Selasa, 27 Oktober 2015

Penulis Bodoh Model Saya

     Sebenarnya ada kesan lucu, itu kalau tak mau dibilang konyol  terhadap diri saya. Memang ini pengalaman masa lalu, namun jika dipikir-pikir sampai saat ini pun tak ada bedanya. Contohnya mau jadi penulis tapi tak tahu apa yang mesti ditulis. Ini kan lucu, ah malah sebutan 'lucu' itu terlalu genit untuk ditujukan pada kekonyolan saya seorang dewasa yang mengarah ke manula. Buktinya mau menekuni cerpen karena cerpen tidak perlu mengumpulkan data yang kongkrit seperti penulisan opini. Mau menulis puisi karena puisi bisa melambungkan rasa ke batas tak terhingga.
Bahkan dengan puisi bisa pergi ke bulan tanpa menggunakan pesawat seperti Nasa. Dengan puisi bisa menyibak kabut misteri, baik misteri alam maupun situasi politik. Itu kata penyair atau orang-orang cerdas, sedang saya ah mungkin bisanya mimpi..

..
Dulu, sebelum ada komputer nulis pakai mesin tik dengan bunyi tak tak..taktak..taktak atau tik..tik..tiktik..tiktik. Ayah saya yang tertidur di selasar bambu mungkin merasa terganggu dan mungkin di hatinya tiba-tiba merasa kasian pada saya. Misal kenapa malam-malam mengetik. Jadi saya yakin, beliau bukan maksud merasa terganggu tidurnya akibat bunyi taktak..tiktik, melainkan kasian. Mungkin saya terkantuk, mungkin takut saya cape --padahal menulis-ketik enaknya malam hari. Saya sangat menyesal kala itu ketika saya yang tersinggung tiba-tiba memarahi ayah saya yang sudah udzur itu. Entah kesombongan apa yang bersarang di dada saya kala itu. Ayah dalam tidurnya tampak menangis sedih karena dibentak saya setelah sebelumnya beliau mengatakan "Sudah malam, ngetiknya besok lagi, Jang," demikianlah, yang lebih tepatnya huruf 'J' pada sebutan  "Jang" itu  adalah 'T'. Jawaban saya yang bernada bentak itu; "Ya..mengarang pan pantasnya waktu malam karena alamnya sepi!" kata saya agak keras.

 Ayah dan ibu tidur di kamar sebelah yang tersekat dengan bilik. Saya ngetik di selasar bambu, jarak ketikan dan telinga ayah tak lebih dari satu meter, ya cuma disekat bilik itu.. Namun untungnya esok kami saling memaafkan.
...
Eh, ada yang lebih goblok di otak saya kala itu. Gobloknya begini. " Ma, Pak, sudahlah tak perlu cape-cape berladang, tak perlu cape-cape cari pakan kambing. Dari menulis pun bisa dapat duit!" Aduh, omongan apa itu. Untung saja mereka tak percaya dan tak menghentikan aktivitasnya berladang dan piara kambing. Untuuung...!
........Repotnya jaman ngetik pakai mesin tik dimana ketikan itu banyak yang salah. Mending kalau salah satu karakter, jika salah perkata atau banyak kata, wow tulisan di kertas HVS itu pasti berlepotan dengan tip-eks. Tapi secara umum hal penghapusan menggunakan cairan putih tersebut kala itu diakui keabsahannya, termasuk ketika hendak dikirim ke media cetak. Hanya saja, suka-tak suka awak redaktur macam redaktur budaya atau yang menggawangi lainnya harus mengetik ulang sebelum naik cetak.
.................
Nah, ketika komputer sudah mulai masuk rumah, saya hanya bisa mengurut dada serta berandai-andai. Bagaimana rasanya ngetik pakai komputer, pasti enak sebab ngetiknya tak bunyi. Pasti bakal produktif karena bunyinya tak akan mengganggu orang lain kendati malam-malam sunyi. Saat itu saya punya teman yang bisa disebut anak orang berada, ia ikut kursus komputer. Ia juga kerap menulis puisi. Nah dari kecintaan yang sama itulah saya selalu akrab dengan di teman itu. Pertama saya minta tolong agar naskah hasil ketikan itu disalin ngetiknya pakai komputer. Saat itu belum ada e-mail-email, naskah ya diprint sebelum kemudian dibungkus amplop dan dikirim via pos. Ya, tetap sama, Bung daktur harus ngetik ulang jika tanpa disertai CD atau disket terkait naskah tersebut.

Namun tak dapat dipungkiri, ngetik pakai mesin tik pun ada asyiknya. Byni mesin tik yang trak-trak-triktrik itu seakan menuntun kita untuk mengurai imajinasi. Makanya tak berlebihan jika Asmaraman Sukowati atau lebih populer Kho Phing Hoo (pengarang cerita silat) pernah menolak komputer saat diberikan anaknya di rumahsakit. Rumah sakit? Ya, lelaki pegetarian ini termasuk pengarang  produktif banget, ia kerap menulis kendati dalam keadaan sakit. Jadi di rumah sakit pun menulis, ya mungkin seperti Pepeng yang dalam sakitnya cukup menahun tapi ia tetap berkarya. Sebab, berkaya baginya merupakan bagian dari hidupnya. Jadi kalau tak berkarya malam konon akan bertambah sakit dan sia-sia hidupnya. Semoga kepulangan mereka ke alam langgeng mendapat tempat yang lebih mulya di sisiNya.
...
Lantas bagaimana dengan saya?
Harapan untuk memiliki komputer (PC)  bagi saya harus menunggu samapai 6 tahun. Karena orang tak punya, sebagai petani kecil yang terbilang repot saya berusaha memelihara sapi orang dengan cara gaduh. Dan pada saatnya kebagian satu ekor, dari sisa kebutuhan lainnya maka dibelikan komputer. Namun kendati sudah berkomputer, tetap saja dalam menulis saya ini tetap bodoh. Tak bisa menghasilkan karya untuk bangsa.(*) 

Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll