Kamis, 15 Oktober 2015

Fenomena Jalan Butut

Puisi otang k.baddy

FENOMENA  JALAN BUTUT
( I )
Tak ada yang tahu pasti seberapa jauh ukuran perjalanan itu. Dalam dzikir-dzikir beberapa truk pengangkut pasir besi, yang bergoyang ke kiri ke kanan diantara sopir-sopirnya yang cemberut. Di antara lalu-lalang lainnya, para bus dan antrian sepeda motor, semua mengeluhi apa-apa yang telah dilewatinya. Di jalan butut. Semuanya tahu kulit jalan itu telah lama mengelupas dan menampakkan lumpur, yang tak sekedar basah lembab dan kotor. Tapi dinginnya tak bisa memantik korek api,buat nyala rokok penawar gigil para sopir-sopir. Juga pejalan-pejalan lainnya,
semua pengemudi motor, nyaris membeku dan lumat dalam lumpur yang kotor. Aneh, di jalan butut itu, para elite politik dan oknum polisi malah merasa senang, hingga siang-malam bahkan sepanjang hidupnya tak mau beranjak dari situ

( II )
Karena tiada jalan lain dipikirnya yang menjanjikan kemenangan, amarah
telah malas memperbaikinya bahkan menolak mentah-mentah, seraya berkata; di jalan yang baik dan lurus mulus itu terlalu sepi buat kita. Begitulah di antara gelap yang riuh, mereka terus menapaki lelumpur itu tanpa keluh. Selain mimpi si miskin yang tengah sekarat di remang kotamu, bersaksi bersama perempuan malam yang melantunkanlagu kematian

( III)
Berdalih sejuta harapan mereka berujar; lelaku ini cuma sementara saja. Sebelum kemudian berakhir jalanan ini akan segera dibenahi. Jangan khawatir, sayang, dalam mencari nafkah memang mestinya harus gaul. Seperti juga ikan-ikan di laut, suasana yang terbaca pahit dengan segala kejujuran nyatanya manis, kilahmu seperti bijak

Mestinya malu wajah pemimpin terpilih tersenyum ramah di baliho dan spanduk besi iklan pariwisata. Tepijalan yang kotor, di tikungan-tikungan, pertelon dan perempatan atau simpang lima. Mestinya malu sebagai perempuan menunjukkan wajah yang buduk
di tengah para sopir yang gigil dan mabuk tanpa nyala api rokok
mengundang para asing menjenguk pestanya
di jalan yang butut, senyum kerakyatan itu terkelupas

( IV )
Jalanan borok penuh belatung itu menguar bau busuk bangkai
setelah terjadi gelombangunjuk rasa, batu lempung putih itu dijadikan perban
sekedar tambal sulam. Penawar kebohongan atas janji kampanye
yang disebut aspiratif terhadap akar rumput. Gelisah saat kemarau melahirkan debudan hujan telah membanjirkan lumpur serta kotamu yang berkabut
di perjalanan hidupmu yang berlumpur maksiat

( V )
Para angkutan serta derap pemburu pehiasan itu jadi terperangkap
dalam gelap dan pekat disergap haus dan lapar. Berlomba mengejar ujung jalan
tak sampai, selain tubuh mereka terkoyak dan rapuh
sampai terlucut segala sendi.Tulang-belulang serta iga-iga yang bengkok
tak berdaya menopang dustamu,saat sekepak burung
menjanjikan kematian!

 (Pangandaran, Januari-Maret 2013) 

(Puisi ini pernah dimuat di Pikiran Rakyat 5 Mei 2013)

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll