan menampungnya di pusar, menjadi energi kelelakiannya menjelma kembali. Dengan kelelakianya segeralah tiang pemancang itu didirikan kembali tinggi-tinggi.
Para penghamba dari empat arah itu tak lagi mengamuk. Seketika mereka takluk dan bersimpuh. Malah mereka menjadi sahabat akrab. Setia dalam keseharian, bersatu padu di malam-malam tanpa batas. Berjanji tak akan lagi ada banjir, tak akan lagi ada kebakaran, tak akan ada longsoran dan topan. Kesepakatan bersama itu dikeluarkan saat pertemuan khusus di sebuah goa di salah satu tempat yang bernama Alas Purwo. Satu dari bebera serpihan pulau yang tersisa. Mungkin karena belantara di sini sebagian masih lestari. Sehingga pepohonan yang kerap bershalawat nabi, Tuhan mengijinkannya layak huni di bumi pertiwi.
**
Di luar mimpi, di alam keseharian, lelaki itu terus berjalan. Tak tentu arah, kemana saja ia mau. Kadang ada di dekat pasar, di dekat terminal, di emperan toko, di tempat sampah dan bahkan di comberan. Seakan membaca mantra, mulutnya terus bergumam, berkomat-kamit, dan kadang tersenyum ceria. Namun kadang pula senyuman itu berubah menjadi sebuah tangis, hingga air matanya meleleh membasuh kelusuhan di wajahnya.
“Memang aku telah bebas dari belenggu. Aku bukan lagi perempuan yang suka melacur. Tetapi kenapa maha nikmat itu terlalu dini kau berikan padaku,” katanya sambil geleng kepala. Semua tak ada yang peduli, selain hanya memaklumi. Zaman yang serba sulit memang telah melahirkan orang-orang stress, begitu pikir mereka. Pikiran sekilas, menyusul kemudian sibuk dengan kehidupan masing-masing.
Lelaki itu tiba-tiba beraksi menancapkan tongkat di sebuah lapangan sepak bola.
“Saudara-saudar a, inilah tongkatku. Tongkat keabadian, tongkat yang kusayang setiap siang dan malam. Tongkat yang mesti dimiliki oleh para penghamba di bumi!” teriaknya. Semula orang-orang mendekat karena dianggapnya sebuah akrobat atau pemain sulap. Namun setelah tahu akan keberadaan orangnya yang lusuh dan kusam, timbul rasa malu. Mereka perlahan mundur dengan teratur. Dan berpaling dari jauh.
“Saya hanya memperingatkan, awas janganlah sampai hilang tongkat kalian..!” teriaknya di tengah lapang yang panas. Kemudian tongkat yang menancap tegak menunjuk langit itu didekapnya erat-erat. Layaknya pemain sulap, tongkat itu dicabut, dibalikan ujung atas jadi ke bawah. Direbah ke timur ke barat, ke utara dan selatan.
Karena tak ada yang hirau akan aksinya, kemudian ia melipat tongkat itu hingga menjadi sejengkal. Tak ada yang tahu tatkala tongkat itu ia tikamkan ke pusar. Lalu menyatu dengan tubuhnya. Dan ia menjadi bagian dari sebuah tongkat. Tongkat yang kemudian berdiri tegak, menancap ke bumi dan menunjuk langit.
Tongkat itu menjadi poros bumi, yang menembus utara dan selatan. Tentu saja ia jadi terpaku dalam diam, karena di sini tak ada waktu siang atau pun malam.(*)
Di hari-hari berikutnya perempuan itu tak merasa malu membuka baju, membuka pembalut tubuhnya, hingga melucuti celana dalamnya di depan orang banyak. Tak malu, bahkan terkesan nikmat. Barangkali karena kenikmatan itu banyak yang tergiur ingin mencobanya. Semula hanya iseng, namun ternyata ketagihan dan menjadi biasa. Menjadi budaya. Tampilan mereka menjadi marak, terlebih di dunia maya dan telpon seluler. Tua-muda, janda atau duda, bahkan anak-anak pun turut menyaksikannya.
Bermain dalam kamar dengan sepasang suami-istri yang sah. Berkencan dengan pacar gelap atau pun pacar yang sah. Dilakukan di kamar hotel atau apartemen bukanlah masalah. Itu sudah logis sejak lama. Sejak dulu. Namun tatkala gempa dan tsunami melanda dan menyapu mereka, permainan pun berubah. Aksi lanjutan itu tak lagi di hotel atau apartemen, tapi sudah merembet ke pedesaan, perkampungan dan tempat-tempat bersahaja. Tak terkecuali dekat tempat peribadatan sekalipun. Tak segan tak malu, bermesum di tempat terbuka, di emperan toko, di pinggir jalan raya dan juga di pematang sawah. Tak seorang pun mampu melarang, karena larangan itu pada ujungnya akan menimpa dirinya sendiri.
Kota memang telah melebar ke sisi. Menyerbu pohon mahoni dan jati. Menghadirkan plastik dan kayu junti. Kebenaran dan kebaikan tenggelam dalam kabut. Dan kabut itu semakin tebal menghias kota. Kota yang hitam serupa jelaga. Eko system yang tak seimbang, membuat penghamba dari madhab papat yang tercipta dari air, tanah, api dan angin mengamuk. Mereka bersikukuh menunjukan kekuasaannya. Berwujud pada beragam bencana. Banjir, kebakaran, longsor, dan topan terus melanda dengan dahsatnya. Tak henti-henti, hingga daratan atau pulau-pulau di negeri itu nyaris lenyap semuanya, musnah bersama isinya. Begitu dalam mimpi si lelaki.
**
Seorang perempuan gadungan terombang-ambin
Para penghamba dari empat arah itu tak lagi mengamuk. Seketika mereka takluk dan bersimpuh. Malah mereka menjadi sahabat akrab. Setia dalam keseharian, bersatu padu di malam-malam tanpa batas. Berjanji tak akan lagi ada banjir, tak akan lagi ada kebakaran, tak akan ada longsoran dan topan. Kesepakatan bersama itu dikeluarkan saat pertemuan khusus di sebuah goa di salah satu tempat yang bernama Alas Purwo. Satu dari bebera serpihan pulau yang tersisa. Mungkin karena belantara di sini sebagian masih lestari. Sehingga pepohonan yang kerap bershalawat nabi, Tuhan mengijinkannya layak huni di bumi pertiwi.
**
Di luar mimpi, di alam keseharian, lelaki itu terus berjalan. Tak tentu arah, kemana saja ia mau. Kadang ada di dekat pasar, di dekat terminal, di emperan toko, di tempat sampah dan bahkan di comberan. Seakan membaca mantra, mulutnya terus bergumam, berkomat-kamit,
“Memang aku telah bebas dari belenggu. Aku bukan lagi perempuan yang suka melacur. Tetapi kenapa maha nikmat itu terlalu dini kau berikan padaku,” katanya sambil geleng kepala. Semua tak ada yang peduli, selain hanya memaklumi. Zaman yang serba sulit memang telah melahirkan orang-orang stress, begitu pikir mereka. Pikiran sekilas, menyusul kemudian sibuk dengan kehidupan masing-masing.
Lelaki itu tiba-tiba beraksi menancapkan tongkat di sebuah lapangan sepak bola.
“Saudara-saudar
“Saya hanya memperingatkan,
Karena tak ada yang hirau akan aksinya, kemudian ia melipat tongkat itu hingga menjadi sejengkal. Tak ada yang tahu tatkala tongkat itu ia tikamkan ke pusar. Lalu menyatu dengan tubuhnya. Dan ia menjadi bagian dari sebuah tongkat. Tongkat yang kemudian berdiri tegak, menancap ke bumi dan menunjuk langit.
Tongkat itu menjadi poros bumi, yang menembus utara dan selatan. Tentu saja ia jadi terpaku dalam diam, karena di sini tak ada waktu siang atau pun malam.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar