"Kendati tak perlu sepenuhnya menyalahkan belatung yang berpesta dalam borok, dimana sebaliknya mengobati luka atau menjaga agar jangan sampai tubuh ini terluka, apapun tindakanmu tetap saja perlu dikutuk. Sebab kamu adalah bagian dari angkara yang benar-benar harus diperangi," mungkin begitulah di pemikiran Mas Parman saat melihat kedua anak dan istri saya yang tiba-tiba ambruk dengan erangan kesakitan.
Saya bergeming, namun dalam hati ada rasa malu juga pada Mas Parman --suami kakak istriku--sebab apa-apa yang telah terjadi di depan mata bak suatu jawaban perhatian dan saran baiknya yang selama ini tak saya hiraukan,
"Seharusnya kau mau melakukan dan bisa mencegah hal-hal buruk semacam ini, setidaknya buat diri sendiri dan keluarga," begitu kata Kang Parman --yang secara umum di kampung Wardong memanggilnya pakai Mas atau lengkapnya Mas Parman. Apa yang dimaksud Kang Parman memang suatu kebaikan, yakni pada setiap awal-akhir tahun Hijriah saya harus melakukan puasa sunat. Awal tahun 2 hari dan akhir tahun cukup 1 hari. Ada baiknya, selain harus tetap mendekatkan diri pada Tuhan, husus di bulan Muharam kalau bisa usahakan jangan tidur sore-sore. Sebelum mencapai tengah malam, jika kantuk senantiasa menyerang usahakanlah keluar rumah. Pandangi langit serta baca petala alam akan kekuasaanNya.
"Ya, Insa Allah..Kang," jawab saya tahun lalu. tentu saja seperti tahun-tahun sebelumnya dimana Kang Parman seringkali mewanti. Betapa tidak, katanya, bulan itu merupakan bulan uji-coba, sehingga tak perlu heran banyak petaka. baik yang menimpa diri, keluarga atau lingkungan, bahkan bisa pula menimpa pula pada negara.
Ah, Kang Parman. Saya merasa malu suka pada ponakan asal Magetan yang kerap cerita tentang Gunung Lawu dimana tempat tinggal asal dan ia dilahirkan. Konon Lawu masih menyimpan misteri, dan sering memakan korban. Omongannya itu seakan menjadi kuat manakala baru-baru ini 7 pendaki tewas akibat terjebak api di gunung tersebut. Dan bagi saya tragedi macam itu bukanlah misteri, melainkan manusiawi.
Tapi yang penting soal keluarga dulu ketimbang yang lain. Maksud Kang Parman, kedatangannya ke kampung Wardong mengikuti sang istri, tak bertujuan menjadi dukun. Bahkan istilah kata dukun pun harus benar-benar dijauhi, karena merasa dia bukan dukun. Paling cuma kasih solusi pada si sakit atau bagian keluarga tersebut. Namun KP tak jarang sering dipanggil dan diminta bantuanya mengatasi sisakit. Walau dalam cemas --alasannya ia takut dibenci oleh para "juru sembuh" pribumi yang merasa tersaingi, ia terpaksa berangkat juga dengan satu syarat harus ada ikatan keluarga. Ini untuk menghindari tuduhan 'main serobot' juru sembuh asli pribumi, katanya.
**
Ya, kedua anak dan istri saya sudah hampir seminggu ini sakit. Yang pertama si sulung, seorang pemuda tamatan SMP yang sakit menggigil dan muntah-muntah setelah sebelumnya ikut jadi pemandu wisata body rafting di DTW terdekat. Yang kedua, adiknya tiba-tiba sakit di dada, napas terasa sesak. Mungkin karena dirasa petaka yang bertubi itulah, tiba-tiba istriku sakit menyusulnya. Waduh dengan demikian saya pun hampir limbung, sebab merasa kebingungan untuk mengadu dan curhat. Makanya kendati menunjukkan kecengengan, tak jarang untuk sekedar menghindari depresi saya kerap membuat status cengeng di fb, sebelum kemudian kerap memanggil Kang Parman untuk menemani saya.
Untuk ukuran orang awam macam saya betapa tak repot. Sebab selain harus mencari air dan sebisa mungki memasak, hal aneh dan diluar nalar pun sering terjadi di saat-saat sakit-sakit yang menimpa itu. Kendati tak boleh Syuudzon tapi fakta-fakta seakan menggoda untuk percaya. Kalau dulu cuma bunyi 'kot..kot..kot.. ' keliling rumah dan suara tokek yang berlebihan (misal setiap 5 menit), kini tiba-tiba suara katak yang nyaring didalam setrika. Aneh dan curiga, begitu langsung diperiksa dalam setrika itu tak ada apa-apa. (maaf setrika disini setrika jadul yang biasa pakai arang).
"Sebenarnya kamu tak perlu mengancam keluarga saya tentang sengketa tanah di daerah wisata itu. Bukankah kamu juga sudah kebagi dan bahkan tanahnya lebih luas daripada ayah saya. Salahnya situ sendiri dulu, selain lewat calo kenapa mau dijual cepat-cepat dengan harga murah. Sudahlah, kalau tak mau pergi kubunuh kau atau saya mengerahkan masa!" kata saya seperti gila pada katak yang tak berwujud itu. Dan anehnya, setelah mengucapkan itu sakit-sakit parah kedua anakku dan juga istriku tiba-tiba sembuh.
Sayang kesembuhan kedua anak dan istriku itu telah mengobankanku sebagai sakit selanjutnya(*)
Saya bergeming, namun dalam hati ada rasa malu juga pada Mas Parman --suami kakak istriku--sebab apa-apa yang telah terjadi di depan mata bak suatu jawaban perhatian dan saran baiknya yang selama ini tak saya hiraukan,
"Seharusnya kau mau melakukan dan bisa mencegah hal-hal buruk semacam ini, setidaknya buat diri sendiri dan keluarga," begitu kata Kang Parman --yang secara umum di kampung Wardong memanggilnya pakai Mas atau lengkapnya Mas Parman. Apa yang dimaksud Kang Parman memang suatu kebaikan, yakni pada setiap awal-akhir tahun Hijriah saya harus melakukan puasa sunat. Awal tahun 2 hari dan akhir tahun cukup 1 hari. Ada baiknya, selain harus tetap mendekatkan diri pada Tuhan, husus di bulan Muharam kalau bisa usahakan jangan tidur sore-sore. Sebelum mencapai tengah malam, jika kantuk senantiasa menyerang usahakanlah keluar rumah. Pandangi langit serta baca petala alam akan kekuasaanNya.
"Ya, Insa Allah..Kang," jawab saya tahun lalu. tentu saja seperti tahun-tahun sebelumnya dimana Kang Parman seringkali mewanti. Betapa tidak, katanya, bulan itu merupakan bulan uji-coba, sehingga tak perlu heran banyak petaka. baik yang menimpa diri, keluarga atau lingkungan, bahkan bisa pula menimpa pula pada negara.
Ah, Kang Parman. Saya merasa malu suka pada ponakan asal Magetan yang kerap cerita tentang Gunung Lawu dimana tempat tinggal asal dan ia dilahirkan. Konon Lawu masih menyimpan misteri, dan sering memakan korban. Omongannya itu seakan menjadi kuat manakala baru-baru ini 7 pendaki tewas akibat terjebak api di gunung tersebut. Dan bagi saya tragedi macam itu bukanlah misteri, melainkan manusiawi.
Tapi yang penting soal keluarga dulu ketimbang yang lain. Maksud Kang Parman, kedatangannya ke kampung Wardong mengikuti sang istri, tak bertujuan menjadi dukun. Bahkan istilah kata dukun pun harus benar-benar dijauhi, karena merasa dia bukan dukun. Paling cuma kasih solusi pada si sakit atau bagian keluarga tersebut. Namun KP tak jarang sering dipanggil dan diminta bantuanya mengatasi sisakit. Walau dalam cemas --alasannya ia takut dibenci oleh para "juru sembuh" pribumi yang merasa tersaingi, ia terpaksa berangkat juga dengan satu syarat harus ada ikatan keluarga. Ini untuk menghindari tuduhan 'main serobot' juru sembuh asli pribumi, katanya.
**
Ya, kedua anak dan istri saya sudah hampir seminggu ini sakit. Yang pertama si sulung, seorang pemuda tamatan SMP yang sakit menggigil dan muntah-muntah setelah sebelumnya ikut jadi pemandu wisata body rafting di DTW terdekat. Yang kedua, adiknya tiba-tiba sakit di dada, napas terasa sesak. Mungkin karena dirasa petaka yang bertubi itulah, tiba-tiba istriku sakit menyusulnya. Waduh dengan demikian saya pun hampir limbung, sebab merasa kebingungan untuk mengadu dan curhat. Makanya kendati menunjukkan kecengengan, tak jarang untuk sekedar menghindari depresi saya kerap membuat status cengeng di fb, sebelum kemudian kerap memanggil Kang Parman untuk menemani saya.
Untuk ukuran orang awam macam saya betapa tak repot. Sebab selain harus mencari air dan sebisa mungki memasak, hal aneh dan diluar nalar pun sering terjadi di saat-saat sakit-sakit yang menimpa itu. Kendati tak boleh Syuudzon tapi fakta-fakta seakan menggoda untuk percaya. Kalau dulu cuma bunyi 'kot..kot..kot.. ' keliling rumah dan suara tokek yang berlebihan (misal setiap 5 menit), kini tiba-tiba suara katak yang nyaring didalam setrika. Aneh dan curiga, begitu langsung diperiksa dalam setrika itu tak ada apa-apa. (maaf setrika disini setrika jadul yang biasa pakai arang).
"Sebenarnya kamu tak perlu mengancam keluarga saya tentang sengketa tanah di daerah wisata itu. Bukankah kamu juga sudah kebagi dan bahkan tanahnya lebih luas daripada ayah saya. Salahnya situ sendiri dulu, selain lewat calo kenapa mau dijual cepat-cepat dengan harga murah. Sudahlah, kalau tak mau pergi kubunuh kau atau saya mengerahkan masa!" kata saya seperti gila pada katak yang tak berwujud itu. Dan anehnya, setelah mengucapkan itu sakit-sakit parah kedua anakku dan juga istriku tiba-tiba sembuh.
Sayang kesembuhan kedua anak dan istriku itu telah mengobankanku sebagai sakit selanjutnya(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar