Puisi otang k.baddy
FENOMENA JALAN BUTUT
( I )
Tak ada yang tahu pasti seberapa jauh ukuran perjalanan itu.
Dalam dzikir-dzikir beberapa truk pengangkut pasir besi, yang bergoyang ke kiri
ke kanan diantara sopir-sopirnya yang cemberut. Di antara lalu-lalang lainnya,
para bus dan antrian sepeda motor, semua mengeluhi apa-apa yang telah
dilewatinya. Di jalan butut. Semuanya tahu kulit jalan itu telah lama
mengelupas dan menampakkan lumpur, yang tak sekedar basah lembab dan kotor.
Tapi dinginnya tak bisa memantik korek api,buat nyala rokok penawar gigil para
sopir-sopir. Juga pejalan-pejalan lainnya,
semua pengemudi motor, nyaris membeku dan lumat dalam lumpur yang kotor. Aneh, di jalan butut itu, para elite politik dan oknum polisi malah merasa senang, hingga siang-malam bahkan sepanjang hidupnya tak mau beranjak dari situ
semua pengemudi motor, nyaris membeku dan lumat dalam lumpur yang kotor. Aneh, di jalan butut itu, para elite politik dan oknum polisi malah merasa senang, hingga siang-malam bahkan sepanjang hidupnya tak mau beranjak dari situ
( II )
Karena tiada jalan lain dipikirnya yang menjanjikan
kemenangan, amarah
telah malas memperbaikinya bahkan menolak mentah-mentah,
seraya berkata; di jalan yang baik dan lurus mulus itu terlalu sepi buat kita.
Begitulah di antara gelap yang riuh, mereka terus menapaki lelumpur itu tanpa
keluh. Selain mimpi si miskin yang tengah sekarat di remang kotamu, bersaksi
bersama perempuan malam yang melantunkanlagu kematian
( III)
Berdalih sejuta harapan mereka berujar; lelaku ini cuma
sementara saja. Sebelum kemudian berakhir jalanan ini akan segera dibenahi.
Jangan khawatir, sayang, dalam mencari nafkah memang mestinya harus gaul.
Seperti juga ikan-ikan di laut, suasana yang terbaca pahit dengan segala
kejujuran nyatanya manis, kilahmu seperti bijak
Mestinya malu wajah pemimpin terpilih tersenyum ramah di
baliho dan spanduk besi iklan pariwisata. Tepijalan yang kotor, di
tikungan-tikungan, pertelon dan perempatan atau simpang lima. Mestinya malu
sebagai perempuan menunjukkan wajah yang buduk
di tengah para sopir yang gigil dan mabuk tanpa nyala api
rokok
mengundang para asing menjenguk pestanya
di jalan yang butut, senyum kerakyatan itu terkelupas
( IV )
Jalanan borok penuh belatung itu menguar bau busuk bangkai
setelah terjadi gelombangunjuk rasa, batu lempung putih itu
dijadikan perban
sekedar tambal sulam. Penawar kebohongan atas janji kampanye
yang disebut aspiratif terhadap akar rumput. Gelisah saat
kemarau melahirkan debudan hujan telah membanjirkan lumpur serta kotamu yang
berkabut
di perjalanan hidupmu yang berlumpur maksiat
( V )
Para angkutan serta derap pemburu pehiasan itu jadi
terperangkap
dalam gelap dan pekat disergap haus dan lapar. Berlomba
mengejar ujung jalan
tak sampai, selain tubuh mereka terkoyak dan rapuh
sampai terlucut segala sendi.Tulang-belulang serta iga-iga
yang bengkok
tak berdaya menopang dustamu,saat sekepak burung
menjanjikan kematian!
(Pangandaran, Januari-Maret 2013)
(Puisi ini pernah dimuat di Pikiran Rakyat 5 Mei 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar