Selasa, 27 Oktober 2015

Lelaki Patung

Goa tempat menambang butiran emas itu sementara kututup sedemikian rupa. Di sekeliling dan permukaannya tak ada bekas-bekas galian. Aku kini suntuk bersama lelaki yang pernah kutemukan di dalam goa tersebut. Semula memang aku terkejut, sebab aku kira bangkai manusia purba yang mengeras, tapi setelah tepiannya kupahat dengan telaten, maka coploklah tubuh itu dari saputan batu dan larva. Ini pasti patung bekas kehidupan ribuan atau jutaan tahun lalu, demikian aku pikir seraya membopong sosok kaku itu ke dalam gubuk.
Wajah yang tak berupa itu perlahan kubersihkan, sampai tanpa diduga muncul suara bak bersin hingga berbarengan dengan itu lapisan yang samar di wajahnya nyemburat. Karuan saja aku terkejut, ketika diketahui kemudian sosok lelaki itu tiba-tiba meminta segelas air. Mungkin sebagai upaya pemulihan dari sekian abad kematian atau kebekuannya.  Bisa akibat bertapa atau ketiduran di dalam goa tersebut. Setelah kupenuhi permintaanya saya persilahkan dia  istirahat sepenuhnya, dalam arti tak perlu bercerita apalagi sampai minta maaf atas tindakannya yang seumpama mengejutkan seorang penambang emas liar di lereng gunung Toreng.

Pagi, siang dan malam aku belum ada hasrat membuka galian itu dulu sebelum keajaiban ini terjawab. Sebelum keadaan jiwaku pulih seperti sediakala, sebab adakala peristiwa yang tengah kualami ini bagai di alam mimpi atau seraya jiwaku hanyut dalam sebuah dongeng yang panjang. Tapi setelah kutarik dan kuatur nafas, lelaki patung --demikian aku menyebutnya, itu masih ada dalam gubukku. Sosok yang semula tampak senang berbaring pun kini mulai duduk.

"Apa saudara suka ngopi?" tanyaku basa-basi. Ia menggeleng. Jawaban yang paling menyenangkan sebab di gubuk ini tak ada kopi, aku hanya minum air putih tanpa dimasak.
"Mana sang putri itu?" ia seperti baru tersadar dan seakan ada yang hilang darinya.
"Tenanglah dulu," kemudian saya memberi segelas air putih. Soal sang putri dalam ucapannya mungkin bisa saja ia habis bermimpi.
 Aku tiba-tiba  memfokuskan diri untuknya, segala daya indrapun kugadaikan , hingga lelaki patung itu mulai cakap berbicara. Ia menceritakan pengalamannya yang menurut pikirannya dialami belum lama berselang. Pertemuannya denganku dia menggapnya bak terbangun dari tidurnya akibat keletihan dalam penyelamatan diri serta sang putri dalam suatu gempa.

Lelaki itu bercerita, bahwa dirinya tak semiskin hari-hari yang kemudian dilaluinya. Malah ia mengaku orang berada. Sebagai warga tahu diri dan bernegara ia kerap bayar pajak. Bahkan tak cuma berupa uang, sejumlah makanan serta barang-barang berharga termasuk emas permata, setiap taun ia rela menyerahkan sebagian kepada negara atau sang raja. Ya, seperti saat itu. Saat tengah mengendarai kereta kuda bersama para jongos yang bertujuan menyerahkan upeti kepada sang raja. tiba-tiba di jalan mereka dihadang sekelompok garong yang semula mereka pasti prajurit tak bernama bawahan sang raja. Namun dugaan itu sepertinya salah, sebab setelah membeberkan maksud baiknya malah kawanan begal itu berujar:
     "Kami tidak berada dalam kekuasaaan mereka. Jadi alasan yang kalian kemukakan tak laku disini"! demiianlah kata kawanan begal yang jumlahnya tak berimbang itu seraya membunuh pera pewangal lelaki itu. Artinya tak cuma puluhan nyawa, barang berharga, bergepok-gepok uang, satu kereta kuda pun dirampasnya. Namun masih untuk lelaki itu bisa menyelamatkan diri derngan berlari menjauh. Hingga ia tak tahu arah, pikirannnya jauh lebih kacau. karena merasa tidak kaya lagi. Sebab semua barang serta uang tak ada yang tersimpan di rumahnya. "Ya, miskinlah aku," keluhnya di sela bebatuan sungai yang kering.
      Dalam rasa tak menentu, ia tetap mau mempertahankan hidupnya. Ia tak ingin mati begitu saja, apalagi namanya mati kelaparan di tempat yang tak dikenal. Maka ia pun terus berjalan, mencari titik terang hingga tak terduga sampailah di tempat yang tampak aman. Tempat itu sepertinya tak ada konflik, udara tampak bersih, tak ada sampah, semua tampak asri. Pun ketika ia sampai di jalan raya, kendaraan masih langka. Hanya saja tetap dalam dirinya ada yang kurang pas, sebab keindahan itu tak cukup membahagiakan dirinya yang dalam keadaan dahaga dan lapar.
      Dalam keadaan sempoyongan sampailah ia terdampar di sebuah kios tempat menjahit pakaian. Ia setengah membantingkan tubuhnya depan kios itu, sbelum kemudian si penjahit mendekatinya dan bertanya kenapa? Setelah dijawab jujur bahwa ia lapar setelah sebelumnya jadi korban kawanan begal dan menggelandang ke tepian sungai kering. Di sela kerjanya si penjahit menyempatkan diri memberi yang layak diberikan. Yakni air dan makanan secukupnya yang layak di negeri itu. Hingga tak sampai ukuran jam lelaki itu pulih dan disuruh menunggunya di pojok kios penjahit itu. Sampai kapan lelaki itu harus menunggu di pojok kios seorang penjahit itu, kisahnya bisa disimak disini
   



Tidak ada komentar:

Popular Posts

Blogroll